MENJADI politisi itu benar-benar harus punya modal ini: tebal muka. Lihatlah yang terjadi dengan anggota senat ini: dimaki-maki sepanjang ruang tunggu bandara. “Pengkhianat,” teriak mereka. “Sepotong tahi,” sahut yang lain. Tidak henti-hentinya. Yang paling lantang justru teriakan suara dua wanita.
Rupanya, pun di Amerika, emak-emak juga militan di politik.
Kemarin, anggota Senat itu, Lindsey Graham, mau pulang ke South Carolina. Ia lagi di Bandara Ronald Reagan, Washington DC. Ia lagi duduk di kursi panjang, di ruang tunggu penumpang kelas ekonomi.
Rupanya banyak juga pendukung Trump yang juga mau meninggalkan ibu kota. Setelah mereka demo yang bersejarah itu.
Mereka mengenali siapa yang duduk sendirian itu. Rupanya banyak juga pendukung Trump yang juga akan pulang ke South Carolina. Tentu mereka kenal wajah populer itu. Dapil Graham memang dari negara bagian itu.
Mulailah sebagian penumpang mendatangi tempat duduk Graham. Memaki-makinya. Graham tidak mau merespons. Ia memegang handphone. Ia lantas terlihat sibuk dengan gadget-nya itu. Ia memijit-mijit nomor, lalu mendekatkan telepon itu ke telinga kanannya. Wajahnya agak menunduk. Maskernya ia lorot sampai ke dagu. Ia bicara entah dengan siapa. Dengan raut muka disantai-santaikan. Kadang sedikit senyum kecil. Ia juga tidak mau ditanya. Dengan alasan masih bicara di telepon –sambil menunjuk alat itu.
Teriakan terus menghujatnya. Ruang tunggu itu tidak penuh. Teriakan-teriakan itu membuat penumpang lain tertarik mendekat. Hanya beberapa yang tidak beranjak dari tempat duduk asal di ruang tunggu itu.
Polisi lantas datang. Tiga orang. Sang polisi mengajak Graham meninggalkan ruang tunggu itu. Satu polisi mepet di badannya sebelah kiri. Satu polisi lagi terus memegangi pundak kanan Graham.
Mereka menuju tanda Exit di ruang tunggu itu. Agak jauh. Melewati tiga gate. Sepanjang perjalanan itulah Graham terus diteriaki. Dicaci. Dimaki. Mereka ramai-ramai ”mengantarkan” Graham sampai ke lorong ”Exit” itu.
Begitu banyak penumpang yang membuat video adegan itu. Lalu memostingkannya di medsos. Terlihat Graham terus menunduk di sepanjang ruang tunggu itu. Dengan wajah yang tetap tidak tegang atau marah.
Ia politikus kawakan. Adegan seperti itu sudah ibarat baju dan sepatunya. Ia alami praktis setiap hari.
Ia baru saja terpilih lagi. Sebagai anggota Senat periode keempat. Dari Partai Republik. Carolina (South dan North) memang kandang ya merah.
Awalnya Graham, sebenarnya, bertentangan dengan Trump. Ia termasuk pengkritik Trump yang paling sengit. Tapi setelah Trump terpilih sebagai presiden Graham menjadi sangat pro-Trump. Ia menjadi pembela Trump paling depan.
Graham termasuk yang tidak menerima kekalahan Trump. Ia ikut berjuang membalikkan hasil Pilpres. Sampai tiga hari lalu pun masih begitu. Bahkan ketika terjadi skandal telepon minggu lalu, Graham ada di situ.
Waktu itu Trump menelepon wakil gubernur Georgia, yang juga menjabat ketua KPU di sana. Trump menekan wagub agar membalik hasil penghitungan suara. Bahkan Trump menyebut ia hanya perlu dicarikan suara tambahan 11.800. Wagub harus bisa mengusahakan.
Sang Wagub juga dari Partai Republik. Tapi tidak mau ditekan. Justru pembicaraan telepon itu bocor. Rekamannya disiarkan secara lengkap oleh Harian The Washington Post.
Kalau skandal telepon ini jadi perkara Graham dipastikan terlibat.
Pendukung Trump baru mulai marah padanya empat hari lalu. Yakni ketika proses penyertifikatan kemenangan Joe Biden disidangkan di Kongres. Saat itu Graham bikin pernyataan: Kita harus bisa menerima Biden adalah pemenangnya, Trump kalah.
Langsung Graham mendapat gelar baru: pengkhianat. Tidak hanya ia. Daftar pengkhianat itu panjang sekali. Termasuk Wakil Presiden Mike Pence.
Kemarahan pendukung Trump tidak lagi fokus ke Demokrat –yang mereka anggap akan membawa Amerika menjadi negara komunis.
Fokus baru kemarahan itu justru pindah ke ”para pengkhianat” di dalam partai. Yakni mereka yang tidak mau membatalkan kemenangan Biden di forum tertinggi konstitusi. Yang sidangnya, sebenarnya, dipimpin oleh Pence sendiri.
Orang awam mengira ketua itu bisa punya otoritas apa saja. Mereka sangat kecewa pada Pence yang dianggap lemah.
Maka ketika ribuan orang –umumnya memperkirakan 25.000 orang– selesai mendengar pidato Trump di sebuah lapangan terbuka –antara Gedung Putih dan gedung Capitol– semangat mereka menyala-nyala. Apalagi Trump menyerukan agar mereka semua bergeser ke Gedung Capitol. Lalu Trump juga memuji mereka sebagai pendukung yang ia sayangi dan ia banggakan.
Saat itu mereka sudah mulai mendengar desas-desus bahwa Pence tidak mau membantu usaha Trump. Mereka pun marah, frustrasi, dan terancam sebagai patriot yang gagal.
Begitulah. Seperti juga Gedung MPR Indonesia yang diduduki masa di tahun 1998, Gedung Capitol itu mereka duduki. Scaffolding yang untuk persiapan pelantikan presiden mereka pakai memanjat gedung. Jendela kaca dipecahkan. Pintu didobrak. Mereka banyak yang selfi: duduk-duduk di ruang ketua DPR dengan kaki di atas meja. Dan segala macam adegan.
Tapi mereka masih kalah patriotik dengan yang di Jakarta. Mungkin militernya lebih solid. Satuan SWAT yang begitu elite segera mengambil alih Gedung Capitol yang begitu sakral.
Di Jakarta mereka sempat bermalam di dalam gedung MPR. Mereka baru bubar ketika Presiden Soeharto meletakkan jabatan.
Di Amerika pun mulai dimunculkan isu: apakah aparat keamanan yang menjaga Capitol sengaja melonggarkan pengamanan. Mengapa aparat di Capitol menolak bantuan. Sejak dua hari sebelumnya. Mengapa pula tidak segera ada tambahan personel.
Seperti juga pendudukan Gedung MPR di Jakarta, pendudukan Capitol ini akan menyisakan banyak teori. Terutama mengapa mereka bisa mendudukinya.
Pihak Demokrat kukuh bersikap akan meng-impeach Presiden Trump. Meski pun masa jabatan Trump tinggal dua minggu. Tengah minggu depan proses impeachment itu sudah bisa dimulai.
Tapi apakah waktunya cukup. Pun misalkan DPR menyetujuinya, itu masih harus dibawa ke Senat. Untuk disetujui oleh minimal 75 persen anggota. Padahal Senat masih dikuasai Republik. Memang bulan depan Senat sudah dikuasai Demokrat. Tapi sekarang masih belum. Tentu sudah banyak anggota Republik yang mungkin mendukung impeachmen,t tapi apakah waktunya masih cukup. Tanggal 20 Januari presiden baru sudah harus dilantik.
Memang tujuan impeachment tidak hanya melengserkan Trump. Tapi sekaligus melarangnya nyapres lagi di masa depan.
Trump sendiri sempat mengecewakan pendukungnya. Ia sempat mengecam pendudukan Capitol itu. Tapi sekarang mulai memuji-muji lagi pendukungnya. Termasuk ia sudah menyatakan: tidak akan hadir di pelantikan penggantinya itu. Pasti. Sebagai tanda Pilpres tidak sah –di matanya.
Mungkin kesibukan Trump sekarang tinggal merancang siapa saja yang akan mendapat pengampunan presiden. Termasuk apakah akan memberikan pengampunan kepada dirinya sendiri.
Graham sendiri mulai juga mengubah angin. Kemarin ia kembali membela Trump. “Saya tidak setuju Trump di-impeach,” katanya. “Kalau memang persatuan akan diutamakan, itu juga harus datang dari kedua partai,” tambahnya. Ia menilai impeachment itu hanya akan membuat luka partai Republik semakin dalam.
Graham pun seperti ingin kembali mengambil hati pendukung Trump. “Trump dan saya itu punya kisah perjalanan bersama yang luar biasa. Saya benci kalau harus berakhir seperti ini,” katanya.
Persahabatan, di kamus politik, memang tidak sama dengan kamus normal lainnya.(dis)