Oleh: Dahnil Anzar S
Staf khusus Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antarlembaga Menteri Pertahanan
MENTERI Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto memanggul beban berat. Salah satunya memenuhi 100 persen minimum essential forces (MEF) atau kekuatan pokok minimum. Program MEF 2010–2024 ini dibagi dalam tiga tahap. Yaitu, rencana strategis (renstra) 2010–2014, 2015–2019, dan 2020–2024.
Kebijakan MEF tersebut merupakan terobosan dalam melakukan transformasi dan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI pasca-Orde Baru. Apalagi, Indonesia tidak bisa melakukan pengadaan dan peremajaan sejak 1995 sampai 2005 karena diembargo AS.
Padahal, militer, seperti disampaikan Mearsheimer, adalah actual power bagi suatu negara. Karena itulah, program MEF tersebut mendesak direalisasikan. Sebab, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas. Belum lagi kekayaan alam yang dimiliki. Apalagi, Indonesia berbatasan dengan banyak negara, yang secara geografis bisa menjadi faktor pembentuk ancaman.
Sementara itu, kekuatan beberapa negara tetangga lebih kuat.
Berdasar The Asia Power Indeks 2018 yang dirilis Lowy Institute, khususnya dalam bidang militer, Indonesia berada di urutan ke-13 di bawah Vietnam (urutan ke-11) dan Singapura (10). Posisi Indonesia juga melorot satu peringkat menjadi urutan ke-16 merujuk Global Firepower 2019 dibanding tahun lalu.
Pemerintah sudah menunjukkan good will yang kuat untuk memperkuat dan memodernisasi alutsista TNI. Itu terbukti dengan peningkatan anggaran Kementerian Pertahanan. Dari Rp 48,9 triliun pada 2010 terus naik menjadi Rp 109,6 triliun pada 2019.
Pada 2020, angkanya naik lagi menjadi Rp 131 triliun. Meski, kenaikan anggaran tersebut tidak selalu berhubungan positif dengan kenaikan belanja alutsista TNI. Sebab, terbentur besarnya belanja pegawai.
Pembangunan persenjataan ini tentu tidak dimaksudkan sebagai ajang perlombaan persenjataan (arms race) maupun strategi pembangunan kekuatan untuk memenangkan perang total. Akan tetapi, pembangunan persenjataan adalah suatu bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar tertentu serta memiliki efek getar (detterent effect).
Dalam meningkatkan dan memodernisasi alutsista tersebut, Prabowo menyiapkan empat pegangan yang saya sebut sebagai politik pengadaan alutsista ala Prabowo.
Pertama, tepat guna. Mengingat luasnya wilayah NKRI dan ancaman yang sangat bervariasi, ancaman tradisional maupun nontradisional, berasal dari negara (state actor) atau nonnegara (nonstate actor), pengadaan alutsista tepat guna harus menjadi kunci. Karena itu, pengadaan alutsista setidaknya menggunakan prinsip threat based planning.
Dalam konteks ini, arahan presiden agar pengadaan alutsista harus berdasar kebutuhan, bukan keinginan, menemukan relevansinya.
Karena itulah, Prabowo sangat aktif menyisir semua kondisi alutsista TNI yang ada, termasuk melakukan review terhadap kontrak-kontrak alutsista yang dianggap tidak tepat guna dengan tentu mendengarkan masukan dari para end user dari angkatan bersenjata.
Kedua, geopolitik dan geostrategis. Saat ini negara produsen alutsista bukan satu atau dua negara lagi. Berdasar data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), ada 67 negara eksporter senjata selama 2014–2018. Lima pemasok terbesar adalah AS, Rusia, Prancis, Jerman, dan Tiongkok.
Indonesia bisa leluasa dalam menentukan produsen mana sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan nasional. Yang penting, jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik, dan hambatan penggunaan alutsista oleh pemerintah dari negara produsen (pasal 43 ayat 5 huruf d UU Industri Pertahanan) seperti pernah dialami Indonesia sebelumnya.
Namun, tentu kedaulatan adalah sikap yang penting dalam politik alutsista terkait geopolitik dan geostrategis belanja alutsista ini. Dalam makna yang singkat adalah tidak ada pihak baik korporasi maupun negara asing yang boleh dan bisa mendikte kebijakan belanja alutsista Indonesia.
Bahkan, lebih dari itu, pengadaan alutsista harus juga digunakan sebagai bagian dari diplomasi pertahanan. Pengadaan alutsista tidak hanya sebagai penguatan militer (internal balancing), tapi juga sebagai penguatan posisi tawar negara di kawasan melalui bantuan pihak asing (external balancing) (Sulaiman, 2016).
Ketiga, efisiensi anggaran. Meski anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mengalami peningkatan dan disebutkan sebagai kementerian dengan anggaran terbesar dibandingkan dengan kementerian lain, perlu dipahami bahwa anggaran Kemenhan dibagi menjadi lima pengguna anggaran dari total Rp 131 triliun.
Kemenhan sendiri mendapat alokasi Rp 21,54 triliun (16,4 persen); Mabes TNI Rp 9,09 triliun (6,9 persen); TNI-AD Rp 61,09 triliun (46,6 persen); TNI-AL Rp 22,76 triliun (17,3 persen); dan TNI-AU Rp 16,69 triliun (12,7 persen). Dari total Rp 131 triliun tersebut, yang digunakan untuk pengadaan alutsista hanya sekitar 30 persen.
Dengan belum maksimalnya anggaran untuk belanja modal tersebut, efisiensi anggaran harus menjadi perhatian. Karena itu, sejak awal duduk menjadi Menhan, kalimat pertama yang disampaikan Prabowo adalah ingin memastikan tidak ada lagi praktik korupsi dalam pengadaan alutsista, ingin melawan kebocoran yang selama ini mengganggu upaya memperkuat pertahanan melalui TNI.
Apalagi, Presiden Jokowi sudah mengingatkan jangan sampai ada kebocoran dan pengadaan alutsista tidak boleh berorientasi proyek alias sekadar penyerapan anggaran.
Keempat, alih teknologi dan offset. Kita tidak akan mandiri, apalagi bisa melampaui negara produsen, selama kita mengandalkan impor alutsista. Kekurangan dalam penguasaan teknologi ini menjadikan syarat alih teknologi dalam pengadaan alutsista tidak bisa ditawar, pun demikian dengan offset (kandungan lokal).
Partisipasi industri yang bisa diwujudkan lewat produksi bersama (co-production), saham patungan (joint venture), beli kembali (buyback), alih pengetahuan (knowledge transfer), dan pelatihan juga harus dijalankan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat industri pertahanan kita. Karena itu, langkah muhibah Prabowo ke negara-negara yang memiliki kapasitas teknologi pertahanan sangat penting untuk merancang kerja sama industri pertahanan, khususnya terkait alih teknologi industri pertahanan Indonesia.
Dengan demikian, kemampuan industri pertahanan pada 2024, mampu menyediakan kebutuhan alutsista untuk mendukung kemampuan pertahanan yang memiliki daya tangkal terhadap seluruh kekuatan negara tetangga, semoga bisa tercapai.
Lebih jauh, kita berharap Indonesia menjadi pemain global dalam industri pertahanan. Hal itu sangat memungkinkan mengingat Indonesia saat ini sudah melakukan ekspor alutsista dan terus meningkatkan kandungan lokal (offset) industri pertahanan kita.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/06/01/2020/politik-alutsista-prabowo-subianto/