Dari India saya langsung ke Batu, Malang.
Harusnya lima tahun lalu saya ke situ. Tapi baru hari Minggu kemarin terkabul.
“Pak Dahlan, akhirnya sekolah ini belum pernah diresmikan,” ujar Ali Wahyudi.
Saya merasa mendapat teguran keras –dengan cara halus.
Kini sudah telat untuk diresmikan. Sudah telanjur maju, besar, modern, dan megah. “Mungkin ini bisa tumbuh cepat justru karena tidak pernah diresmikan,” gurau saya.
Madrasah saya pun sudah kalah. Telak. Nama Tazkia kini identik dengan sekolah Islam yang modern dan bermutu.
Padahal baru didirikan tahun 2013 lalu.
Kampusnya sudah dua lokasi: putri dan putra. Masing-masing dengan dua gedung. Empat lantai. Yang arsitekturnya sangat modern, terbuka.
Lokasinya di kota wisata Batu, tetangga Malang.
Ini sekaligus pertama kali saya ke Malang –lewat jalan tol baru. Cepat sekali. Satu setengah jam sudah sampai Batu.
Ini juga berarti Batu sudah punya dua sekolah Islam yang luar biasa. Satunya lagi Al Izza –yang saya juga pernah meninjaunya.
Bahkan pendiri Tazkia ini, Ali Wahyudi, dulunya juga Al Izza. Pendiri Al Izza adalah empat orang profesor dan seorang Ali Wahyudi. Ali ikut pula menjadi pimpinannya. Selama 4 tahun.
Batu sudah berubah –juga di bidang pendidikan. Kalau dulu hanya dikenal sebagai pusat pengkajian Kristen, kini juga pusat pendidikan Islam.
Dulu, di Batu, di bidang pendidikan, selalu hanya dikenal dengan tiga ‘i’ –Institut Injil Indonesia. Terkenal di seluruh Indonesia. Baik fasilitas, kemegahan gedungnya, mutunya, maupun pendetanya –Pendeta Petrus Octavianus yang terkenal dengan buku-bukunya itu.
Pendeta tesohor sejagad, Stephen Tong, juga dari sini. Lihatlah video-video khotbahnya –sangat memikat.
Saya dua kali ke Institut Injil Indonesia Batu. Terakhir saat pendeta se-Indonesia kumpul di situ.
Al Izza, dan lalu Tazkia, ikut membentuk wajah baru Batu. Bukan lagi hanya kota wisata. Tapi juga kota pendidikan.
Murid Tazkia, misalnya, dari seluruh Indonesia. Banyak juga yang dari Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia. Beberapa dari Australia –keturunan Indonesia.
Demikian juga Al Izza dan Institut Injil Indonesia.
Tentu juga sudah banyak sekolah Islam dengan kualitas mirip Tazkia. Di seluruh Indonesia. Beberapa sudah saya lihat sendiri. Dan sudah saya tulis di DI’s Way.
Amanatul Ummah di daerah wisata Pacet, Mojokerto, adalah juga sekolah bermutu yang kecepatan perkembangannya seperti Bouraq.
Ini bisa disebut era baru pendidikan Islam. Setelah era pondok pesantren salaf dan sistem madrasah.
Era baru itu sekaligus bisa diartikan era sekolah mahal.
Meski ‘hanya’ SMP dan SMA Tazkia memiliki tujuh guru bergelar doktor. Termasuk lulusan Jepang dan Al Azhar Mesir. Bahkan satu gurunya didatangkan dari Sudan. Untuk SMA jurusan Ulama.
Di salah satu banner motonya memang tertulis ‘Takzia: SMA rasa Universitas’.
SMA Takzia punya lima jurusan: Ulama, Enterpreneur, Sciencepreneur, jurusan CEO dan profesional manajer.
“Banyak orang tua murid yang pengusaha. Jangan sampai gara-gara anaknya sekolah di pesantren tidak mampu meneruskan usaha orang tua,” ujar Ali Wahyudi.
Tokoh kita ini orang Madura –maksud saya: dari pedesaan luar kota Pamekasan.
Ali Wahyudi dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ia lulusan SMAN di kotanya. Merangkap belajar agama di pondok setempat.
Dari Pamekasan ia masuk fakultas ekonomi jurusan manajemen Universitas Muhammadiyah Malang –universitas terbesar di lingkungan Muhammadiyah, yang umumnya besar-besar itu.
Ayahanda Ali Wahyudi petani. Ibunya yang pengusaha: toko mracangan di desanya.
Tokoh kita dari Madura ini bisa menangkap fenomena baru di masyarakat –khususnya masyarakat Islam. Yang ekonomi mereka sudah sangat baik. Yang jumlahnya sudah sangat besar. Yang menginginkan anak mereka lebih baik lagi.
Anak dari kelompok ini sudah biasa hidup di rumah bagus. Dengan fasilitas bagus. Dengan makan yang bergizi.
Kelompok ini juga kian sulit mendidik anak mereka sendiri –karena sibuk. Tapi mereka juga tidak mau anak mereka tidak paham agama.
Ali Wahyudi mencatat baik-baik fenomena baru itu. “Pertanyaan pertama orang tua yang datang ke sini adalah: bagaimana makan anak saya nanti,” ujar Ali Wahyudi. “Bukan lagi soal bagaimana kurikulumnya,” tambahnya.
Pertanyaan kedua adalah kualitas kamar dan tempat tidurnya. Di mana kamar mandinya. Seperti apa kebersihannya.
Saya melihat kamar tidur di Tazkia. Satu kamar berisi empat tempat tidur bertingkat. Tapi kamarnya luas sekali. Seandainya boleh pingpong di kamar itu, jarak antar tempat tidur itu bisa untuk dua meja pingpong. Kamar mandinya pun di dalam kamar itu.
Anak yang sekolah di situ sudah tidak bisa lagi seperti saya dulu: kamarnya sempit, tidurnya di lantai plester tanpa tikar, kamar mandinya di luar ramai-ramai dan harus masak sendiri.
Sekolah ini punya dapur khusus. Dengan peralatan modern. Seperti di restoran besar. Letak dapurnya pun di depan: dengan kaca lebar –agar terlihat dari luar tingkat kebersihannya.
Plaza makan siswa sama baiknya dengan fasilitas sekolah bermutu di negara maju.
Tidak ada ruang kelas dalam pengertian kelas model sekolah lama. Model kelasnya sama dengan di negara maju.
Yang tidak mungkin kalah dari sekolah lain adalah: alam pegunungan Batu-nya.
Dan fasilitas olahraganya: sangat luas. Termasuk untuk olahraga berkuda. Saat saya ke Tazkia Minggu kemarin lagi ada dua murid yang berlatih olahraga berkuda.
“Kami punya enam kuda,” ujar Ali Wahyudi.
Berarti guru di sekolah ini banyak sekali. “Guru kami lebih dari 300 orang,” ujar Ali Wahyudi.
Untuk itu Tazkia bekerja sama dengan real estate terdekat. Guru diminta membeli rumah di situ. Dengan keringanan dari Takzia.
“Gaji baik saja tidak cukup untuk mengikat guru yang baik,” ujar Ali Wahyudi. “Tapi kalau rumahnya sudah di sini mereka tidak pindah-pindah lagi,” tambahnya.
Saat saya berdialog dengan seluruh siswa di ruang besarnya, empat orang anak berani bicara dalam bahasa Inggris dengan sangat baiknya.
Yang satu lagi dengan bahasa Arab –masih malu-malu.
Saat meninjau hasil prakarya para siswa penunggu stand itu semua memberi penjelasan dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.
Kini kian banyak sekolah Islam seperti Tazkia. Kian banyak juga yang tidak mengikatkan diri pada NU atau Muhammadiyah. Atau aliran yang lain.
“Apakah ini tidak terlalu komersial?” tanya saya.
“Kami alokasikan 10 persen siswa untuk anak yatim,” ujar Ali Wahyudi. “Yang tahu mereka yatim atau bukan hanya manajemen. Guru tidak tahu,” tambahnya.
Era Baru telah datang –agak terlambat. Masa depan bangsa terlihat cerah –kalau kian banyak lagi yang seperti ini.(dis)