Saya menghubungi teman di Oman. Saya minta tolong padanya untuk mengadakan kontak ke Kuwait. Soal azan yang bunyinya berubah itu. Yang beredar luas di media sosial: apakah itu bukan hoax.
”Itu benar. Bukan hoax. Saya sudah konfirmasi ke Kuwait,” ujarnya.
Video itu diambil pada tanggal 13 Maret lalu. Hari Jumat. Di ibu kota Kuwait, Kuwait City.
Bunyi azan itu (panggilan salat dari menara masjid dengan menggunakan pengeras suara) memang terasa aneh. Khususnya ketika tiba di kalimat ”marilah datang untuk salat” (hayya alash-shalah). Hari itu bunyi kalimat tersebut menjadi ”salatlah, di rumah masing-masing” (shollu fi buyutikum).
Seumur hidup baru sekali ini saya mendengar azan seperti itu.
Saya lantas membayangkan: kalau misalnya itu dilakukan di Indonesia alangkah ributnya. Bisa-bisa dinilai anti Islam atau menghancurkan Islam.
Jangankan sampai ke soal azan. Anjuran saya ke grup senam di lingkungan saya sendiri saja sudah dipertanyakan. Padahal itu hanya anjuran agar untuk sementara jangan salaman. Jangan pula cipika-cipiki.
”Salaman itu kan sudah identik dengan budaya Islam,” katanya. ”Apakah nanti tidak berakibat merenggangkan silaturahmi antarorang Islam,” tanya anggota senam yang rajin itu –dengan latar belakang pendidikan S-2.
Tentu saya membenarkan salaman itu ciri khas orang Islam –di Indonesia. Untung ada seorang ustaz terkenal di grup senam saya itu. Maka saya minta tolong beliau saja yang menjawab: adakah ayat Quran atau Hadits yang mewajibkan salaman.
Jangan-jangan dulunya, orang zaman dulu, sulit mengucapkan salam (“assalamu alaikum...”). Lalu ucapan itu dinyatakan dengan dalam bentuk bersalaman (berjabat tangan).
Saya punya teman Tionghoa. Ia ingin sekali bisa mengucapkan salam itu di depan umum. Saya diminta untuk melatihnya. Saya merasakan betapa sulit –dan lama– latihan untuk bisa mengucapkan salam itu.
Seperti juga orang dulu yang tidak bisa mengucapkan doa panjang. Apalagi doanya harus dalam bahasa asing/Arab. Misalnya doa agar diberi rezeki yang banyak (luwih-luwih). Maka doa itu diwujudkan saja dalam sajian makanan. Yang di dalamnya harus ada lauk berupa sayur dari kluwih.
Saya tidak perlu menjelaskan asal usul salaman. Pasti komentar pembaca DI’s Way di bawah nanti akan lebih lengkap dan lebih benar. Saya sering kagum membaca komentar di DI’s Way. Bagus-bagus. Sering juga membuat saya terbahak. Hanya sesekali bikin mata saya mlerok –ingat lagu ‘Ojo Dipleroki’.
Bagi saya tidak salaman itu bukan baru. Selesai operasi ganti hati dulu saya juga menghindari salaman. Selama dua tahun. Tentu juga tidak melakukan banyak hal lain yang bisa membuat virus dan bakteri mendekat ke saya.
Waktu itu, 13 tahun lalu, imunitas badan saya diturunkan secara drastis. Agar hati baru yang menggantikan hati saya yang asli tidak ditolak oleh sistem di tubuh saya.
Covid-19 akhirnya memang lebih serius dari yang diperkirakan banyak ahli. Sedikit yang membayangkan sampai menjadi pandemik. Semula dikira akan sebatas epidemik.
Bahkan, siapa sangka, sampai menyentuh praktik keagamaan –semua agama. Termasuk penutupan semua gereja di Italia.
Ketika gereja, kelenteng, dan masjid ditutup di Tiongkok, kita hanya bisa bilang: dasar Tiongkok komunis.
Tapi Italia yang sangat Katolik terpaksa juga menutup gereja.
Dan Kuwait yang sangat Islam dan Arab juga harus menutup masjid. Termasuk harus mengubah azan. Kuwait adalah yang pertama mengubah bunyi azan.
Tapi Malaysia-lah yang pertama meniadakan salat Jumat. Yakni di negara bagian Perlis –yang memberi saya gelar guru besar kehormatan dulu itu.
Itu juga terjadi Jumat tanggal 13 Maret lalu. Setelah ada acara keagamaan yang dihadiri 60.000 orang di Malaysia. Yang kini –setelah diketahui beberapa yang hadir terkena virus Corona Covid-19– pemerintah di banyak negara mengalami kesulitan menelusuri siapa saja yang hadir di situ. Termasuk siapa yang dari Indonesia.
Saya juga membayangkan betapa sibuknya pemerintah kita saat ini: melacak siapa saja yang sudah berhubungan dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Yang semula diumumkan hanya sakit tipus. Yang ternyata terkena Covid-19. Kita berdoa agar beliau tidak sampai mendapat gelar super spreader.
Waktu Sultan Perlis mengumumkan ditiadakannya salat Jumat –diganti salat Duhur– saya termasuk yang kaget: kok begitu berani.
Beberapa jam kemudian barulah saya mendengar apa yang dilakukan Kuwait. Yang hari itu salat Jumatnya juga ditiadakan –tapi perbedaan jam membuat Perlis menjadi yang pertama.
Covid-19 datang ke Kuwait agak telat: 24 Februari 2020.
Yang membawa masuk ke Kuwait adalah dua orang sekaligus. Yakni yang baru datang dari Iran. Yang satu orang Kuwait sendiri. Satunya lagi orang Arab Saudi yang tinggal di Kuwait yang juga baru datang dari Iran.
Setelah itu setiap hari muncullah penderita baru di Kuwait. Sampai hari Jumat lalu sudah mencapai lebih 100 orang.
Untuk Kuwait yang penduduknya hanya 4,5 juta, angka 100 itu termasuk tinggi. Maka sampai setidaknya sebulan ke depan bunyi azan di Kuwait masih akan tetap seperti itu –yang berarti salat Jumat-nya diganti salat Zuhur di rumah masing-masing.
Seluruh masjid di sana ditutup –tidak hanya saat salat Jumat. Salat lima waktu pun tidak boleh dilaksanakan di masjid.
Untung ajaran Islam membolehkan yang seperti itu –meski untuk menerapkannya terasa sekali sensitifnya. (dis)