Oleh : Dahlan Iskan
Pembunuh pacar yang lagi hamil itu benar-benar bebas. Rabu pagi lalu. Chan Tong-kai keluar penjara didampingi pastor. Dijemput mobil putih sejenis Alphard. Tahi lalat besarnya masih utuh di dekat lubang kanan hidungnya.
Ke mana arah mobil yang membawa si pembunuh itu?
Menyerahkan diri secara sukarela ke Taiwan? Agar diadili di sana? Seperti yang diinginkannya?
Tidak jadi.
Langsung ke rumah orang tua?
Juga tidak.
Ke rumah orang tua pacar yang dibunuhnya?
Tidak berani.
Mobil itu menuju satu komplek perumahan bagus. Yang media pun tidak bisa masuk mengikutinya.
Tak lama kemudian mobil putih itu meninggalkan gerbang perumahan. Tong-kai tidak lagi di dalamnya.
Berarti ditinggal di salah satu rumah itu. Mungkin ngumpet di situ sampai Pemilu selesai. Pemilu di Taiwan. Januari depan.
Kasus Tong-kai memang jadi dagangan politik di Taiwan.
Mula-mula pemerintah Taiwan merasa tersinggung. Oleh pernyataan Hongkong.
“Mengapa Taiwan tidak merespon rencana penyerahan diri Tong-kai? Ada apa?“
Taiwan mengatakan tidak ada cara untuk menerima penyerahan Tong-kai. Keduanya tidak punya perjanjian ekstradisi.
Tapi satu hari kemudian Taiwan bikin kejutan: tiba-tiba mau menerima penyerahan si pembunuh.
Taiwan, katanya, segera mengirim polisi ke Hongkong. Tepat di hari Tong-kai bebas. Untuk menerima penyerahan pembunuh itu di depan penjara.
Sampai tujuh jam kemudian Hongkong belum merespon sikap baru Taiwan itu.
Ganti Taiwan menyerang Hongkong. “Mengapa Hongkong tidak segera merespon. Kami sudah menunggu selama 7 jam”.
Seolah Hongkong-lah yang ternyata tidak mau menyelesaikan urusan ini.
Hongkong kembali tersinggung. Soal 7 jam itu.
“Taiwan main politik. Taiwan juga telah mengambil keuntungan politik selama empat bulan terakhir”.
Menurut Hongkong Taiwan tinggal memberikan visa ke Tong-kai. Ia akan datang sendiri ke Taiwan –tempat ia membunuh pacarnya.
“Kenapa harus mengirim polisi?“
Taiwan memang cerdik dengan rencana pengiriman polisinya itu. Kalau Hongkong menyetujuinya berarti Hongkong telah mengakui kedaulatan Taiwan.
Tapi Hongkong juga waspada dengan trik Taiwan itu.
Ketegangan Hongkong-Taiwan pun berlanjut. Hari Rabu pun tiba. Tong-kai harus bebas demi hukum.
Ia sudah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Selama 18 bulan. Bukan karena membunuh pacar hamil. Tapi karena mengambil uang dari kartu kredit mendiang pacarnya itu.
Hongkong tidak bisa mengadilinya sebagai pembunuh. Meski Tong-kai sudah mengaku. Semua bukti ada di Taiwan. (Disway: Demo Hamil).
Belajar dari kasus Tong-kai itulah pemerintah Hongkong membuat RUU Ekstradisi.
Mahasiswa Hongkong menentang RUU itu. Mereka khawatir. Jangan-jangan bukan hanya Tong-kai yang diekstradisi. Tapi juga para aktivis yang dikriminalisasi. Lalu dikirim ke Tiongkok. Mereka tidak percaya sistem peradilan di daratan.
Maka inilah pesta valentine yang ekornya paling panjang.
Inilah pesta valentine yang menimbulkan tragedi politik yang amat parah.
Yang pesta dua orang.
Sejoli –Chan Tong-kai (19) dan Poon Hiu Wing (20).
Yang heboh banyak negara –termasuk Amerika.
Di Hongkong sendiri terjadi demo jutaan orang. Selama empat bulan terakhir.
Aktivis yang ditahan hampir 3000 orang.
Stasiun kereta bawah tanah yang dirusak 84 buah.
Sabtu kemarin saya keliling Hongkong. Sampai ke Mong Kok di Kowloon –seberang pulau Hongkong.
Begitu banyak bank yang wajah depannya berubah seperti gudang. Dipasangi tembok besi baru. Tutup rapat. Dengan satu ‘pintu gudang’ terkunci.
Itulah bank-bank asal Tiongkok. Yang banyak punya cabang di jalan utama Kowloon.
Itulah suasana Nathan Road –satu-satunya jalan dua lajur di Kowloon: lebar dan panjang. Masjid jami’ Hongkong ada di ujung jalan ini.
Jalan utama inilah yang jadi pusat demo.
Pagar besinya praktis habis. Di kanan kiri jalan. Dicopoti. Untuk barikade pendemo. Agar bisa merangsek barisan polisi.
Pintu-pintu masuk stasiun ditutup. Ada bekas pengrusakan. Atau asap hitam.
Toko obat tradisional terkemuka, Dong Ren Tang, tetap buka –tapi wajah depannya juga seperti gudang. Hanya ada satu pintu masuk seperti mau masuk gudang.
Toko kelontong 360 juga seperti itu.
Toko handphone Xiaomi lebih parah lagi. Tapi juga sudah dicover dengan baja.
Demonya sendiri seperti akan berakhir. Sabtu kemarin untuk pertama kali tidak ada demo.
Gerakan itu memang terus mengecil. Demonya pun tinggal di hari Minggu.
Maka Minggu sore kemarin saya kembali ke Nathan Road. Salat asar di masjid tiga lantai itu. Sebelum waktu asar pun pendemo sudah mulai memadati kanan-kiri jalan sekitar masjid. Kian senja kian padat.
Setelah satu jam di tengah demo saya duduk di teras toko yang tutup. Di tangganya. Menulis naskah ini. Di tengah keriuhan suara teriakan demo.
Tong-kai tahu semua kehebohan itu. Begitu keluar pintu penjara ia membuat pernyataan pendek. Tanpa tanya jawab.
Tong-kai minta maaf pada masyarakat Hongkong. Pada orang tuanya. Dan pada keluarga pacarnya.
Mengapa Tong-kai tidak langsung pergi saja ke Taiwan? Seperti saat ia dan pacarnya liburan Valentine dulu?
Hari itu, seusai pesta, Tong-kai membunuh pacarnya. Setelah sang pacar mengaku hamil. Memotong-motongnya dengan pisau yang baru dibeli. Memasukkannya ke kopor yang juga baru diambil dari toko. Membuangnya di sungai Taipei, Taiwan.
Pulang ke Hongkong.
Terbongkar.
Polisi Hongkong tidak punya barang bukti sedikit pun. Hanya memiliki pengakuan Tong-kai.
Satu pengakuan tidak cukup untuk memperkarakannya. Tong-kai tetap ditangkap dan diadili. Tapi bukan karena membunuh. Hanya karena mencuri uang mendiang pacarnya. Lewat ATM yang diambil dari saku mayatnya.
Tapi untuk menyerahkan diri kepada polisi di Taiwan?
Ia harus punya visa.
Kalau sampai Tong-kai mengajukan visa, Taiwan akan sulit. Akankah Taiwan memberi visa? Atau menolak?
Dua-duanya bisa menyulitkan capres incumbent. Yang sangat anti Tiongkok.
Sang pastor kelihatannya tidak mau mempersulit pemerintah Taiwan sekarang.
Maka Tong-kai akan menyerahkan diri setelah Pemilu saja.
Kalau jadi.(dis)