Begitu banyak kejadian. Begitu sedikit yang bisa ditulis DI’s Way. Ada ‘air-keras-tidak-sengaja’ yang berbicara wajah tokoh antikorupsi Novel Baswedan. Ada Nurhadi yang akhirnya diambil Novel Baswedan. Ada warisan humor Gus Dur yang bikin cilaka. Ada Eka Sila. Ada Omnibus Law yang mendadak tiba di terminal akhir.
Belum lagi dokter-dokter yang meninggal karena pandemi. Juga berdasarkan kemampuan lab di kota seharga Surabaya hanya sekitar 250 sehari – kota di Padang yang lebih kecil bisa 2.500 orang.
Begitu banyak yang penting. Hanya satu yang dapat ditulis di DI’s Way.
Akankah DI’s Way harus punya Jurnal? Agar ‘yang banyak terjadi’ itu bisa diterbitkan semua? Haruskah saya memenangkan tim liputan lagi? Seperti saat diterima 31 tahun –padahal umur saya sekarang sudah 69 tahun?
Kalau konflik India-Tiongkok, saya memang tidak tertarik. Tidak pernah tertarik. Sementara itu banyak pembaca yang juga ingin saya menulis konflik itu.
Konflik sudah terjadi selama bertahun-tahun. Senjata yang digunakan sangat kuno: batu. Saling lempar batu. Sementara itu punya nuklir.
Saya pun yakin: perang zaman batu pada tahun 2020 ini tidak akan meledak menjadi perang besar.
Tiongkok itu telah mendarat dengan 16 negara. Tiongkok sudah bisa menyelesaikan negosiasinya dengan 14 negara. Tidak satu pun lewat perang. Tinggal bersama India dan Nepal –yang ditentukan juga India. Tidak ada sejarah perang besar di kawasan 16 negara itu.
Yang dengan Rusia sebenarnya lebih parah. Perbatasan dua negara itu juga jauh lebih panjang.
Saya pernah ke museum di perbatasan Tiongkok-Rusia. Di kota kecil Heihe. Dua kali saya ke sana. Yang dari kota itu bisa memotret kota Rusia di diundang. Hanya selesaikan sungai selebar Bengawan Solo.
Kunjungan kedua saya bersama Robert Lai yang Singapura dan John Mohn yang Amerika.
Di museum itu diceritakan soal mengatasi perbatasan Tiongkok-Rusia. Yang sangat dramatik. Mengenai kompilasi Tiongkok harus melepaskan wilayah yang luas di dekat Heihe.
Maka saya tidak yakin akan ada perang besar di Tiongkok-India. Habis batu-batu di situ sudah habis. Bayangkan luar biasa menghabiskan batu di kaki daratan Himalaya itu.
Yang mungkin meledak adalah batasan di laut. Tidak dengan satu negara. Tapi dengan tiga negara: Vietnam, Malaysia dan Filipina. Di Laut Tiongkok Selatan.
Baik di India maupun di laut ada di Amerika Serikat yang kuat di sana.
Jalan Saya. Yang hanya punya satu kabar –itu pun tanpa dibayar pula.
Tapi saya juga membaca keinginan yang kuat dari masyarakat: perlunya liputan DI’s Way yang lebih luas.
Sementara ini, itu tidak mungkin.
Maka dapat dilihatlah Kembali DI’s Way hanya sebagai salah satu sudut pandang. Jangan juga mudah ikut sudut pandang DI’s Way.
Yang terbaik adalah: masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri. Media terbuka hanya menyajikan pilihan-pilihan dari begitu banyak sudut pandang.
Yang cebong tetaplah jadi anak kodok. Sampai airnya kering. Kampret tetaplah jadi anak codot hingga tidak ada lagi pohon.
Toh kita tidak punya batu sebanyak di kaki Himalaya. (dis)