Oleh : Dahlan Iskan
Caleg muda pun banyak terpilih. Pun yang foto kampanyenya hanya pakai kaus suporter sepak bola. Mengalahkan yang lebih tua. Yang fotonya pakai jas dan dasi.
Selebaran kampanye mereka pun hanya ditulis tangan. Mengalahkan yang didesain sangat profesional.
Hongkong mendadak berubah. Masuk ke dalam suasana pesta. Bergeloralah di dalam hati mereka. Gerakan pro-demokrasi menang mutlak. Dalam Pemilu distrik Minggu lalu.
Memang mereka masih tetap memaki polisi dan pemerintah. Tapi dengan hati gembira.
Mereka juga masih tetap demo. Tiap hari. Tapi lebih banyak sambil menyanyi: lagu Glory of Hongkong.
Di Pemilu hari itu pro-demokrasi benar-benar menang hampir mutlak. Nyaris sikat habis. Dari 18 distrik menang di 17 distrik.
Pemerintah Hongkong kian terdesak.
Kemenangan partai-partai pro-demokrasi itu mutlak merupakan hasil lain dari demo mereka.
Bayangkan dari total 452 kursi yang diperebutkan pro-demokrasi memenangkan 392.
Partai-partai yang pro-pemerintah hanya mendapat 60 kursi.
Dulu-dulu yang pro-demokrasi mustahil pun untuk mendapat seperempatnya.
Keesokan harinya pendemo langsung kembali turun ke jalan. Pola demonya baru: demo makan siang. Demo itu hanya berlangsung satu jam. Memanfaatkan waktu istirahat makan siang.
Begitulah tiap hari. Sampai kemarin. Dan kelihatannya masih akan terus seperti itu.
Masih akan terus menyanyikan calon lagu kebangsaan Hongkong itu.
Mereka juga terus berteriak: lima, tidak satu pun tertinggal. Lima tuntutan harus dipenuhi semua. Sejauh ini baru satu yang dikabulkan: pencabutan RUU ekstradisi.
‘Demo makan siang’ itu juga terus memberi dukungan pada teman mereka. Yang masih terus bersembunyi di kampus Politeknik Hongkong.
Sampai tiga hari lalu kira-kira masih 60-an pendemo di kampus itu. Bersembunyi di berbagai gedung fakultas. Tidak mau menyerah. Sudah 15 hari mereka bermalam di situ. Polisi juga masih mengepung kampus itu. Tanpa batas waktu.
Usaha merayu mereka pun terus dilakukan. Delegasi demi delegasi diizinkan masuk kampus. Misalnya yang terdiri 50 orang: dosen, psikolog, perawat, dokter dan politisi. Termasuk politisi yang baru menang Pemilu.
Mereka menyebar ke dalam kampus. Yang luasnya lebih 7 hektar itu. Satu persatu gedung perkuliahan dimasuki.
Mereka tetap tidak mau pergi.
Universitas tidak bisa segera melakukan perbaikan. Banyak fasilitas yang dirusak di 10 hari terakhir demo lima bulan itu.
Tiga hari kemudian masuk lagi tim yang lebih besar. Juga dari berbagai unsur. Kali ini tidak menemukan siapa pun. Tidak ada lagi mahasiswa atau aktivis yang ada di kampus itu.
Ups, ada.
Satu orang.
Wanita, mahasiswi.
Usia 22 tahun. Sendirian.
Tim itu pun dialog dengan mahasiswi itu. Mengajaknyi meninggalkan kampus.
Yang dirayu tidak mau.
Ke mana sisanya?
Inilah yang menimbulkan misteri. Adakah mereka menemukan tempat persembunyian yang begitu tersembunyi? Ataukah sudah berhasil meloloskan diri dengan cara mereka sendiri?
Misteri.
Mereka memang menyebut kampus itu sudah sebagai Shaolin Temple. Di situlah pusat perlawanan pada polisi. Tapi apakah mereka juga sudah menguasai ilmu menghilang?
Akhirnya polisi sendiri yang masuk ke kampus itu. Kamis lalu. Awalnya 100 orang. Polisi menemukan ribuan bom botol. Berserakan. Juga bahan-bahan kimia. Berhamburan. Bersama bekas makanan, minuman dan sampah lainnya.
Polisi juga menemukan lantai-lantai yang dibuat licin. Mungkin sebagai jebakan. Kalau polisi tiba-tiba menyerbu mereka.
Di hari-hari pertama, ketika yang di kampus itu masih sekitar 2000 orang, memang deras isu beredar: polisi akan menyerbu ke dalam.
Membuat seperti Tian An Men kedua.
Sorenya polisi masuk lagi. Dengan jumlah jauh lebih besar. Tapi juga tidak menemukan mereka. Tidak juga mahasiswi satu-satunya tadi.
Tapi polisi menyimpulkan terlalu bahaya masuk lebih dalam ke kampus itu. Mungkin saja tiba-tiba ada ledakan. Atau ada kimia yang sudah matang.
Di hari kedua jumlah polisi dilipatkan empat: 400 orang. Disertai banyak ahli: psikologi, bahan kimia, ahli bom, dan ahli persuasi. Tidak sedikit pun ada niat untuk langsung menangkap mereka. Sepanjang tidak ada perlawanan.
Drama politeknik ini pasti berakhir. Jumat sore kemarin polisi sudah menarik diri. Tidak mengepung kampus itu lagi. Juga sudah akan membuka jalan di dekat situ.
Dengan misteri yang belum juga terungkap.
Drama Hongkong lima bulan pun berakhir sudah.
Yang belum berakhir adalah dampak pemilu.
Kegembiraan kemenangan itu bisa saja tidak ada artinya. Itu baru pemilu tingkat distrik. Belum bisa berpengaruh langsung pada tingkat nasional Hongkong.
Yang menentukan Hongkong adalah pemilu tahun depan. Yakni pemilu untuk memilih anggota DPR Hongkong. Di bulan September.
Jumlah anggota DPR Hongkong 70 orang. Yang 35 orang tidak ditentukan lewat Pemilu. Mereka dipilih oleh organisasi masing-masing: asosiasi restoran dan hotel, asosiasi pabrik dan industri, asosiasi keuangan dan bank, asosiasi dagang, asosiasi pengacara, asosiasi akuntan, asosiasi dokter, dan banyak lagi.
Yang mewakili pedagang, industri dan keuangan tidak hanya satu. Ada yang dapat jatah 2 atau 3.
Begitulah UUD Hongkong.
Agar siapa pun yang menang pemilu tidak merusak ideologi ekonomi.
Yang benar-benar dipilih hanya 35 orang. Itu pun yang lima harus lewat kursi ‘super 5’.
Yang berhak jadi caleg ‘super 5’ adakah mereka yang mendapat kursi di Pemilu Minggu lalu.
Masih ada syarat tambahan: harus didukung 15 kursi hasil pemilu barusan.
Lima caleg tersebut kemudian bersaing dengan caleg lain di Pemilu tahun depan.
Itulah yang dikhawatirkan oleh pendukung pro-demokrasi. Caleg-caleg yang barusan terpilih kemarin sangat masih minim pengalaman.
Terutama pengalaman legislasi.
Ada yang latar belakangnya pegawai lift di hotel.
Tahun depanlah ujian Hongkong yang sebenarnya.(dis)