Oleh: Firman Toboleu
Wartawan
BAGI anak muda zaman now, kata anti-mainstream sudah biasa. Kata itu tidak lazim bagi generasi X dan Y. Anti-mainstream memang masuk dalam kategori bahasa gaul. Namun bukan berarti tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Anti-mainstream jika didefinisikan merupakan perilaku unik yang tidak seperti kebanyakan orang. Bisa juga perilaku yang tidak mengikuti tren. Anti-mainstream ini bahkan tidak hanya sebatas perilaku. Tempat pun bisa dirancang dengan konsep anti-mainstream.
Bicara anti-mainstream, maka secara tidak langsung bersinggungan dengan era disruption (gangguan, red). Sederhananya, perilaku yang unik tadi berbenturan dengan kebiasaan umumnya di masyarakat. Contoh paling sederhana bisa dilihat dari perubahan perilaku masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan.
Saat ini hampir semua masyarakat mulai memanfaatkan aplikasi dalam smartphone. Uber, grab, ojek online, tiket online, jual beli online, belajar online, konsultasi kesehatan online, dan banyak lagi. Kehadiran aplikasi online ini hanya melalui sebuah perangkat, semua kebutuhan terpenuhi. Gampang, murah, dan nyaman. Tinggal click beres. Mau apa saja bisa.
Hanya saja, bagi Prof. Rhenald Kasali, Ph.D, akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, disruption jangan dilihat sebagai gangguan. Lihatlah itu sebagai inovasi.
Disruption tidak bisa ditolak. Disruption berkembang seiring pergantian teknologi yang bersifat fisik ke teknologi serba digital. Disruption menghadirkan teknologi yang tidak lagi dibatasi ruang dan waktu.
Era digital bisa diibaratkan pintunya Doraemon. Bisa membawa kita ke mana saja. Berhubungan dengan siapa saja dan untuk kepentingan apapun. Lebih mudah dan cepat. Era digital secara tidak langsung menghapus batas-batas daerah dan negara. Semuanya seolah berada di tempat dan waktu yang sama.
Sebagai pembeda, hanyalah kualitas. Sumber daya manusianya. Karena itu dibutuhkan motivasi. Kemauan untuk berbuat lebih. Keinginan untuk terus maju itulah yang nantinya akan menciptakan inovasi-inovasi baru. Pendek kata, era sekarang adalah era persaingan. Tuntutan kebutuhan tidak lagi ‘berjalan’, tetapi ‘berlari’.
Pemimpin Anti-Mainstream
Meski belum banyak, tetapi sudah ada pemimpin anti-mainstream. Pemimpin yang hadir sebagai jawaban di tengah ketidaktahuan dan kebingungan masyarakat menghadapi era disruption.
Pemimpin anti-mainstream dimaksud disini adalah sosok yang punya pola pikir baru untuk membangun daerah, termasuk di dalamnya kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan momentum Pilkada 2020 saat ini, menjadi waktu yang tepat bagi masyarakat untuk memformulasikan kembali harapannya.
Mungkin yang bisa dilakukan sebagai langkah awal, yakni mengubah pola penilaian calon pemimpin. Visi dan misi harus lahir dari masyarakat sebagai pemegang mandat. Ada visi dan misi masyarakat dari berbagai wilayah (dapil). Disinilah peran para wakil rakyat. Mengumpulkan, menyeleksi, dan menyusunnya menjadi visi dan misi mewakili dapil.
Visi dan misi masyarakat inilah yang harus diuji kepada calon pemimpin ke depan. Calon pemimpin harus mampu mencari solusi yang konkrit, solusi yang nyata, dan terukur dalam masa kepemimpinan lima tahun. Disinilah akan terlihat jelas kualitas calon pemimpin. Apakah punya konsep baru yang bisa melahirkan inovasi untuk menjawab ‘tantangan’ masyarakat dalam visi dan misi atau tidak.
Pola ini untuk menjawab, pemimpin yang akan terpilih kelak, visi dan misinya bukan copy paste yang bersifat abstrak. Faktanya, banyak pemimpin di daerah yang hanya berharap dana pusat. Dana untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tidak ada motivasi dan tidak ada terobosan baru untuk membawa daerah menjadi mandiri.
Kata sebagian orang, “kalau hanya mengandalkan dana dari pusat, siapa saja bisa jadi pemimpin daerah. Toh anggarannya ada, tinggal dilihat saja apa yang perlu dibangun. Pasti beres. Apalagi lima tahun bukan waktu yang lama. Copy paste saja APBD-nya, jiplak saja KUA dan PPAS-nya, tinggal sesuaikan item pekerjaannya. Beres.”
Mungkin ada benarnya juga. Barangkali tren pemimpin sekarang, sudah malas berpikir dan bergerak. Tidak ada motivasi untuk maju dan berbuat ‘lebih’ yang membuatnya berbeda dengan pemimpin lain. Pemimpin yang terjebak pada rutinitas. Pimpin rapat, buka tutup acara, hadiri undangan, peresmian, tanda tangan berkas, menunggu investor, dan berbagai rutinitas lainnya.
Padahal ini era disruption. Pemimpin dengan perilaku mainstream seperti itu, sudah pasti daerah yang dipimpinnya tidak akan bergerak maju. Era ini butuh pemimpin yang anti-mainstream. Tampil di depan sabagai ‘inovator’ sekaligus ‘motivator’. Menggandeng seluruh aparat ‘bukan’ sebagai bawahan, tapi sebagai mitra kerja. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.(*)