Oleh : Dahlan Iskan
Rabu lusa anak muda ini keluar dari penjara. Bebas. Setelah menjalani hukuman 18 bulan.
Tapi hatinya belum bebas.
Dialah yang membunuh pacarnya. Yang lagi hamil muda. Saat mereka berdua lagi liburan khusus: merayakan hari kasih sayang –Valentine Day.
Ia potong-potong mayat pacarnya itu. Dengan pisau yang baru dia beli. Malam itu juga.
Ia masukkan potongan-potongan mayat itu ke kopor. Yang juga baru dia beli malam setelah pembunuhan.
Selesai.
Chan Tong-kai yang masih berumur 19 tahun, pulang ke Hongkong.
Meninggalkan potongan mayat pacarnya di dalam kopor di dalam sungai di Taipei, Taiwan.
Poon Hiu wing –beserta janin di perutnyi– tidak ditemukan sampai sekarang.
Pemuda 19 tahun (dua tahun lalu) itu kini merasa sangat bersalah. Gara-gara ialah Hongkong kisruh sampai sekarang. Terus dilanda demo tidak henti-hentinya.
Awalnya pemerintah Hongkong prihatin. Anak muda itu tidak bisa ditangkap –dengan tuduhan pembunuhan. Padahal ia sendiri sudah mengaku. Ialah yang melakukan pembunuhan itu.
Tong-kai baru bisa diadili kalau ia bisa dikirim ke Taiwan. Di sanalah perbuatan itu dilakulan. Di sanalah semua barang bukti ditemukan.
Tong-kai tidak bisa dikirim ke Taiwan. Barang bukti tidak bisa dikirim ke Hongkong.
Kedua negara itu tidak punya perjanjian ekstradisi –saling tukar pelaku kriminal.
Maka pemimpin Hongkong Carrie Lam membuat RUU Ekstradisi. Agar kasus seperti pembunuhan oleh Tong-kai bisa diadili.
RUU itulah yang diprotes anak-anak muda Hongkong. Dimulai tanggal 9 Juni lalu. Sekitar satu juta orang turun ke jalan. Menentang RUU itu. Sampai sekarang.
Mereka khawatir tidak hanya Tong-kai yang dikirim ke negara lain. Juga mereka yang dianggap kriminal karena menentang pemerintah. Mereka khawatir banyak aktivis dikriminalisasi –dan dikirim ke Tiongkok daratan. Mereka tidak percaya sistem peradilan di Tiongkok.
RUU itu sudah dibatalkan. Akibat demo yang melebar ke mana-mana.
Hampir saja Tong-kai tidak bisa diapa-apakan.
Setelah dicari-cari akhirnya polisi Hongkong menemukan kejahatan kecil pada Tong-kai. Yang dilakukan di Hongkong. Yakni mengambil uang mendiang pacar yang dibunuhnya itu.
Sebelum memotong-motong sang pacar rupanya Tong-kai mengambil kartu kreditnyi. Setiba kembali di Hongkong Tong-kai menarik uang dari kartu kredit pacarnya itu.
Tong-kai hanya bisa dihukum karena pencurian uang itu. Bukan karena pembunuhan.
Selama 18 bulan di penjara, Tong-kai selalu dikunjungi pastor. Seminggu sekali. Belakangan ini.
Minggu lalu Tong-kai membuat pernyataan. Lewat pastor tersebut: setelah keluar dari penjara Rabu lusa Tong-kai akan menyerahkan diri ke polisi Taiwan. Dengan suka rela. Agar bisa diadili di sana. Dan menjalani hukumannya di sana.
Begitulah media-media Hongkong dan Taiwan memberitakannya.
Semula Tong-kai takut akan dihukum mati. Kejahatannya begitu nyata: membunuh wanita yang lagi hamil; melalukan mutilasi; melarikan diri; mengambil uangnyi.
Tapi para ahli hukum di Taiwan mengatakan Tong-kai tidak mungkin dihukum mati.
Ada faktor yang meringankannya: ia suka rela menyerahkan diri (kalau jadi). Ia juga pernah berkilah bahwa pembunuhan itu tidak sengaja.
Waktu itu sudah malam. Keduanya baru melakukan hubungan badan. Atau akan. Sang pacar –berumur 20 tahun– membisikkan sesuatu ke telinga Tong-kai (19 tahun).
“Saya hamil”.
Setelah itulah mereka bertengkar. Kian emosi. Lalu Tong-kai mencengkeram pacarnya. Di bagian leher.
Tercekik.
Mati.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Jalan cerita tadi sepenuhnya hanya dari pengakuan sepihak Tong-kai.
Adakah sang pacar minta segera dikawini –dan Tong-kai panik?
Adakah Tong-kai meragukan siapa ayah si janin di kandungan?
Ataukah liburan ke Taiwan itu hanya alasan untuk Valentine –tapi sebenarnya memang akan membunuhnya di sana?
Pun seandainya Tong-kai jadi menyerahkan diri ke Taiwan Hongkong sudah telanjur babak belur.
Tong-kai hanya pemicu. Akar masalahnya sangat dalam. Termasuk soal kesenjangan sosial.
Salah satunya soal terancamnya ‘periuk nasi’ orang Hongkong. Yang akan ikut diperebutkan oleh pendatang dari daratan. Dalam jumlah besar.
Misalnya saja ada kejadian seperti ini: begitu banyak wanita Tiongkok yang lagi hamil yang pergi ke Hongkong.
Agar bisa melahirkan di Hongkong.
Agar sang anak otomatis bisa menjadi warga Hongkong.
Itu juga pernah menjadi bisnis yang besar. Terutama bagi rumah sakit swasta di Hongkong.
Tahun 2001 (empat tahun setelah Hongkong dikembalikan ke Tiongkok) hanya ada 600 wanita hamil dari Tiongkok yang melahirkan di Hongkong.
Dengan motif agar bisa punya anak kedua. Saat itu di Tiongkok hanya diperbolehkan punya satu anak.
Tahun 2011, dalam setahun, ada 36.000 wanita hamil dari Tiongkok yang melahirkan di Hongkong. Dengan motif yang sudah berbeda.
Akhirnya di tahun 2015 pemerintah Hongkong melarang praktek seperti itu.
Benih kebencian kepada daratan kian luas. Akhirnya meledak dalam bentuk sekarang ini.
Kini Hongkong belum menjadi bubur. Entah akhir tahun ini.(dis)