HARIANHALMAHERA.COM–Wacana perlu tidaknya dicabut moratorium pemekaran daerah di 2020, mendapat perhatian serius para peneliti yang tergabung dalam Intsitut Otonomi Daerah (I-Otda). Mereka menilai kebijakan pemerintah sudah tepat, sehingga perlu dipertahankan.
Salah satu peniliti yang juga seorang pengamat politik dari CSIS yaitu J Kristiadi menuturkan keinginan membuka moratorium pemekaran lebih banyak didasarkan pada kepentingan subjektif politis.
“Saya menilai tidak ada korelasi antara pemekaran dan kesejahteraan. Meskipun ada kesejahteraan tapi itu berlangsung secara sporadis. Secara umum banyak daerah yang ingin dimekarkan tapi belum siap sehingga banyak yang gagal,” tutur Kristiadi di Jakarta, Selasa (10/12), dilansir MediaIndonesia.com.
Dirinya melanjutkan, hasrat untuk memekarkan suatu daerah cenderung berasal dari keinginan para elit di daerah maupun di tingkat nasional untuk membagi rata kekuasan. Padahal sejatinya tujuan melakukan pemekaran adalah untuk bisa meningkatkan dan mewujudkan pemerintahan yang efektif.
“Lihat saja di Papua itu. Di pegunungan ada 2 hingga 3 kabupaten yang belum memiliki Polres. Tidak ada Kodimnya. Belum lengkap sarana-prasarananya. Asal mekar saja semua,” ungkapnya.
Masih menurut Kristiadi, saat ini pemerintah diharapkan fokus untuk melakukan penataan daerah daripada menghidupkan kembali wacana pemekaran. Daerah yang tertata dengan baik akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi warga di daerah tersebut sehingga tidak perlu melakukan upaya pemekaran.
“Menurut saya isunya bukan hanya pemekaran tapi lebih ke penataan daerah. Jadi kalau ada daerah yang ekonominya tidak mungkin untuk besar dan bersaing ya jadikan satu saja kembali,” ungkapnya.
Pada tempat yang sama, peneliti senior asal LIPI Siti Zuhro memaparkan saat ini terdapat 315 daerah otonom baru (DOB) yang menyatakan siap untuk dimekarkan. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negri (Kemendagri).
“Daerah yang akan dimekarkan diwajibkan memiliki prospek yang jelas dan memenuhi kriteria. Perlu ada studi kelayakan. Jangan diloloskan semua hanya karena nafsu politik,” papar Siti.
Siti melanjutkan, bedasarkan penilitian yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terhadap 145 DOB, sebanyak 85% DOB memiliki masalah karena tidak memenuhi kriteria potensi ekonomi. Banyak DOB yang tiadk bisa menerapkan pendekatan pelayanan yang baik kepada publik. Mayoritas terjadi di kabupaten-kabupaten yang berada di luar Pulau Jawa.
“Argumentasi kontra pemekaran sangat meyakinkan. Kemenkeu juga mengatakan tidak hanya membuat pemerintah nasional bangkrut. Tapi pemekaran juga tidak berikan dampak apapun pada daerah itu sehingga APBN menjadi terbebani dengan pemekaran,” paparnya.
Menurut Siti, moratorium pemekaran daerah penting untuk tetap dilakukan. Karena kebijkan desentralisasi dan otonomi daerah kerap menimbulkan persepsi yang tidak sama antara pemerintah pusat dan daerah. “Perlu evaluasi kinerja DOB secara menyeluruh sebagai input penyusunan grand desain penataan daerah,” paparnya.(mdc/fir)