Oleh : Dahlan Iskan
“Orang berprestasi cenderung sukses ditempatkan di mana pun”.
Itu sering saya ucapkan di mana-mana. Di berbagai forum. Terutana forum SDM. Atau di depan kuliah umum di kampus.
Kesimpulan itu datang dari pengalaman panjang –30 tahun menggeluti dunia manajemen. Baik di orsos, pesantren, di perusahaan swasta, di BUMN.
Apakah Ahok –ups, maafkan– apakah BTP itu orang berprestasi?
Sehingga akan ditempatkan di salah satu BUMN?
Rencana itu sangat sangat baik. Kalau BTP memang dianggap orang yang selama ini berprestasi. Lepas siapapun ia. Apa pun pendidikannya. Di mana pun perjalanan karir sebelumnya.
Bagaimana kalau ada penilaian BTP itu hanya berprestasi dalam membuat kehebohan?
Terserah yang menilai dan yang diberi nilai.
Tapi kalau benar begitu penempatannya di BUMN merupakan sebuah perjudian. Kalau penempatannya di BUMN besar berjudiannya juga besar.
Apakah BUMN sebuah perusahaan yang layak diperjudikan?
Tergantung pemiliknya.
Mungkin saja sang pemilik menilai BTP itu orang yang berprestasi.
Perusahaan itu ditentukan sepenuhnya oleh pemegang saham mayoritasnya.
Kenapa sudah heboh –padahal itu baru tingkat rencana? Faktanya pun baru dua: BTP dipanggil Menteri BUMN Erick Thohir. Lalu BTP mengatakan –bukan menteri yang mengatakan– bahwa dirinya dipanggil untuk ditempatkan di salah satu BUMN.
Belum ada indikasi di BUMN mana. Besar? Kecil? Yang sudah laba? Yang masih rugi?
Juga belum jelas sebagai apa. Direktur utama? Direktur? Komisaris Utama? Komisaris?
Masih banyak fakta yang harus saya lihat. Untuk bisa berkomentar lebih panjang.
Tapi ada prinsip yang harus dipegang: perusahaan pun perlu ketenangan. Perusahaan tidak bisa maju kalau hebohnya lebih besar dari kerjanya.
Itulah sebabnya saya menulis dengan penuh harap. Sampai beberapa kali. Di DI’s Way. Tentang perlunya situasi tenang sekarang ini. Terutama setelah terbentuknya kabinet baru.
Isi tulisan saya adalah “semoga kabinet baru ini penuh ketenangan agar bisa fokus bekerja”. Semoga tidak banyak usrek. Agar ekonomi bisa segera mulai bangkit.
Begitu juga di perusahaan: perlu kestabilan. Apalagi perusahaan besar. Yang ibaratnya kapal besar. Yang tidak mudah dibelok-belokkan.
Memang, bisa juga sukses diraih lewat kehebohan. Tapi sukses seperti itu biasanya hanya di permukaan. Dan untuk jangka pendek.
Mungkin karena itu lahirlah filsafat “benang berhasil ditarik, tepung tidak terhambur”.
Filsafat itu sering juga salah dalam penerapannya: tepungnya memang tidak terhambur tapi benangnya juga tidak tercabut. Banyak perusahaan yang tenang tapi juga tidak maju.
Saya justru tertarik pada sosok lain. Yang sudah nyata-nyata berhasil menarik benang dan menjaga tepung: Arief Yahya.
Ia mantan Menteri Pariwisata. Yang sayang sekali tidak lagi mendapat kursi. Hanya karena ia tidak punya partai.
Selama Arief Yahya menjadi menteri tidak terjadi kehebohan di Kementerian Pariwisata. Tapi hasilnya begitu nyata. Semua target tercapai. Bahkan masih sempat meletakkan fondasi.
Banyak pimpinan yang hanya mementingkan sukses jangka pendek. Sesuai dengan masa kerjanya. Atau hanya bisa meletakkan fondasi.
Fondasi seperti itu yang membuat pemimpin berikutnya cepat sukses. Meski ada juga pemimpin baru yang tidak mau pakai fondasi yang disiapkan.
Arief Yahya bisa mengerjakan dua-duanya. Sukses dalam meletakkan fondasi juga sukses mencapai target-target. Tanpa heboh-heboh.
Untuk pertama kali dalam sejarah: pariwisata kita menghasilkan USD 20 miliar dolar setahun. Tahun 2019 ini.
Itulah prestasi nyata pemerintahan Jokowi periode pertama. Yang jarang diekspos. Kalah dengan heboh-heboh yang lain.
Jenis orang seperti Arief Yahya itulah yang saya maksud dengan orang yang berprestasi. Di mana pun ia ditempatkan akan seperti itu. Bahkan di bidang yang berbeda sama sekali pun.
Itu pula pertimbangan saya dulu menempatkannya sebagai Dirut Telkom Indonesia.
Orang sejenis Arief Yahya hanya bisa tidak sukses untuk jadi caleg atau capres atau cagub dan cawali. Ia tidak populer. Padahal sistem pemilihan kita sekarang mementingkan yang populer –melebihi yang berprestasi.
Kita punya banyak sekali orang seperti Arief Yahya itu.
Kalau saja orang jenis itu bisa banyak tampil alangkah cepat majunya Indonesia.
Pun tidak usah semua. Cukup 70 persennya saja. Agar yang populer juga tetap mendapat muara.(dis)