Catatan Dahlan Iskan

Dari Parit ke Xinjiang

×

Dari Parit ke Xinjiang

Sebarkan artikel ini
Di depan masjid di Urumqi, arsitekturnya perpaduan Timur Tengah dan Tiongkok. (Foto : Disway)

Oleh : Dahlan Iskan

 

Dari keramaian London saya langsung ke kesunyian Gurun Gobi.

Di Xinjiang.

Wilayah paling barat Tiongkok.

Yang luasnya hampir sepertiga negara.

Berjam-jam saya mengarungi Gurun Gobi. Berhari-hari. Dari gurun ke gurun dan ke gurun lagi.

Apalagi ternyata saya tidak perlu keliling parit di London. Perdana Menteri Boris Johnson kelihatannya pilih telan ludah: nego dengan Uni Eropa. Daripada mati di selokan –seperti janjinya: janji politisi.

Dari London saya terbang ke Beijing. Via Valen –ups, via Amsterdam.

Sebenarnya tidak harus lewat Beijing. Agar tidak balik ke arah barat lagi. Bisa lewat Kazakstan. Atau Iran. Atau Pakistan. Ada penerbangan dari negara-negara itu langsung ke Provinsi Xinjiang – -ke Kota Urumqi, ibu kotanya.

Tapi dari segi fleksibilitas lebih terjamin terbang via Beijing.

Dan lagi saya ingin naik pesawat A380. Ternyata perusahaan penerbangan milik Provinsi Guangdong sudah punya A380. Jurusan Amsterdam-Beijing-Guangzhou.

Saya ingin membandingkan dengan A380 milik Dubai –Emirate Airlines. Yang sering saya tumpangi.

Ternyata beda jauh sekali. Emirate terasa lebih wah –mewahnya.

Bagaimana dengan A380-nya Singapore Airlines? Saya tidak tahu. Saya sudah lupa ada  nama itu. Yang zaman dulu begitu saya puja.

Tapi di Beijing saya tidak bisa berkutik. Pesawat saya mendarat tepat sehari sebelum HUT Kemerdekaan ke-70 Tiongkok.

Hotel saya di kawasan Wang Fujing. Tidak jauh dari Tian An Men dan Forbiden City. Jalan-jalan di sekitar hotel ditutup.

Saya juga sudah telat –kalau ingin mengurus administrasi untuk hadir di acara besar itu.

Semua toko tutup. Mal tutup.

Ya sudah. Di kamar saja. Dua hari. Sudah sebulan tidak punya waktu membaca.

Di hari kedua saya bisa keluar kamar. Tapi juga tidak bisa ke mana-mana. Penuh manusia. Tian An Men ditutup. Forbiden City juga. Bukan tidak boleh masuk, tapi sudah tidak muat. Tidak lagi bisa masuk. Saking sudah penuhnya manusia. Mereka liburan ke ibu kota. Dari seluruh penjuru negeri 1,3 miliar manusia.

Saya ke mal saja. Di sebelah hotel. Untuk makan di lantai 5 atau 6. Yang restoran jenis apa saja ada di dua lantai itu.

Ada restoran Grandma Kitchen (外婆家). Yang luasnya cukup untuk menyimpan satu juta lipstiknya Saskia Gotik. Pun restoran itu penuh. Bukan hanya dalamnya. Juga tempat antrean di luarnya.

Pindah ke restoran Muslim Dong Laishun (东来顺). Sama saja –tidak muatnya.

Terlalu banyak manusia di Beijing –tapi saya belum pernah melihat sebanyak itu.

Dari keramaian London ketemu keramaian Beijing.

Hari ketiga saya merdeka –mendarat di Xinjiang.

Sejak dua jam sebelum mendarat pun –dari penerbangan 3,5 jam– sudah sangat lengang: tidak terlihat apa-apa. Kecuali gunung batu dan Gurun Gobi.

Sejak melintas di atas dua provinsi sebelum Xinjiang pun –Ningxia dan Gansu– tanahnya sudah gobi.

Kelak saya akan bercerita: apa beda gurun pasir dan Gurun Gobi.

Di Xinjiang saya keliling ke sudut-sudut provinsi itu. Sampai dekat perbatasan Mongolia. Perbatasan Rusia. Perbatasan Tajikistan. Perbatasan Kazakhstan. Dan perbatasan Afghanistan.

Propinsi otonomi Xinjiang –yang mayoritas Islam– berbatasan dengan begitu banyak negara.

Dulu saya pernah ke Xinjiang. Tapi hanya di ibu kota provinsinya. Kini saya 10 hari di satu provinsi ini saja. Menjelajah 10 kotanya. Dan puluhan desanya.

Untung BoJo –Boris Johnson– menjauh dari selokan. Saya bisa menjauh ke Xinjiang.(dis)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *