SAYA lagi membayangkan: bagaimana jalannya pemeriksaan polisi atas dr Lois Owien itu. Kemarin. Pasti penuh dengan istilah kedokteran, obat, virus, jenis penyakit, dan seterusnya. Mungkin membuat berkas pemeriksaannya juga lama: harus menyebut nama-nama obat yang ejaannya harus benar. Juga mengenai kegunaan obat-obat itu. Lalu kombinasinya.
Belum lagi polisi, yang memeriksa itu, menganggap dr Lois sebagai orang apa: sebagai orang yang menderita gangguan jiwa atau sebagai ilmuwan waras.
Yang jelas dr Lois orang yang pintar. Setidaknya lebih pintar dari saya. Dia juga terlihat sebagai orang yang haus belajar. Dari podcast terbarunyi dia terkesan mengikuti banyak jurnal kedokteran internasional.
Dia juga terlihat merasa sering diremehkan –yang mungkin ikut mengganggu kejiwaannyi. Misalnya karena dia belum punya keahlian sebagai dokter spesialis.
Dia memang memilih mendalami spesialisasi yang dianggap bukan bagian dari ilmu kedokteran: masalah hormon anti penuaan.
Dari podcast terbarunyi, dengan Prassalli, menunjukkan tidak ada sisa-sisa sebagai penderita kejiwaan. Begitu runtut bicaranyi. Begitu terkendali sikapnyi.
Podcast dengan Prassalli itu kelihatannya dilakukan setelah podcast dengan Babeh Aldo –yang dibredel oleh YouTube itu. (Lihat Disway kemarin). Podcast-nyi dengan Prassalli aman-aman saja. Mungkin karena judulnya tidak provokatif. Isinya juga lebih dingin. Tapi dia tetap menyebutkan pandemi ini sebagai plandemi –pandemi yang direncanakan.
Prassalli singkatan dari nama aslinya: Prassetya Alliyus. Dulu penyiar radio Mustang. Alumni fakultas teknik arsitektur Universitas Bung Hatta Padang. Ia dapat nomor telepon dr Lois dari temannya. Ketika di-WA langsung membalas. Sabtu rekaman. Minggu diunggah ke YouTube. Berarti sehari setelah podcast dengan Babeh Aldo.
Dokter Lois terlihat sangat ”sadar cantik”. Wajahnyi terlihat sangat dirawat. Rambutnyi tertata cantik –sesuai dengan umurnyi. “Yang jelas, dalam masalah komunikasi beliau pinter sekali,” ujar Aldo.
Sejak masih praktik sebagai dokter umum di Tarakan dr Lois memang sudah tertarik pada soal kecantikan.
Saya pun minta tolong wartawan Radar Tarakan Yedidah Nakondo, untuk mencari ibunda Lois. Yang masih tinggal di Tarakan. Yedidah hanya menemukan rumah yang dalam keadaan tertutup di Kampung Bugis. Rumah itu cukup bagus dibanding rumah-rumah sekitarnya. letaknya di sebuah jalan masuk dari sebuah jalan utama di Tarakan.
Di depan rumah itu masih ada papan nama dokter Lois. Dari papan nama itu jelas namanya Lois. Bukan Louis. Dokter umum. Praktik tiap hari, pukul 17.00 sampai 20.00.
Papan nama itu sudah kusam –menandakan sudah lama ditinggalkan. Hurufnya masih bisa dibaca tapi ada yang sudah mulai kabur (Lihat foto).
Dulu, di sebelah tempat praktiknyi itu dibuka klinik kecantikan. Namanya d’Lois. Klinik itu juga pernah ada di jalan utama di kota itu.
Dokter Lois tamatan SMA Katolik Don Bosco Tarakan. Lalu kuliah di fakultas kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Angkatan lulus tahun 2009.
Tugas pertamanyi sebagai dokter PTT: di pulau Sebatik, kecamatan paling utara di Kalimantan Utara. Pulau itu separonya wilayah Indonesia, separonya lagi Sabah, Malaysia Timur. Tiga tahun dr Lois di situ. Lalu pindah ke kota Tarakan, kota terbesar di Kaltara.
Ayah dr Lois sudah meninggal. Sang ayah adalah orang terkenal di kampungnya: Krayan. Itu sebuah kecamatan paling terpencil di provinsi Kalimantan Utara. Letaknya di perbatasan dengan Malaysia Timur. Tidak ada jalan darat menuju ke Krayan. Yang ada justru jalan darat dari Krayan ke Serawak. Separo wilayah Krayan memang berbatasan dengan Serawak. Separonya lagi berbatasan dengan Sabah.
Ayah dr Lois seorang mantri kesehatan di Krayan. Lalu dipindah ke dinas kesehatan di Tarakan. Sejak saya masih di Kaltim dulu Krayan terkenal dengan produk berasnya –karena enaknya. Harus naik pesawat kecil untuk ke sana.
Berarti dr Lois termasuk warga suku Dayak Lundayeh. Yang umumnya memang hidup di Krayan dan sekitarnya. Termasuk banyak tinggal di pedalaman Serawak dan Sabah. Pun suku Dayak Lundayah ini sampai ada di Brunai.
Sebenarnya dr Lois tidak pernah dipecat dari IDI setempat. Dia hanya pergi dari Tarakan tanpa mengurus kepindahan keanggotaannyi. Dia juga tidak memperpanjang lagi izin praktik dokternyi. Dia lebih tepat disebut dicoret dari daftar karena tidak mengurus administrasinya.
Saya kembali membayangkan sikap apa yang diambil oleh dr Lois di depan polisi. Sebagai penderita gangguan jiwa –dan karena itu tidak bisa dihukum? Atau sebagai ilmuwan sehat dengan segala risikonya?
“Rasanya beliau bahagia di sana,” ujar Babeh Aldo yang saya tanya kemarin petang. “Memang itulah rasanya yang beliau cari. Agar bisa mengungkapkan kebenaran yang beliau yakini,” katanya.
Aldo –nama aslinya Mohamad Ali Ridlo– ingin sekali bisa ikut membela dr Lois. “Guru-guru saya mengajarkan berteman itu harus jangan hanya di kala senang,” katanya.
Fenomena seperti dr Lois tidak hanya di Indonesia. Di Amerika pun biasa saja. Bahkan, dua hari lalu, Gubernur Negara Bagian South Dakota Kristi Noem, jadi bintang di pertemuan besar pendukung Partai Republik: “Saya satu-satunya gubernur yang tidak pernah melarang penutupan usaha, mengharuskan jaga jarak dan mewajibkan masker.”
Dokter Lois juga sangat pede dengan pendiriannyi. Dia tidak takut siapa-siapa. Hanya takut pada Tuhan.
Maka saya ingin sekali melihat kelanjutan bagaimana polisi menangani dokter yang satu ini. (dis)