Opini

Cerita Kota: Nepotisme yang Sah, Demokrasi yang Timpang — Refleksi di Usia 775 Tahun

×

Cerita Kota: Nepotisme yang Sah, Demokrasi yang Timpang — Refleksi di Usia 775 Tahun

Sebarkan artikel ini

Oleh: Irawan Asek

[Mahasiswa Magister Teknik Sistem]

Di sebuah kota yang berusia hampir delapan abad, perayaan ulang tahun yang ke-775 baru saja berlalu dengan rangkaian adat, budaya, dan kreativitas masyarakat yang semarak. Pada usia yang sedemikian tua, warganya merayakan hari jadinya bukan sekadar ritual tahunan, melainkan rekonsiliasi antara sejarah panjang dan harapan masa depan. Konon, ada festival literasi yang memperkuat budaya baca menulis, lomba lari yang mengajak masyarakat bergerak, ritual adat Kololi Kie yang mengelilingi pulau sebagai simbol permohonan keselamatan bagi negeri, serta upacara yang diselenggarakan di istana adat sebagai bentuk penghormatan terhadap akar sejarah kota ini.

Namun di balik kemeriahan itu, muncul narasi yang menuntut kita berhenti dan berpikir lebih dalam: bagaimana tata kelola pemerintahan di kota ini mencerminkan nilai-nilai yang selama ini dipupuk dalam tradisi dan sejarahnya sendiri?

Publik tidak lupa dengan pengangkatan seorang pejabat birokrasi tertinggi yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan kepala daerah. Penunjukan itu berlangsung mulus, rapi, dan nyaris tanpa cela prosedural. Barangkali karena seleksi administratif dipenuhi, rekomendasi formal dikantongi, dan tidak ada pasal hukum yang secara terang-benderang dilanggar. Namun cerita kota ini tidak berhenti di sini.

Beberapa hari kemarin, pejabat birokrasi tersebut mulai disebut-sebut sebagai kandidat kuat dalam pemilihan kepala daerah mendatang. Lembaga survei menempatkannya di posisi teratas. Namanya dikenal luas, wajahnya akrab, dan jejak kebijakannya dipoles media kerap muncul dalam ruang publik. Semua tampak sah, wajar, bahkan demokratis. Namun justru di sinilah persoalan sesungguhnya bermula.

Dalam teori tata kelola pemerintahan, jabatan birokrasi puncak bukan sekedar posisi administratif. Ia adalah simpul kekuasaan: pengendali koordinasi aparatur, pengaruh kebijakan, dan ritme anggaran. Mark Bevir dalam “Governance: A very Short Introduction” menegaskan bahwa governance modern bekerja melalui jaringan relasi, bukan hanya struktur formal. Ketika relasi keluarga masuk ke pusat jaringan ini, maka lahirlah apa yang disebut sebagai conflict of interest structural, meski tanpa pelanggaran hukum eksplisit.

Secara hukum-administratif, pengangkatan pejabat tersebut dapat dibela, karena prosedur ditaati dan aturan dipenuhi. Namun seperti diingatkan Philip Selznick dalam “The Moral Commonwealth” hukum tidak pernah netral secara moral. Legalitas bukanlah legitimasi, dan hukum administrasi sering kali gagal menjangkau wilayah abu-abu: seperti niat, pengaruh informasi, dan keuntungan kekuasaan yang terakumulasi secara perlahan.

Perayaan hari jadi yang ke-775, dengan tema pelestarian budaya dan identitas lokal yang luhur, seharusnya juga menjadi momentum untuk menegaskan kembali nilai-nilai etika tersebut. Sejarah panjang sebuah kota bukan hanya soal usia angka, tetapi tentang bagaimana prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan pelayanan kepada masyarakat diwariskan dari generasi ke generasi.

Masalah menjadi lebih serius ketika dimensi politik elektoral masuk ke dalam cerita. Popularitas pejabat tersebut dianggap cerminan kepercayaan rakyat. Namun teori politik klasik mengingatkan bahwa preferensi publik tidak lahir dari ruang kosong. C Wright Mills dalam “The Power Elite” menunjukkan bahwa posisi strategis dalam struktur kekuasaan menciptakan keunggulan simbolik dan material yang secara tidak langsung membentuk pilihan publik. Dengan kata lain, kemenangan dalam survei sering kali merupakan hasil dari arena yang tidak setara, bukan semata adu gagasan.

Fenomena tersebut dikenal sebagai politik dinasti versi halus, bukan dinasti yang vulgar, tetapi dinasti yang yang dibungkus meritokrasi administratif. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam kajian mereka tentang politik Indonesia menunjukkan bahwa praktik semacam ini bertahan bukan karena dukungan rakyat semata, melainkan karena akses eksklusif terhadap birokrasi dan sumber daya negara.

Birokrasi pun berada dalam posisi dilematis. Netralitas aparatur secara formal dijaga, tetapi secara psikologis dan struktural berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Kandidat lain boleh bertarung, tetapi tidak pernah benar-benar berada di garis start yang sama. Robert Dahl dalam “Polyarchy” menyebut bahwa demokrasi mensyaratkan bukan hanya pemilu yang rutin, melainkan kompetisi yang bebas dan adil. Ketika keadilan arena runtuh, demokrasi berubah menjadi ritual yang sah secara prosedural, tetapi timpang secara substansi.

Ketika kota merayakan ritual adat Kololi Kie atau membuka festival literasi, masyarakat diingatkan akan akar budayanya yang kaya dan sejarahnya yang panjang. Namun pertanyaan yang lebih dalam adalah: apakah praktik kekuasaan dalam pemerintahan sehari-hari kota ini juga mencerminkan nilai-nilai luhur yang sama? Atau apakah praktik itu justru menciptakan ketimpangan baru yang menodai semangat kebersamaan dan demokrasi?

Penting ditegaskan: kritik terhadap cerita kota ini bukanlah serangan terhadap individu. Seseorang bisa kompeten, bekerja baik, dan diterima publik. Namun ketika kekuasaan diwariskan melalui relasi keluarga yang dilegalkan prosedur, persoalannya bukan lagi kapasitas personal, melainkan keadilan sistemik.

Jika pola seperti ini terus dinormalisasi, kota kita akan tumbuh dengan demokrasi yang cacat sejak fondasinya: birokrasi kehilangan profesionalisme, regenarasi kepemimpinan tersumbat, dan kepercayaan publik bergeser dari prinsip meritokrasi menuju logika kedekatan.

Perayaan hari jadi yang ke-775 seharusnya menjadi titik refleksi—bukan hanya untuk mengenang kejayaan masa lalu, tetapi juga untuk menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga keadilan struktural di dalam rumahnya sendiri. Sebab ketika nepotisme menjadi sah dan norma demokrasi mulai digerogoti oleh struktur kekuasaan yang tidak seimbang, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar satu jabatan atau satu periode pemerintahan, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *