Pecandu Liga Inggris kelimpungan sejak tahun lalu. Sejak hak siar di Indonesia pindah ke MolaTV.
MolaTV?
Semula itu dikira stasiun TV dari negara Bugaboo. Di Indonesia tidak pernah dikenal nama stasiun TV seperti itu.
Atau jangan-jangan itu TV dari Timur Tengah –seperti kemunculan tiba-tiba beIN Sports dulu itu.
Lalu siapa itu MolaTV?
Ternyata itu asli Indonesia. Dari grup Djarum –perusahaan rokok yang sudah lama menggeser Gudang Garam sebagai Raja Kretek Indonesia.
Sebelum itu orang Jakarta sudah telanjur berlangganan Nextmedia –untuk mendapat siaran Liga Inggris. Mereka pun buru-buru mengganti decoder –biar pun langganan Nextmedia-nya belum habis. Dan tidak bisa di-refund.
Mereka pun harus membeli alat baru: MolaTV –bagi yang punya uang.
Orang Surabaya lebih tersiksa lagi. Tidak bisa beli alat itu di Surabaya. Terpaksa mereka beli di Jakarta –dengan berbagai cara. Entah sekarang.
Apalagi yang di luar kota besar. Benar-benar harus puasa Liga Inggris. Atau curi-curi live streaming yang mereka juga curi-curi dari yang mencuri-curi.
“Terima kasih TVRI,” begitu komentar sebagian pemirsa TV.
Mereka kaget: kok hebat banget TVRI. Sudah lama TVRI tidak pernah bikin kaget. Barulah di zaman direktur utama Helmy Yahya ini banyak kemajuan.
“Tumben TVRI mampu menyiarkan Liga Inggris,” ujar yang lain. Dengan nada setengah tidak percaya.
Maka orang seperti saya lantas mereka-reka –mengapa Mola memilih TVRI sebagai mitra kerjasama.
Karena belas kasihan?
Karena hubungan baik dengan dirutnya –yang memang sosok beken?
Karena mengakui jaringan TVRI-lah yang paling luas?
Sama sekali tidak ada pikiran bahwa TVRI-lah yang mampu membayar termahal –dibanding TV-TV swasta yang ada.
Mustahil TVRI punya kemampuan itu.
Namun tidak pernah ada publikasi bagaimana bentuk kerjasama itu. Tidak ada juga wartawan yang tergelitik untuk mempertanyakan bentuk kerjasama itu.
Tahunya pokoknya kali ini TVRI tak terpermanai.
TVRI-pun penuh puja-puji –biar pun hanya sedikit pertandingan Liga Inggris yang boleh muncul di TVRI.
Sampailah muncul berita mengagetkan itu: Dirut TVRI Helmy Yahya diberhentikan sementara.
Tidak terungkap mengapa diberhentikan. Helmy Yahya pun menolak pemberhentian itu. Seraya membeberkan kesuksesan kinerjanya.
Kehebatan TVRI itu ternyata membuat Dewan Pengawas TVRI terkedip-kedip. Dewan Pengawas adalah semacam dewan komisaris di perusahaan.
TVRI memang bukan perusahaan –termasuk bukan perusahaan BUMN. Bukan pula Perum. Statusnya adalah ‘lembaga penyiaran publik’.
Keberadaan TVRI –seperti juga Radio Republik Indonesia, RRI– mirip seperti BBC Inggris atau NHK-nya Jepang.
Anggaran belanjanya dari negara –dikoordinasikan oleh Sekretariat Negara. Karena itu kita semua tahu: anggaran itu pasti tidak cukup untuk membuat TVRI semaju stasiun TV swasta.
Karena itu TVRI juga boleh menerima iklan. Maksimum 15 persen dari jam tayangnya.
Mahal-murahnya iklan itu ditentukan oleh direksi. Hasilnya boleh untuk biaya operasional.
Mungkin saja kerjasama dengan Mola itu termasuk kerjasama iklan –setiap iklan yang masuk TVRI di Liga Inggris harus dibagi dengan Mola.
Atau bukan seperti itu.
Bisa saja TVRI mengambil semua iklan itu. Tapi harus membayar siaran itu ke Mola –dengan diskon khusus. Toh tidak semua pertandingan boleh disiarkan TVRI.
Atau tidak begitu. Kita tidak tahu. Tidak ada penjelasan tentang itu.
Rupanya setelah melihat semua itu, dari terkedip-kedip Dewas menjadi terbelalak. Lalu melotot.
Lalu keluarlah putusan itu: memberhentikan sementara Helmy Yahya.
Dewas rupanya punya alasan tersendiri. Pembelaan Helmy Yahya tidak bisa diterima. Dalam pembelaannya Hilmy tidak membeberkan semua itu.
Bahkan, dua hari lalu Dewas memanggil sang Dirut –untuk diberi surat pemberhentian tetap.
Sampai di sini tetap tidak terungkap apa alasan pemberhentian itu. Begitu teguh Dewas itu –termasuk dalam merahasiakan alasan di balik itu.
Benarkah ada kaitan dengan siaran sepak bola Liga Inggris itu. Atau juga soal pekerjaan-pekerjaan untuk memproduksi acara –yang sebagian diberikan kepada production house di luar TVRI?
Saya bisa menduga penyebab utamanya adalah keterbatasan dana itu –lalu harus dicari sumber dana lain. Lalu timbul silang pendapat.
Secara hukum, semua hasil iklan TVRI harus disetorkan ke negara –karena TVRI dapat anggaran dari negara.
Kecuali ada ketentuan lain.
Problem seperti ini juga muncul di rumah-rumah sakit milik pemerintah. Dulu. Di satu pihak RS harus memberikan pelayanan terbaik –agar tidak dilindas RS swasta. Di pihak lain uang yang masuk harus disetor ke negara.
Tapi belakangan sudah ada jalan keluar. RS pemerintah boleh berkreativitas mencari sumber dana lain. Perpres-nya pun sudah keluar dua tahun lalu. Yakni Perpres tentang pengadaan. Yang membolehkan manajemen RS pemerintah mengatur sendiri pengadaan itu.
Hanya saja mereka tetap ketakutan. Tidak ada yang berani memanfaatkan Perpres itu.
Bulan lalu Kementerian Keuangan meminta saya berbicara di depan seluruh Dirut RS pemerintah. Untuk mendorong kreativitas mereka.
Sekitar 300 orang hadir. Hampir semuanya dokter.
“Siapa yang sudah berani melakukan pengadaan sendiri?” tanya saya.
Tidak ada yang angkat tangan.
Tidak ada yang bicara.
Diam.
Sunyi.
Berulang kali saya tanyakan itu. Sambil saya jalan-jalan ke tengah-tengah mereka.
Tetap saja tidak ada yang terkedip.
“Kan sudah ada Perpres-nya? Sudah ada landasan hukum yang kuat?” tanya saya lagi.
“Tetap tidak berani, pak,” begitu kira-kira kata hati mereka.
Bergerak di sektor seperti RS, TVRI, pun BUMN memang tidak mudah.
Mereka lebih memilih cari aman.
RS Jiwa di Magelang, misalnya, memilih menanam sayur –memanfaatkan lahan yang lebih 150 hektar dan karyawan yang sudah terlanjur banyak.
Hanya Dirut RS Dr Cipto Mangunkusumo yang cantik itu, yang paling berani. Ia akhirnya menceritakan: berani mencari dana dari membuka bidang usaha stemcell.
Manajemen lembaga seperti RS, TVRI dan RRI memang benar-benar sulit –begitu banyak rambu yang mengekang kreativitas.
Salah sedikit bisa terpeleset. Niat baik saja tidak cukup. Harus punya pula nasib baik.(dis)