Oleh : Dahlan Iskan
Saya harus ke Irlandia. Kalau bisa. Saya harus ke perbatasannya. Kalau ada waktu. Agak jauh memang. Harus menyeberang laut. Tapi di situlah problem utama Brexit. Yang kini
lagi ribut itu.
Mungkin saya akan menyeberang laut dari pelabuhan Liverpool. Setelah menonton Liverpool vs Newcastle. Minggu depan. Atau sebelumnya saja.
Tapi saya masih harus ke Oxford. Kota sebesar Singkawang (jumlah penduduknya) tapi
memiliki 36 universitas. Salah satunya Anda sudah tahu: Oxford University. Yang hampir semua perdana menteri Inggris adalah lulusan universitas itu.
Saya juga masih ada jadwal ke Birmingham. Kota terbesar kedua di Inggris. Lalu ke Leicester.
Dari sini entah ke Edinburgh dulu atau menyeberang ke Irlandia Utara dulu. Mungkin saya harus membatalkan acara ke Manchester.
Kalau ternyata ke Edinburgh dulu berarti saya harus ke Glasgow. Sudah dekat. Lalu menyeberang ke Irlandia dari pelabuhan dekat Glasgow. Ferry-nya bisa lebih cepat: hanya dua jam.
Daripada lewat pelabuhan Liverpool. Yang ferry-nya 8 jam. Lewat mana pun saya harus ke perbatasan Irlandia.
Soalnya, sampai kemarin belum juga ketemu jalan keluar: harus diapakan perbatasan itu.
Antara Irlandia Utara (Inggris) dan Irlandia (Republik Irlandia) itu.
Padahal Inggris harus cerai dari Uni Eropa. Tanggal cerainya sudah ditetapkan: 31 Oktober
depan.
Berarti harus segera dibangun pembatas negara. Lengkap dengan pemeriksaan imigrasinya. Juga bea cukainya.
Itulah yang sudah disepakati oleh Perdana Menteri Inggris Theresa May. Saat dia berunding
dengan Uni Eropa. Sebelum dia terpaksa mengundurkan diri. Tanggal 24 Juli 2019. Theresa May digantikan Boris Johnson. Perdana menteri sekarang ini.
Anda pun tahu mengapa May mengundurkan diri. DPR menganggap keputusannya itu salah. Kok dia menyetujui pembangunan perbatasan di Irlandia itu. Boris Johnson punya mau sendiri: jangan ada perbatasan di situ.
Johnson memutuskan, biar saja tanpa perbatasan. Tetap saja seperti selama ini. Seperti Inggris belum keluar dari Uni Eropa.
Biar lalu-lintas tetap bebas berlalu-lalang. Mobil Irlandia Utara bisa ke Irlandia. Pun sebaliknya. Tanpa pemeriksaan apa-apa. Hah? Begitu sederhananya? “Kan bisa menggunakan teknologi,” ujar Boris Johnson.
Teknologi seperti apa?
Itulah.
Johnson tidak pernah merincinya. Ia hanya bicara teknologi tanpa rincian apa-apa. Teknologi. Teknologi. Teknologi.
Kelihatannya ide sangat modern. Tapi teknologi seperti apa?
Apakah kamera? Yang bisa mendata semua mobil Irlandia Utara yang melintas ke Republik
Irlandia? Dan sebaliknya? Uni Eropa juga bingung.
Johnson terus mendesak Jerman dan Perancis –dua jagoan Eropa– untuk mengintensifkan
perundingan. Pun Eropa setuju. Kini perundingan, itu dua kali seminggu: Rabu dan Jumat.
Eropa mengeluh.
Sudah sekian kali Rabu dan sekian kali Jumat. Tim Johnson belum juga mengajukan proposal: teknologi seperti apa. “Teknologi seperti apa sih yang diusulkan Mr Boris Johnson?” tanya saya pada pimpinan demo di depan Downing Street 10 Sabtu lalu. “Itulah yang bikin bingung kita semua. Boris Johnson itu tukang kibul. Suka omong besar saja,” jawabnya.
Minggu ini isu perbatasan itu kalah viral. Tenggelam oleh isu dadakan yang dilancarkan
Johnson: pembekuan parlemen. Boris Johnson membekukan DPR. Pinjam tangan Ratu
Elizabeth II (Lihat DI’s Way: Celah Sempit).
Lawan Johnson menganggap, pembekuan parlemen itu sebagai kudeta. Atau pembunuhan
demokrasi di negara perintis demokrasi. Mereka menggugat Johnson ke pengadilan. Sidangnya berlangsung hari ini.
Johnson balik mengancam: kita selesaikan lewat Pemilu saja. Pemilu dadakan. Tanggal 15
Oktober bulan depan. Hanya dua minggu sebelum Brexit. Di Pemilu itu Johnson yakin menang. Saya pun hampir gembira. Ketika Boris Johnson lewat di depan saya. Di dekat Downing Street.
Ternyata ia hanya mirip Boris Johnson: wajahnya, warna rambutnya, potongannya, postur
tubuhnya –semua mirip Boris Johnson.
Hanya saja ia naik sepeda. Saya pun naik ke boncengan sepedanya. Di tengah puluhan ribu
pendemo. Ternyata Boris Johnson yang bersama saya ini masuk golongan anti Boris Johnson (dis)