Catatan Dahlan Iskan

Novi Empat Tungku

×

Novi Empat Tungku

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

 

SEBAGAI ketua tim uji klinis vaksin Covid-19, Dr dr Novilia Sjafri tidak ingin ada ambulans datang ke rumah.

Dokter Novi tidak mau heboh –yang bisa berdampak kurang baik bagi program vaksinasi nasional. Dia memang positif Covid-19. Demikian juga suaminyi: Drs Ak Meindy Mursal. Pun salah satu dari tiga anak mereka.

Rabu dini hari lalu, Anda sudah tahu, dr Novi meninggal dunia. Saat itu sang suami sudah negatif. Demikian juga anaknya.

Lima menit sebelum meninggal, sang suami dan anak mereka diizinkan masuk ICU. Sang suami tahu apa yang harus terjadi. Ia langsung membisikkan kalimat syahadat. Demikian juga sang anak. Dokter Novi pun meninggal.

Di kamar jenazah sang suami memanggil dua anak laki-lakinya: salat jenazah. Anak wanitanya lagi datang bulan.

Saya pun berbicara panjang dengan Meindy, sang suami. Sesekali suara Meindy tergetar oleh isakan tangisnya. Meindy merasa ia-lah yang membawa virus itu ke rumah.

Dokter Novi orang penting di Biofarma. Ia menjabat kepala Divisi Surveilans dan Riset Klinis di perusahaan BUMN itu.

Awalnya Meindy curiga terkena virus saat donor darah. Meindy memang pendonor paling rajin. Hari itu ia donor untuk kali Ke-107. Ia optimistis di ulang tahunnya Ke-60 tanggal 31 Juli tahun depan sudah bisa mencapai 110 kali donor.

Bukan itu.

Tiga hari setelah itu Meindy PCR: masih negatif.

Ia lantas ingat. Ia pernah, setelah donor itu, memeriksakan diri ke rumah sakit: ada ”kutil” di kulit pahanya yang menghadap ke dalam. Ia ingin kutil itu dihilangkan.

Meindy pagi-pagi ke rumah sakit. Pukul 07.00. Mumpung masih sepi. Ia pede saja: tanpa bikin janji. Ternyata, hari itu, dokternya datang agak siang. Tiga jam Meindy di ruang tunggu rumah sakit.

Besoknya Meindy batuk. Minum obat batuk. Tidak sembuh. Hari ketiga pinggangnya sakit luar biasa.

Meindy pun tes bersama istri: sama-sama positif. Salah satu dari tiga anak mereka juga positif. Itu tanggal 18 Juni lalu.

Mereka memutuskan isolasi di rumah.

Tapi batuk Novi tidak kunjung reda. Bahkan saturasinya turun tinggal 80. Mereka memang punya alat ukur tensi, temperatur, dan saturasi di rumah.

Mereka pun menyerah: mau masuk rumah sakit. Tapi tidak mau dijemput ambulans. Maka Meindy yang mengantarkan sang istri ke RS Santoso Bandung.

Setelah parunyi difoto ternyata sudah sangat ”berkabut”. Langsung dimasukkan ICU. Berbagai pengobatan dilakukan. Termasuk transfusi plasma konvalesen. Sampai pun ventilator invasif: tidak tertolong.

Apakah Novi punya komorbid? “Tidak ada,” ujar Meindy. “Hanya obesitas,” tambahnya.

Berat badan Novi memang naik terus. Sampai di atas 100 Kg.

Berbagai upaya menurunkan badan tidak berhasil. Makan beras merah. Gagal. Hanya makan sayur dan buah, juga gagal. Dia juga pernah menuruti saran dokter dari India. Soal pengaturan makanan. Hasilnya: Novi diare.

“Novi itu, ibaratnya hanya minum air putih pun berat badannyi terus naik,” kata Meindy. “Mungkin turunan. Mertua perempuan saya juga gemuk,” katanya.

Rupanya itu juga sesuai dengan hobi Novi: masak. Lihatlah instagramnyi: @noviliahafsah. Ada 5.000 lebih foto yang diposting. Didominasi foto kue hasil masakannyi. Novi suka masak apa saja. Terutama masakan Barat. Novi juga wanita yang bisa menyeimbangkan antara karir dan rumah tangga. Novi selalu menyempatkan diri masak untuk keluarga.

Dalam hal hobi itu sebenarnya Novi, kini, lagi bahagia-bahagianya. Empat bulan lalu mereka membeli kompor baru: empat tungku. Agar bisa masak lebih banyak dan lebih cepat.

Meindy agak terlambat bertemu Novi –untuk ukuran zaman itu. Meindy sudah berumur 31 tahun. Novi sudah dokter muda. Umur Novi 7 tahun di bawah Meindy. Mereka dipertemukan oleh kakaknya.

Meindy seorang akuntan lulusan STAN Jakarta yang terkenal itu. Lalu jadi pegawai negeri di kementerian keuangan. Ia sudah bertugas di berbagai daerah. Lalu mengaudit Telkom di Bandung. Saat itulah bertemu Novi yang hampir lulus dokter di Universitas Padjadjaran.

Setelah dua tahun menjalani tugas wajib sebagai dokter, Novi melamar ke Biofarma. Tidak ada tanggapan. Setahun kemudian melamar lagi. Tidak ditanggapi. Sampai pada saatnya Meindy mendengar Biofarma mencari dokter. Meindy sendiri yang mengantarkan lamaran istrinya: diterima.

Sejak itu Meindy mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. Ia tidak mau dipindah-pindah –pisah dari istri. Ia bisa mengajar. Ia senang mengajar. Ia pun mengajar di Universitas Parahyangan Bandung.

Belakangan Meindy diminta menjadi ketua internal audit di Pindad, ketika Sudirman Said menjadi dirut di situ. Sudirman –mantan Menteri ESDM– tahu bahwa Meindy adalah akuntan yang tidak mau diajak kompromi. Dan memang, itulah prinsip hidupnya. Itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan untuk mundur dari pegawai negeri.

Saat ini Meindy menjabat komite audit PT Garuda Indonesia. Komite itu melaporkan hasil kerjanya ke dewan komisaris Garuda.

Di Biofarma, Novi sangat berprestasi. Dia mendapat tawaran sekolah ke Australia. Tapi Novi memilih di Unpad saja. Dekat suami. Dia mengambil S-2 biomedis. Sesuai dengan keinginannyi mendalami soal virus. Ini terkait dengan kebutuhan tenaga ahli di Biofarma –yang terkenal sebagai produsen vaksin di Indonesia.

Ketika ditawari S-3 di luar negeri Novi kembali memilih Unpad. Maka di Unpad pula Novi meraih gelar doktor. Juga di bidang biomedis.

Nama Novi terkenal di berbagai forum internasional. “Kalau ke Geneva dia sudah seperti pulang kampung saja,” ujar Meindy. Novi praktis terus berkeliling ke berbagai negara.

Dia begitu penting untuk Biofarma dan Indonesia. “Almarhumah sangat ramah. Elegan. Dipercaya berbagai lembaga internasional terutama WHO,” ujar Prof Dr Kusnandi Rusmil, ketua tim uji coba fase 3 Sinovac di Bandung.

Meski sering ke luar negeri Novi tidak memakai pakaian bermerek. Mobil keluarga ini sama dengan mobil sejuta umat: Avanza. Anak-anak mereka sekolah ikut kendaraan umum. Setelah masuk kuliah baru dibelikan sepeda motor.

Tapi kalau libur Lebaran mereka sering ke luar negeri. Alasannya: menyiapkan wawasan anak-anak. Sering juga mampir dulu ke Makkah: Umrah.

Suami istri ini sama-sama berdarah Minang. Sama-sama lahir di Padang. Tapi Novi sudah lebih fasih berbahasa Sunda.

Novi bekerja lebih keras setahun terakhir. Tidak ada Sabtu atau Minggu. Tidak ada pula tanggal merah. Vaksinasi adalah misi besarnyi.

Rasanya Novi sempat tahu hasil kerja kerasnyi: Biofarma sudah berhasil memproduksi vaksin Sinovac di Bandung, 1,5 juta sehari. Novi pergi dengan membawa prestasi. (dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *