KALIMAT ini seperti terucap tidak disengaja. Tapi satu kalimat ini dianalisis begitu banyak orang: itulah untuk kali pertama ada pertanda-pertanda Presiden Donald Trump menyadari terjadilah apa yang harus terjadi.
“Saya tidak akan memerintahkan lockdown,” ujar Trump dua hari lalu, ketika untuk kali pertama pidato di depan publik setelah Pilpres. “Diharapkan peme… peme.. apa pun yang akan terjadi, siapa yang tahu, pemerintah yang mana pun…”
Kalimat itulah, meski tidak jelas, yang dianggap bawah sadar Trump sudah mulai mengaku kalah.
Baru malam harinya sedikit lebih jelas. Trump mengunggah tweet. Mungkin sengaja untuk memperjelas kalimat di pidatonya tentang Covid-19 di Gedung Putih itu.
“Dia menang karena Pilpresnya curang,” tulis Trump.
Yang penting sudah mulai ada kata-kata ”ia menang”. Biar pun tidak menyebut ”ia” itu siapa dan masih memberi embel-embel ”karena Pilpresnya curang”.
Itu sudah lebih maju daripada Twitter yang diunggah malam sebelumnya. Malam itu, hanya beberapa menit sebelum tengah malam, Trump seperti telat minum obat: ”Saya yang menang Pilpres”.
Tiba-tiba saja kalimat pendek itu muncul. Tanpa ada angin atau hujan. Karuan saja di bawah tweet itu diberi catatan merah oleh Twitter: tidak benar seperti itu.
Trump sendiri kelihatan lebih banyak mengisi waktu dengan bermain golf. Pun ketika terjadi Million Maga March. Ia tetap berangkat ke lapangan golf di Virginia. Pakai mobil. Dengan iringan panjang.
Rupanya selama di lapangan golf terus dilapori perkembangan Million Maga March itu. Trump pun ketika kembali ke Gedung Putih mampir ke arena demo. Trump menilai mereka itu pembawa suara kebenaran. Mereka pun terus menerus meneriakkan slogan ”Tambah empat tahun lagi”.
Sampai hari ini belum ada konfirmasi seberapa banyak pendukung Trump yang datang ke Washington DC itu. Juru bicara Gedung Putih menyebut 1 juta orang. Media-media utama menyebutkan ”puluhan ribu” orang –bahkan ada yang memastikan paling banyak 10.000 orang. Trump sendiri akhirnya menyebutkan ”ratusan ribu” orang.
Kalau saya lihat lokasi itu, Freedom Plaza, saya setuju dengan 10.000 orang itu. Ruang terbuka di situ tidak luas. Beda dengan Washington Mall yang pernah dipakai Million Man March dulu.
Freedom Plaza ini tidak jauh dari Gedung Putih –hanya sepelemparan batu. Khususnya dari Gedung Putih sisi gerbang masuk turis. Freedom Plaza itu tidak jauh dari Hotel Trump International –lima menit jalan kaki.
Sedang lapangan terbuka yang luas adalah antara Monasnya Washington dengan Gedung Capitol –gedung Kongres. Yang juga masih satu area dengan Gedung Putih.
Itu pun tidak semua yang datang ke situ untuk memperpanjang masa jabatan Trump. “Kami datang ke sini sekadar agar Trump tahu kami mendukungnya,” ujar mereka seperti diwawancarai media di sana. “Kami akan menyampaikan selamat jalan kepadanya,” kata yang lain.
Rupanya keinginan Trump untuk bisa membalik kekalahan menjadi kemenangan kian sulit. Tim pengacaranya sudah menarik gugatan di empat negara bagian yang menentukan: Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, dan Georgia.
Habis sudah harapan untuk bisa membalikkan keadaan.
Yang juga tidak habis pikir adalah Obama. “Kok bisa ya orang seperti Trump diidolakan oleh rakyat,” ujar Obama ketika diwawancarai TV terkait dengan buku barunya: Tanah Yang Dijanjikan.
Obama meragukan orang seperti Trump benar-benar tahu problem rakyat kebanyakan. “Bahwa ia bisa jadi daya tarik di politik memang masih mungkin. Tapi bagaimana bisa ia jadi simbol merakyat,” katanya.
Orang seperti Trump itu sangat bahaya bagi demokrasi. “Ia itu bisa membusukkan kebenaran,” katanya. Mula-mula kebenaran itu diabaikan, lalu direkayasa agar orang mulai meragukan kebenaran, dan akhirnya kebenaran itu dibusukkan.
Ujungnya lagi: yang seharusnya salah menjadi benar.
Trump pun sejak awal tidak mau mengakui kebenaran itu.
Tapi proses politik harus berjalan. Trump harus meninggalkan Gedung Putih.
Tinggal apakah Trump akan mau mengucapkan selamat kepada Joe Biden atau tidak. Kalau kepada wapres terpilih, Kamala Harris, Anda tidak usah bertanya kepada Trump. Saya pun sudah bisa mewakilinya: tidak akan.
Pikiran lain: apakah Trump akan menghadiri pelantikan Joe Biden tanggal 20 Januari depan. Saya tidak berani memastikan. Tapi mantan orang dekatnya seperti John Bolton memberikan kepastian: Trump tidak akan menghadiri pelantikan itu.
Maka jangan lagi ditanya: apakah Trump akan mengundang presiden terpilih ke Gedung Putih. Tidak akan. Untungnya Biden sendiri bisa bersikap emangnye gue pikirin. Toh Gedung Putih bukan barang baru baginya. Ia sudah delapan tahun menjadi wakil presiden di zaman Barack Obama.
Tapi apakah Trump benar-benar juga tidak mau meninggalkan memo pendek di meja kerjanya?
Semua Presiden Amerika, di hari terakhir bekerja di meja itu, meninggalkan satu lembar kertas di atas meja kerja. Di atas kertas tersebut ditulis kalimat untuk presiden baru yang akan menggunakan meja itu berikutnya. Karena itu tulisan di kertas memo itu biasanya berupa tulisan tangan sang presiden sendiri. Memo itulah bacaan pertama setiap presiden baru Amerika ketika mulai duduk di meja kerjanya.
Maka mari kita tebak: apakah untuk meninggalkan selembar memo itu pun Trump tidak akan mau? Masukkan pilihan Anda sekarang juga: mau/tidak mau.
Seandainya pun ia mau kalimat apa yang kira-kira akan Trump tulis di memo itu?
Tebakan saya:
Bisa saja ia hanya menulis dua kata, dengan huruf-huruf besar: Kau Curang!
Bisa juga satu kalimat agak panjang: Meja ini akan saya ambil lagi tahun 2024!
Jangan-jangan Trump sudah belajar bahasa Surabaya: Jancuk, meja ini barusan saya ludahi!! (Dahlan Iskan)