SAYA sulit kalau harus mengilmiahkan kata ”hoki”. Yakni kata hoki seperti yang diucapkan pengusaha besar Irwan Hidayat –pemilik pabrik jamu Sido Muncul itu.
Ia ngotot bahwa keberhasilannya selama ini benar-benar semata karena hoki. Tidak ada yang lain. Juga bukan karena kerja keras.
Saya bertemu Pak Irwan kemarin. Lewat layar Zoom. Kami sama-sama menjadi pembicara seminar yang diadakan MarkPlus. Yakni sebuah lembaga marketing terkemuka milik guru marketing Hermawan Kartajaya.
Semula saya tidak percaya bahwa kesuksesan Pak Irwan semata-mata karena hoki. Saya yakin Pak Irwan itu pasti pekerja keras.
Tapi Pak Irwan ngotot: tidak. “Saya benar-benar bukan pekerja keras,” kata Pak Irwan. Pekerjaannya dulu hanya jalan-jalan. Bersama saudaranya. Sambil mengembangkan Sido Muncul.
Saking ngototnya Pak Irwan sampai saya harus kalah. Setidaknya harus mengalah. Tapi saya terus berpikir. Masak benar-benar hanya karena hoki. Saya pun lantas menemukan istilah kompromi. Yang mungkin lebih tepat. Saya coba memperkenalkan istilah baru ini: hoki yang diupayakan.
Itu berarti saya memang memercayai adanya faktor hoki, tapi hoki yang diusahakan.
Saya pun ingat wartawan saya. Yang karya fotonya terpilih sebagai foto terbaik dunia –di tahun itu. Namanya Sholehudin. Justru ia bukan wartawan foto.
Foto juara dunia itu berupa truk tentara yang penuh sesak dengan suporter sepak bola Bonek. Saking penuhnya sampai posisi truk itu miring sekali. Suporter remaja itu seperti hendak tumpah ke jalan. Satu dua orang sudah loncat dari truk –ketakutan. Beberapa lagi terlihat panik. Sopir truk itu –berpakaian tentara– menoleh dengan wajah tegang.
Dewan juri di Swiss secara aklamasi memilih foto itulah juara dunia tahun itu. Tidak perlu diskusi. Tidak perlu pemungutan suara.
“Itu kan kebetulan. Ia lagi hoki. Lagi berada di lokasi truk itu,” ujar beberapa wartawan –yang kelihatannya cemburu.
Tentu saya setuju: ada unsur kebetulan di situ. Tapi seandainya si wartawan tidak rajin keliling kota mencari berita apakah ia akan mendapatkan keberuntungan itu? Seandainya ia hanya di kantor menghadapi komputer apakah akan bisa menemukan kejadian itu?
Itulah yang saya maksud dengan hoki yang diupayakan.
Pak Irwan masih belum bisa menerima. Ia tidak seperti itu. Ia mengaku bukan orang yang rajin. Tubuhnya pun bukan tubuh yang kuat dan enerjetik.
Saudara-saudaranya punya tubuh yang tinggi. Ada yang 175 cm, ada yang 179 cm. Ia hanya 168 –seperti saya.
Pun waktu bayi. Ia sakit-sakitan tiada henti. Sakit apa saja pernah ia alami. Istilah modern sekarang disebut stunting.
Karena itu ketika usia Pak Irwan baru tiga bulan, masih bayi, sudah diberikan ke ”orang lain”. Untuk diambil anak. Dengan kepercayaan agar tidak sakit-sakitan lagi.
”Orang lain” itu adalah neneknya sendiri. Jadilah Irwan anak neneknya.
Semua itu karena sang ibu punya banyak anak: 9 orang. Irwan anak ke-7. Tiap tahun ibunya melahirkan. Saat Irwan berumur tiga bulan itu sang ibu sudah hamil lagi.
Karena tidak bisa mendapat air susu, bayi Irwan diberi makan tajin –kuah dari nasi yang sengaja diberi air lebih banyak. Kondisi ekonomi memang lagi sulit. Belanda dan Inggris melakukan agresi pertama sampai ke Jogja. Perang tidak berkesudahan. Ekonomi masyarakat menjadi sangat berat.
Saat perang itu sang nenek membuka usaha jualan bahan-bahan untuk jamu. Di Jogja.
Ketika sang nenek harus mengungsi ke Semarang –untuk menghindar jadi korban perang– Irwan diajak mengungsi.
Di Semarang itulah sang nenek mulai membuat produksi jamu. Dari pengalaman sang nenek jualan bahan baku jamu di Jogja. Itulah riwayat lahirnya jamu Sido Muncul. Tahun 1951. Di saat ketika banyak jamu lain sudah lebih dulu terkenal: ada jamu Jago, Nyonya Meneer, Nyonya Item, Nyonya Go, dan seterusnya.
Saat remaja pun Irwan bertubuh kerempeng. Bahkan ketika di umur yang seharusnya punya berat badan 63 kg, Irwan hanya 46 kg.
Saya pun baru tahu: Irwan itu ternyata keturunan orang kaya raya. Kakek buyutnya adalah adik kandung Oei Tiong Ham –orang terkaya se Asia di zaman itu.
Kapan-kapan saya akan bertemu khusus Pak Irwan untuk menggali kisah leluhurnya di Semarang itu.
Sebelum itu biarlah saya percaya dulu bahwa sukses Pak Irwan benar-benar semata karena hoki.(dis)