MUNGKIN inilah prestasi terbesar pemerintahan Jokowi di bidang pertanian: kartu petani.
Semua petani saat ini sudah diberi kartu tani. Di dalam kartu itu berisi data pribadi, berikut kuota pupuk yang bisa dibeli dengan murah. Yakni, pupuk bersubsidi.
Data pribadi yang dimaksud adalah nama, alamat, nomor KTP, luas sawah yang dimiliki.
Kartu tani itu sudah diuji coba akhir tahun lalu. Hanya di beberapa kabupaten. Misalnya di Batang, Jateng.
Bulan Maret lalu dicoba lagi di beberapa kabupaten berikutnya. Hasilnya: memuaskan.
Maka, menghadapi musim tanam bulan depan ini, penggunaan kartu tani itu akan berlaku di seluruh Indonesia.
Ini sebuah kerja besar Kementerian Pertanian yang sangat mendasar. Terutama di bidang pengendalian pupuk subsidi. Inilah cara paling modern untuk mengatasi penyelewengan pupuk subsidi.
Dengan kartu itu, seorang petani bisa datang ke kios resmi pupuk subsidi. Mereka umumnya sudah tahu di mana kios terdekat. Di tiap desa pasti ada kios seperti itu. Bahkan, ada yang dua kios di satu desa.
Di kios tersebut petani tinggal menyodorkan kartunya ke petugas di kios. Sang petugas memasukkan kartu itu ke mesin pembaca kartu. Di layar mesin tersebut akan terbaca data pribadi pemegang kartu. Juga, terbaca berapa kuintal pupuk murah yang menjadi jatahnya.
Setiap petani yang memiliki sawah 1 hektare, ia berhak membeli urea bersubsidi sebanyak 2,5 kuintal. Kalau sawahnya hanya setengah hektare, jatahnya hanya separonya. Begitu seterusnya.
Pupuk subsidi itu hanya diberikan ke petani kecil. Yang maksimum punya sawah 2 hektare. Yang sawahnya lebih dari 2 hektare harus membeli pupuk komersial. Misalnya, Anda punya sawah 5 hektare. Anda berhak mendapat pupuk murah untuk yang 2 hektare. Sedangkan yang 3 hektare harus membeli pupuk nonsubsidi.
Selisih harganya sangat jauh. Pupuk subsidi hanya Rp 2.800/kg. Sedangkan pupuk nonsubsidi Rp 5.000/kg.
Misalnya, Anda punya sawah 1 hektare. Sekali tanam mendapat jatah 2,5 kuintal urea. Berarti hanya perlu membayar Rp 700.000. Maka, untuk tiga kali tanam, Anda mendapat jatah 7,5 kuintal urea setahun. Dengan harga Rp 2.100.000. Padahal, kalau tanpa subsidi, Anda harus keluar uang Rp 3.750.000.
Tentu masih ada petani yang belum memegang kartu. Yakni, yang belum sempat mengurusnya. Tapi, ia bisa mengurus kapan saja ke petugas penyuluh pertanian di desanya.
Ada juga petani yang kehilangan kartu. Itu tidak masalah. Bisa minta ganti.
Hanya, umumnya petani tidak mau menyimpan sendiri kartu mereka. Mereka pilih menitipkan kartu itu di kios pupuk. Hubungan antarmanusia di desa umumnya memang saling percaya.
Bukankah kartu itu terhubung dengan rekening bank milik petani? Bukankah di kartu itu ada nomor PIN yang harus dirahasiakan?
Petani biasanya tidak pernah punya uang di rekeningnya itu. Maka, biarpun kartunya dititipkan di kios, mereka merasa tidak masalah. Toh tidak ada isinya.
Bahkan, nomor PIN-nya pun umumnya masih nomor PIN asli dari bank: 111. Jarang yang mengubahnya menjadi nomor PIN rahasia.
Toh, petugas kios umumnya kenal siapa petani di situ. Sang petani tinggal datang ke kios. Lalu, petugas mengambil kartunya. Dimasukkan mesin pembaca. Mengisikan PIN-nya: 111. Lalu, terbaca masih punya jatah pupuk berapa kuintal.
“Pak Parno masih punya jatah 7,5 kuintal,” kata petugas. ”Mau ambil berapa?”
“Mau ambil 2,5 kuintal,” jawab Parno.
Harusnya petugas kios tinggal menggesek kartu itu senilai Rp 700.000. Tapi, di kartu itu kan tidak ada uangnya. Lantas bagaimana?
Inilah cara gotong royong di desa. Sang petani membayar uang kontan Rp 700.000 ke kios. Petugas kios mentransfer uang itu ke rekening kartu taninya. Baru si kios menggesek nilai Rp 700.000 dari kartu tani yang barusan terisi.
Kartu itu pun kosong lagi. Disimpan lagi di kios. Dengan sisa jatah urea masih 5 kuintal. Bisa diambil kapan pun kalau mulai tanam lagi.
Saya sudah cek ke pemilik kios di Brebes, Jateng. Begitulah yang berlangsung di lapangan.
Inilah cara pengaturan pupuk subsidi terbaik dalam sejarah pupuk subsidi selama ini. Tidak perlu lagi pakai cara pupuk yang sampai diberi warna oranye. Tidak perlu lagi ada polisi yang harus melakukan razia gudang-gudang pupuk.
Adakah petani yang ambil pupuk subsidi untuk dijual? Dengan alasan ia tidak tanam padi tahun ini?
Itu bisa saja terjadi. Tapi tidak akan banyak. Petani akan malu ke tetangga. Sudah ambil pupuk kok tidak menanam. Tetangga akan langsung melihat kecurangan itu dengan sejelas-jelasnya. Tidak ada Bentjok di desa. Tidak ada Jiwasraya di sana.
Maka, tahun ini adalah pembuktian apakah angka subsidi pupuk yang di APBN sebesar Rp 27 triliun itu benar-benar memang segitu.
Ini juga tahun pembuktian, apakah tikus-tikus subsidi cukup pintar sehingga punya cara baru untuk menyiasatinya.(dis)