Itu jam 05.00 pagi. Di luar masih gelap. Dari kamar hotel terdengar alunan suara dari pengeras suara.
Saya sudah bangun satu jam sebelumnya. Jangan sampai telat: ikut sembahyang subuh umat Hindu. Di tempat yang dianggap paling suci: Sungai Gangga.
Sungai Gangga panjangnya 2.500 km. Tapi hanya punya tujuh tempat yang dianggap paling suci. Dan di antara tujuh itu di sinilah yang tersuci: di Varanasi.
Letak Kota Varanasi di pedalaman India. Di tengah negara bagian Uttar Pradesh. Sekitar 10 jam perjalanan darat dari New Delhi.
Bisa 19 jam kalau dari Kuil Emas Sikh di Amritsar (Punjab). Karena itu saya naik pesawat. Transit di bandara Indira Gandhi di New Delhi.
Saya batalkan rencana jalan darat itu. Agar tanggal 8 bisa ke Tazkia di Malang.
Balik ke New Delhi-nya saja yang akan jalan darat. Agar bisa melewati daerah Mathura, Ayodya, dan Agra.
Keluar dari hotel benar-benar masih gelap. Saya pilih naik Bajaj lagi. Sungai Gangga hanya 30 menit dari hotel.
Saya sudah terbiasa naik Bajaj. Di mana-mana.
Sulit sekali cari taksi. Sejak ada Ola –Ubernya India tidak tahu lagi yang mana yang disebut taksi.
Saya tidak punya aplikasi untuk Ola. Bajaj pun menjadi pilihan yang fleksibel. Toh udara lagi sejuk. Seluruh Varanasi diberi AC oleh Tuhan Yang Maha Esa: 16 derajat celsius.
Saya tidak kebagian hotel yang di pinggir Gangga. Begitu sulit mencari kamar kosong di Kota suci –Varanasi maupun Amritsar.
Sepanjang jalan lampu penerangannya seperti selalu low batt. Bajaj pun berhenti di mulut salah satu gang. Saya tidak pilih-pilih di mulut gang yang mana. Ratusan gang di sepanjang jalan itu. Semua gang menuju tepian Sungai Gangga.
Dari pinggir jalan itu saya memasuki gang yang sempit. Sejauh kira-kira 300 meter.
Gang itu berliku. Di jepitan kampung besar yang padat. Sepanjang pinggiran Gangga –di Kota Varanasi ini– dipenuhi kampung miskin.
Padat. Ruwet. Kotor. Kumuh.
Alunan dari pengeras suara tadi terdengar kian banyak. Pun sampai di kampung padat ini. Itulah suara orang membaca kitab suci di kuil-kuil Hindu.
Ups, ada satu suara yang saya kenal –suara azan subuh. Dari sebuah masjid Islam di kejauhan.
Berarti saya tadi salat subuh sebelum waktunya. Atau azan itu yang agak telat.
Islam masuk ke Varanasi di zaman Kekaisaran Mughal. Bahkan Uttar Pradesh pernah menjadi pusat Islam zaman itu.
Di sepagi itu sudah banyak orang menembus gang. Menuju tepian Gangga.
Setiba di pinggir Gangga saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sungai ini lebarnya mirip Mahakam di Kaltim.
Tentu saya lebih banyak melihat orang sembahyang. Atau melihat turis yang ingin naik perahu.
Banyak sekali penjual bunga di di pinggir sungai ini. Bunga itu ditaruh di piringan kecil. Piringnya terbuat dari kertas. Di tengahnya diberi lilin mungil.
Setiap membeli bunga sekalian diberi korek apinya.
Mereka akan membawa bunga itu ke tengah sungai. Dengan sewa perahu.
Di tengah sungailah lilin dinyalakan. Lalu piringan berbunga itu diletakkan di atas air. Dengan api lilin yang sudah menyala. Ratusan lilin pun mengambang hanyut ke hilir. Membuat sungai ini lebih indah –dan lebih banyak sampah yang harus dibersihkan.
Ibadah lain adalah memberi makan burung. Seisi perahu menyebarkan makanan burung ke air –yang dibeli bersamaan dengan beli bunga.
Ratusan burung terbang rendah di permukaan air. Mematuk makanan yang mengambang. Momen itu sangat asyik untuk ber-selfie. Dikelilingi burung yang terbang memutar.
Setelah itu perahu menuju sisi seberang sungai. Ke arah yang tepian sungainya dangkal. Di situlah mereka terjun ke sungai. Bermandi air suci.
Sambil mandi bisa melihat Kota Varanasi yang memanjang sejauh 7 km.
Bangunan yang paling pinggir sungai adalah rumah-rumah kampung miskin tadi. Yang padat itu.
Ups, salah.
Ada juga dua-tiga hotel besar. Ada lagi beberapa rumah mewah. Milik orang kaya dari Mumbai, Delhi, dan kota besar lainnya.
Dengan memiliki rumah di situ orang kaya tersebut bisa sembahyang di Sungai Gangga tanpa harus melewati gang tikus.
Banyak juga kuil Hindu di pinggir sungai ini. Menghadap ke sungai. Membelakangi gang tikus.
Setelah matahari tinggi saya meninggalkan Gangga. Selebihnya tinggal atraksi turis. Yang tidak peduli keutamaan waktu ke Gangga. Yang adalah menjelang matahari terbit. Atau sesaat sebelum matahari tenggelam.
Saya orang yang pernah hidup di kampung tepian Sungai Mahakam. Di Karangasam Samarinda. Sebelum mendapat wanita yang sekarang menjadi istri saya.
Saya sudah biasa melihat pemandangan sungai besar seperti itu. Mandi pun di atas kayu terapung yang diikat di pinggir sungai. Di situ pula toiletnya.
Bedanya, pinggiran sungai Gangga di Varanasi ini curam. Tidak perlu ada jembatan kayu menuju batang kayu yang diikat tadi.
Sepanjang pinggiran sungai Gangga sudah dibeton. Dengan mutu beton seadanya. Yang penting tidak becek. Trap-trap tangganya juga tidak seragam. Tiap mulut gang punya trapnya sendiri –menuju tempat perahu parkir.
Di beberapa tempat trap itu sampai ke dalam air. Banyak orang menceburkan diri di trap seperti itu. Tidak harus menyeberang ke bagian yang dangkal tadi.
Matahari sudah mulai bersinar terang. Saya kembali menyusuri gang tikus. Menuju jalan raya. Saya bisa melihat kondisi gang itu lebih jelas.
Sesekali melongokkan wajah ke dalam bilik rumah.
Perjalanan kian tersendat menelusuri gang ini. Sepeda motor ikut berebut gang sempit. Dengan suara mesin dan klaksonnya.
Sesekali saya juga harus berjungkit –banyak kotoran sapi di dekat sepatu.
Tidak sulit mencari Bajaj di mulut gang. Ini boleh dibilang kota Bajaj. Atau kota gerobak yang ditarik sepeda.
“Ke kuil Hanoman,” kata saya. Saya tidak perlu lagi bertanya: berapa ongkosnya. Saya sudah hafal perkiraan permintaan mereka. Sekitar Rp 50.000 – Rp 80.000.
Saya pun diantar ke kuil kera. Salah satu yang dianggap paling suci di kota suci Varanasi.
Hanoman ternyata dewa yang terfavorit di kalangan laki-laki.
Dalam perjalanan menuju Kuil Hanoman ini pikiran saya melayang ke Surabaya: mengapa Varanasi tidak mengangkat Bu Risma sebagai wali kotanya.(dis)