WAKTU itu Joe Biden berbaring di atas brankar. Ia lagi didorong menuju ruang operasi. Setelah pintu dibuka terlihat dokter Neal Kassell yang akan membuka kepala Biden.
Biden memberikan senyum kepada dokter itu. Lalu berkata padanya: “Anda lakukan sebaik-baiknya ya… Suatu saat saya akan jadi Presiden Amerika Serikat.”
Lalu Biden dipindah dari brankar itu ke meja operasi. Biden sudah diberi tahu: kans berhasil dan tidaknya 50:50. Dari hasil scan sebelumnya memang diketahui ada pembesaran pembuluh darah di kepala Biden. Sekaligus di dua tempat. Sebelah kanan dan kiri.
Hari itu, awal tahun 1988, dokter pilih menangani yang besar dulu. Tidak bisa sekaligus dua. Riskan.
Dokter pun langsung melubangi batok kepala Biden. Dari lubang kecil itu dimasukkan kateter halus. Menuju bagian yang membesar. Melalui saluran yang ada di antara otak dan batok kepala. Harus sangat hati-hati. Risikonya terlalu besar.
Delapan jam lamanya operasi itu berlangsung. Berhasil. Sekaligus ditemukan penyumbatan darah di dekat situ. Masih baru. Sekalian diatasi. Ini bagian dari keberuntungan. Penyumbatan itu justru penyumbatan itu yang bisa lebih mendadak mengakibatkan kematian.
Tiga bulan kemudian operasi dilakukan lagi. Untuk yang lebih kecil. Juga berhasil.
Maka, 32 tahun kemudian, di tahun 2020, Biden benar-benar jadi Presiden Amerika Serikat –kalau ia tidak keburu mati tertembak sebelum tanggal pelantikan 20 Januari depan.
Waktu dioperasi itu Biden sudah menjadi anggota Kongres. Ia mewakili negara Bagian Delaware. Rumah sakit tempatnya dioperasi itu adalah rumah sakit yang sama dengan yang merawat Presiden Trump saat terkena Covid-19: The Walter Reed National Military Medical Center.
Saat itu istri Biden juga sudah istrinya yang sekarang: Prof Dr Jill Biden. Sudah 11 tahun mereka menikah. Sudah punya anak 1 orang, Ashley.
Waktu muda itu Biden ganteng sekali.
Tidak disangka ia bisa begitu cemerlang. Umur 29 tahun sudah menjadi anggota Kongres –yang termuda saat itu. Dan terpilih lagi. Dan lagi. Sampai harus berhenti sendiri. Itu pun karena terpilih sebagai wakil presiden di masa Presiden Barack Obama.
Padahal waktu kecil Biden bisa dianggap tidak normal. Ia anak yang gagap. Sulit sekali mengucapkan satu kalimat dengan lancar.
Saya jadi ingat saat mengedit tulisan Lisa Utami, penulis tetap Harian Disway dari Delaware. Alumni SMAN 5 Surabaya itu menulis tentang betapa hebat Biden-kecil mengatasi gagapnya itu. Sampai-sampai Biden-kecil berdiri di depan cermin dengan mulut penuh es batu. Dengan mulut seperti itu Biden-kecil ngotot mengucapkan satu kalimat. Setiap gagal diulang. Gagal lagi diulang lagi. Berhari-hari. Sampai akhirnya bisa mengucapkan satu kalimat dengan lancar.
Kerasnya hatinya, kuatnya tekadnya, gigih usahanya, semua itu membuat Biden menjadi orang sukses.
Ketika anak ketiganya lahir (dari istri pertama) Biden sudah sibuk sebagai senator di Washington. Menjelang hari Natal, istri Biden belanja keperluan Natal. Naik mobil sendiri. Anaknyi yang masih bayi diajak serta di dalam mobil.
Setelah membeli pohon Natal, istri Biden pulang. Di perjalanan pulang itulah mobilnya tabrakan dengan truk. Sang istri tewas. Demikian juga si bayi.
Biden bersedih luar biasa. Sejak itu ia jadi ayah sekaligus ibu. Bagi dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Periode itulah yang sangat terkenal dalam sejarah hidup Biden. Bagaimana ia memutuskan untuk tiap malam harus pulang ke Delaware. Padahal tiap pagi ia harus ke Washington DC lagi untuk tugasnya sebagai ketua komisi Hukum di Senat Amerika Serikat.
Ia pun berlangganan kereta api Wilmington (Delaware)–Washington DC. Pulang pergi. Dua jam berangkat, dua jam pulang. Agar malam hari tetap bisa menemani dua anaknya tidur.
Lima tahun kemudian ia mendapatkan orang yang mau merawat dua anaknya itu. Namanya Jill. Yakni wanita muda yang belum lama bercerai. Jill kawin terlalu muda: ketika masih di SMA. Jill tidak mengira berumah tangga itu begitu sulitnya. Suaminyi melirik wanita lain. Mereka bercerai.
Sekarang mantan suami Jill itu membuka bar di daerah Virginia. Sejak lama sekali. Masih eksis sampai sekarang.
Anak-anak Biden pun merasa cocok dengan Jill.
Lantas Biden pun melamar Jill menjadi istrinya. Ditolak. Dilamar lagi. Ditolak lagi. Lamaran ketiga pun ditolak. Juga lamaran keempat.
Jill masih trauma dengan perceraiannyi. Lebih lagi Jill tidak suka politik.
Akhirnya Biden memutuskan untuk melamar yang kelima kalinya: kalau kali ini juga ditolak tidak akan melamarnyi lagi.
Jill berpikir keras atas kenekatan Biden. Yang paling memberatkan Jill adalah: Biden itu orang politik. Jill tidak suka politik. Apalagi hati Jill sangat terluka dengan perkawinan pertamanyi.
Tapi akhirnya hati Jill pun menjadi cair. Jill menerima lamaran Biden yang kelima itu.
Syaratnya: Jill tetap boleh menjadi dirinyi sendiri. Biden setuju.
Hati Jill adalah di bidang pendidikan. Dia guru SMA. Untuk mata pelajaran bahasa Inggris dan membaca. Dia merasa di situlah passion-nyi.
Maka ketika Biden terus menjadi Senator, Jill terus mengajar. Bahkan Jill ingin meraih gelar doktor. Berhasil. Lalu ingin jadi profesor. Berhasil.
Ketika Biden menjadi Wakil Presiden Amerika, Jill tetap menjadi dosen. Baru kali itu terjadi: istri wakil presiden Amerika punya pekerjaan tetap.
Saat mengajar pun Jill tidak mau memperkenalkan diri siapa dia sesungguhnya. Di kampus namanyi hanya dikenal sebagai Dr B.
Kabarnya Jill ngotot akan tetap mengajar selama jadi First Lady nanti. Kalau itu terjadi sekali lagi terjadi sejarah baru: First Lady punya pekerjaan tetap.
Coba lihatlah sekali lagi baju Jill saat mendampingi suami setelah pidato kemenangan tiga hari lalu. Baju itu jauh dari baju seorang first lady. Apalagi kalau dibandingkan dengan Melania Trump.
Baju yang dikenakan Jill malam itu sangat baju seorang dosen.(dis)