Oleh: Fachru Nofrian Bakarudin
Alumnus Maison des Sciences économique, Centre D’économie de la Sorbonne, Paris, Prancis dan ekonom Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
PRO dan kontra pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sempat mengambil tempat di ranah publik kini mulai sirna. Isu penegakan hukum anti korupsi yang diperjuangkan mahasiswa dan masyarakat sipil menghilang dan terhapus oleh isu lobi-lobi partai politik.
Keadaan ini menandakan lemahnya masyarakat sipil untuk berjuang dalam demokrasi yang semakin oligarkis seperti sekarang ini. Itu juga pertanda penegakan hukum ke depan semakin tidak pasti.
Padahal, lembaga KPK sangat menentukan baik buruknya negara ini ke depan. Eksistensi KPK juga menentukan citra dan sejarah rezim pemerintahan ini ke depan.
Kasus revisi UU KPK yang sukses tiba-tiba karena gerilya DPR dan seluruh partai kemudian mengundang keberatan dan protes hampir seluruh elemen masyarakat mulai dari tokoh senior hingga pelajar, mulai dari partai politik hingga intelektual dan artis hingga ahli hukum.
Mereka membela KPK untuk menjadi lembaga yang kuat demi demokrasi dan reformasi.
Narasi yang berkembang di suluruh sudut nuansa publik adalah penguatan kelembagaan KPK. Tetapi praktik ekonomi politik hukum yang terjadi adalah kontradiksi, yakni pelemahan KPK.
Tentu pemerintahan yang ada sekarang tidak mau dianggap melemahkan KPK di dalam sejarah namun kenyataannya berbeda dimana DPR bersama pemerintah dalam hal ini Presiden terus bergeming melakukan revisi, yang substansinya adalah pelemahan KPK.
Bagaimana ekonomi politik, yakni hubungan ekonomi dengan politik hukum terkait kelembagaan KPK, yang melemah sekarang ini? Sesungguhnya memang benar bahwa ekonomi makro secara harfiah adalah masalah dinamika variabel konsumsi, investasi dan pertumbuhan. Namun secara holistik ekonomi tidak hanya itu, sebab ada institusi lain non-ekonomi yang berpengaruh dan bertali-temali dengan faktor-faktor ekonomi.
Pasar dan lembaga negara merupakan satu kesatuan institusi, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kemajuan ekonomi secara keseluruhan.
Isu KPK yang mencuri perhatian adalah institusi negara yang berperan langsung menjaga anggaran negara dari korupsi aparat-aparat yang terlibat di dalamnya. Sekarang telah terjadi proses tarik-menarik ekonomi politik di dalam institusi negara yang melemahkan dan berhadapan dengan masyarakat sipil yang hendak menjaganya.
Kuat atau lemahnya KPK seharusnya mencerminkan fungsi negara yang bekerja sebagaimana mestinya dan pada gilirannya akan memengaruhi pertumbuhan dan distribusi pendapatan.
Dengan kondisi KPK yang dilemahkan seperti sekarang ini, maka fungsi negara menjadi kabur dimana pemberatasan korupsi oleh negara akan melemah. Kelemahan institusi seperti ini akan mengganggu perekonomian, khususnya implementasi anggaran negara.
Ekonomi publik secara keseluruhan akan terganggu menjadi semakin tidak efisien. Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sudah paling tinggi diantara negara-negara ASEAN. Dengan KPK yang lemah dan pemerintahan yang tidak bersih, maka kondisi ekonomi makro akan semakin tidak efisien.
Ada empat pandangan tentang negara sebagai institusi makro pembangunan. Pertama, negara yang turun langsung melakukan peran pelaku ekonomi dalam rangka pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Di sini, negara berperan sebagai antitesa pasar yang bertugas menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakatnya.
Kedua, negara yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas ekonomi dan memastikan sirkulasi ekonomi berjalan lancar.
Ketiga, negara yang diserap pasar dan memastikan pasar yang efektif dan efisien.
Keempat, pasar adalah konstruksi negara yang dibuat dengan mekanisme tertentu.
Dalam konteks ini, siapapun lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi, ia akan efektif jika negara tersebut efektif. Jika negara tidak efektif dan efisien, mungkin akan beralih ke bentuk lain yang lebih sesuai. Sebut saja pengalaman negara-negara besar mulai dari Amerika Serikat, negara zona eropa, Jepang hingga ke Uni Soviet. Di negara-negara itu, institusi negara berfungsi sebagaimana mestinya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Pengalaman banyak negara berkembang memperlihatkan paradoks bahwa negara terbentuk tetapi institusinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini ditandai oleh banyak kontradiksi dan inkonsistensi. Apakah ini berarti KPK tidak bekerja sesuai fungsinya meskipun sudah banyak menyelesaikan kasus?
Sebagai entitas mikro, fakta memperlihatkan KPK sudah banyak menyelesaikan kasus korupsi. Peranan KPK menjadikan aparat negara untuk jujur dan disiplin dalam anggaran negara sudah berlangsung lama dan dihargai oleh publik dan masyarakat sipil pada umumnya. Tetapi praktik hukum mikro operasi tangkap tangan seperti ini sangat tidak disukai oleh politisi, anggota parlemen, kepala daerah, dan aparat negara secara keseluruhan.
Karena itu, KPK sengaja dilemahkan dari dalam negara itu sendiri karena dianggap sebagai pengganggu dari sistem yang sudah oligarkis.
Namun juga, jangan dilupakan bahwa persoalannya di tingkat makro. Kita tidak boleh melupakan bahwa KPK adalah jawaban ekonomi politik terhadap persoalan pembangunan makro periode Orde Baru, yang mencuat menjadi sistem ekonomi dengan tingkat kesenjangan sangat tinggi.
Aparat negara yang kaya dan pengusaha yang menjadi kompradornya menikmati kesejahteraan dan kekayaan yang luar biasa berhadapan dengan khalayak masyarakat luas yang miskin.
Pembangunan Orde Baru meskipun dengan ekonomi yang tumbuh tinggi tidak berhasil menjadikan Indonesia menjadi negara industri dan negara maju. Yang ada adalah kesenjangan ekonomi, persoalan distribusi pendapatan sehingga ketimpangan masih cukup besar di negara ini.
Sebagaimana diketahui, pada masa itu, korupsi dan suap menandai pengusaan ekonomi dan bisnis oleh segelintir orang sehingga memperkaya hanya kelompok tertentu yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kesenjangan di masyarakat.
Sekarang ia dihadapkan pada persoalan ekonomi politik makro yang belum terselesaikan yaitu tercapainya kesepakatan sehingga negara dapat bekerja sesuai fungsinya dan berputarnya sirkulasi ekonomi.
Kesepakatan yang belum tercapai itu dapat terlihat di dalam proses tarik-menarik di dalam negara dan masyarakat.
Ekonomi politik yang terjadi pada institusi KPK rumit dan dirumitkan, yang mungkin bisa menjadi blunder politik. Ada, proses tarik-menarik dan ketegangan, yang pertama yaitu antara partai politik dan masyarakat termasuk mahasiswa, pelajar, akademisi dan sebagainya yang beberapa waktu yang lalu berakhir dengan demonstrasi besar-besaran dan sayangnya diakhiri dengan kerusuhan.
Statement Presiden yang mengatakan bahwa dia rakyat biasa seakan memerlihatkan adanya tekanan dari elit politik terhadap institusi kepresidenan.
Tarik-menarik yang kedua adalah antara pendukung Presiden dan bukan pendukungnya. Mereka yang mendukung Presiden terlihat yakin bahwa RUU KPK itu adalah jalan yang terbaik untuk kemajuan perekonomian Indonesia walaupun pada akhirnya Presiden juga mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu untuk merevisi RUU tersebut.
Tarik-menarik yang ketiga adalah antara mereka yang menganggap bahwa KPK sudah diselundupi “radikalisme” dan yang sebaliknya.
Proses tarik-menarik yang keempat adalah antara pemerintah dan KPK itu sendiri. Ini sebetulnya ironis. Di satu sisi pemerintah dan parlemen menginginkan perubahan, sedangkan internal KPK justru memiliki pemikiran yang berbeda.
Penyelesaian persoalan ekonomi politik menjadi lebih besar tantangannya ketika dalam proses pemilihan pemimpin tertinggi lembaga negara memerlukan biaya yang sangat besar. Sesungguhnya sangat ironis ketika wakil rakyat banyak didemo oleh rakyat itu sendiri.
Ini adalah kontradiksi sekaligus tarik-menarik. Yang sesungguhnya terjadi parlemen bersama pemerintah memang telah bersama melakukan gerilya perubahan UU KPK, yang kemudian isinya melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Pengaruh ekonomi politik ke depan akan kembali seperti Orde Baru, dimana oligarki menguat lagi dan kesenjangan tetap lestari.
Seharusnya, para pejuang demokrasi terus menuntut adanya UU KPK yang menjamin independensi dan bahkan lebih diperkuat dari yang ada. Perubahan UU KPK sudah melemahkan lembaga KPK itu sendiri. Lebih jauh, untuk mewujudkan keadilan di dalam masyarakat perlu pembangunan ekonomi politik yang memastikan adanya perpajakan yang adil, persaingan usaha yang sehat yang dapat berdampak kepada harga yang wajar dan penciptaan entrepreneur, persoalan lahan, peningkatan investasi hingga efektivitas kebijakan moneter yang berorientasi kepada publik tanpa melupakan yang privat.
Hampir di semua ranah ekonomi itu menuntut keseriusan pemberantasan korupsi. Jika korupsi diberantas tetapi tidak memberikan dampak kepada kemudahan transmisi makro tersebut kepada masyarakat, tentu itu juga merupakan kontradiksi karena secara a priori bukan tidak mungkin pemberantasan korupsi justru digunakan untuk kepentingan mengalahkan lawan dan mengabaikan persoalan ekonomi.
Di sini, berbagai informasi memperlihatkan tarik-menarik antara elit politik, otoritas ekonomi, otoritas keamanan dan entitias bisnis.
Kita tentu tidak mau negara menjadi predator yang mengorbankan masyarakatnya sehingga pertama, tarik-menarik ekonomi politik mesti lebih efektif dan efisien serta berorientasi kepada pembangunan dan bukan kelompok tertentu.
Kedua, ekonomi politik KPK melihat bahwa dalam jangka pendek perlu negosiasi antara elit politik dan masyarakat agar berbagai kontradiksi berkurang. UU KPK harus dikembalikan kepada asalnya, tidak lagi dilemahkan seperti sekarang.
Dalam jangka menengah, perlu penyelesaian kasus demi kasus dan harus berorientasi makro. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu meningkatkan pendidikan dalam rangka pemberantasan korupsi dan mewujudkan negara yang bekerja sesuai fungsinya.(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/10/16/406635/ekonomi-politik-dan-masa-depan-kpk