DARI begitu banyak reaksi soal ”Cuci Hidung” (Disway, 19 Juli 2021: Protokol Rakyat), ada tulisan seorang dokter ahli THT yang cukup panjang. Tulisan itu dikirim ke saya lewat ketua IDI Surabaya: Dr dr Brahmana.
Nama ahli THT itu Budi Sutikno. Saya membacanya dengan teliti. Ia sangat kompeten. Ia spesialis THT-KL, konsultan rinologi.
Dokter Budi juga mengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Juga, berdinas di RSUD dr Soetomo, Surabaya.
Maka, saya pun memperhatikan respons itu. Dan menggunakannya untuk tulisan hari ini.
”Protokol Rakyat cuci hidung dengan larutan garam fisiologis itu telah dikenal dan digunakan sejak zaman Hindu kuno,” tulis dr Budi. Sebutannya jala neti. Yaitu, larutan garam fisiologis yang dimasukkan ke salah satu lubang hidung dengan bantuan teko kecil.
Itu disebut garam fisiologis karena konsentrasi larutan garam setara (isotonis) dengan konsentrasi cairan tubuh: praktis berada di konsentrasi garam 0,9 persen.
Konsentrasi kurang dari itu (hipotonis) berpotensi merusak selaput lendir (hidung). Konsentrasi lebih dari itu (hipertonis) berpotensi merusak selaput lendir secara reversible (sementara). Bisa juga irreversible (permanen) seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
”Penggunaan cuci hidung seperti itu juga telah dipakai di dunia medis,” tulis dr Budi. Itu didukung banyak penelitian ilmiah. Itu bagian dari upaya menjaga kesehatan hidung dari penyakit-penyakit flu, infeksi saluran napas atas, dan sebangsanya.
”Pasien sinusitis yang menderita alergi hidung atau pascaoperasi hidung juga memakai cara itu,” tulis dr Budi.
Itu, katanya, telah bertahun-tahun dijalankan. Bukan baru dalam 2 tahun terakhir.
Menurut dr Budi, pasien Covid-19 bisa diasumsikan mendapat manfaat dari pola hidup sehat tersebut. ”Namun, hingga saat ini, WHO belum menyatakan bahwa penggunaan cuci hidung dengan larutan garam fisiologis dapat menyembuhkan infeksi Covid-19,” katanya.
Semua komentar dr Budi itu dibenarkan drh Indro, si ”penemu” Protokol Rakyat. ”Memang bukan saya yang menemukan NaCl kadar 0,9,” ujar drh Indro. ”Saya menemukan cara melepas virus Covid-19 dari mukosa di hidung dengan NaCl 0,9,” tegas drh Indro.
Ada juga reaksi yang mengingatkan saya: drh Indro itu sudah bukan anggota IDHI –IDI-nya dokter hewan. Lalu, melampirkan surat PB IDHI tentang keanggotaan itu. Juga, yang menyatakan bahwa pendapat drh Indro adalah tanggung jawab pribadinya.
Kepada pengirimnya itu, saya jawab dengan guyon: orang seperti drh Indro tidak peduli dengan segala macam formalitas seperti itu. Jangankan keanggotaan. Gelar S-2 dari University of Adelaide saja tidak ia ambil.
Yang Indro pedulikan hanya rokok. Sejak di SMAN 3 Semarang ia sudah merokok. Katanya: ketularan teman sekolah. Sampai sekarang.
Di musim Covid ini pun istrinya tetap mengizinkan Indro merokok. Agar bahagia. Agar imunnya naik.
Itu kata-kata istrinya sendiri. Yang kelihatannya ikut nimbrung bicara di telepon sang suami. Sang istri, sesama mahasiswa kedokteran hewan UGM, masih terdengar bicara sambil mendekat ke HP sang suami: Mas Indro itu pemberontak!
Dia wanita Jogja. Dari Parangtritis.
Saya pun membesarkan hati Indro –setengah meledeknya: banyak orang yang sedang olahraga meninggal, tapi belum ada orang yang sedang merokok meninggal.
”Kalau merokoknya di tengah jalan, ya pasti meninggal juga, Pak,” jawabnya.
Dokter hewan Indro ingin menegaskan: ia tidak pernah mengeklaim garam krosok sebagai obat virus. Yang ia sebar luaskan adalah: garam krosok dengan konsentrasi 0,9 persen bisa melepaskan virus dari mukosa di hidung.
Dengan demikian, virus tersebut tidak akan masuk ke paru-paru atau organ lain.
Dokter hewan Indro juga menegaskan, ”Kalau virus sudah telanjur melewati hidung, protokol rakyat itu sudah tidak berguna.”
Untuk melahirkan protokol rakyat itu, Indro berbulan-bulan di laboratorium. Bacalah catatannya di bawah ini. Ia sendiri menyebut protokol rakyat itu sebagai rumus konyol. Menarik. Terutama bagi yang suka tenggelam di lab:
Semua berawal setelah kami bekerja empat bulan di dalam lab. Kami berhasil menumbuhkan virus Covid-19 di sel vero. Kami sangat gembira saat itu.
Setelah itu, kegembiraan tersebut langsung berubah menjadi kebingungan: kami TIDAK BISA melepaskan ikatan virus dengan sel vero itu. Virus+hancuran sel MENEMPEL sangat erat di dasar tabung tissue culture flask.
Dalam kondisi normal, ikatan virus ke sel vero bisa dengan mudah dilepas. Yakni dengan menggunakan metode COLD SHOCK: tabung dibekukan di suhu -80°C, lalu dicairkan kembali. Sebanyak tiga kali. Kami pun melakukan itu. Tapi, metode tersebut tidak berhasil. Virus dan sel tetap menempel. Tidak bisa dilepas.
Kami menghabiskan 3 bulan lagi begadang di lab.
Kami pun mencoba menggunakan listrik 20 V. Tidak berhasil. Kami coba gunakan enzim. Juga gagal. Kami coba tripsin. Tetap tidak mau lepas.
Di saat di ujung stres, saya jalan kaki berkeliling perumahan. Lalu, nongkrong di bekas pemancingan. Saya pun merokok. Sendirian. Seperti orang gila.
Tiba-tiba saya ingat: dasar tabung tissue culture flask itu kan di-coating dengan ion (+). Sehingga jika virus memiliki muatan (-) yang besar, virus akan menempel kuat di dasar tabung flask.
Berarti untuk melepas virus itu saya harus menggunakan reagen khusus. Yakni yang memiliki ikatan ionik (+) & (-) sekaligus. Itu untuk mengganggu kestabilan ikatan virus dengan sel di dasar tabung flask.
Pilihan pertama saya menggunakan cairan NaCl 0,9 % (NaCl fisiologis). Itu karena dia memiliki ikatan (+) & (-) sekaligus. Saya merendam dan membilas flask berisi tempelan virus itu menggunakan NaCl 0,9 %.
Pada setiap bilasan saya ukur loading virus di dasar flask.
Dua kali saya menggunakan mikroskop untuk mengecek cell scrapper dan sisa hancuran sel yang berisi virus.
Loading virusnya saya cek dengan menggunakan RT-PCR dengan 4 primer (green = primer E, orange = primer RdRp, red = primer N, & yellow = Internal Control).
Bilasan pertama (PCR A1 + A2) range CTV virus 28–38.
Di bilasan kedua (PCR B1 + B2) range CTV virus 32->40. Berarti sudah negatif.
Pada bilasan ketiga (PCR C1 + C2) range CTV virus 43. Negatif
Bilasan keempat (PCR D1 + D2) range CTV semua negatif.
(video akhir menunjukkan debris sel dan virus yang terlepas setelah bilasan ketiga).
Metode pemberian NaCl terbukti berhasil melepaskan virus dari sel. Sehingga kami bisa melanjutkan penelitian dan propagasi virus.
Kemudian sebuah ide terlintas, jika NaCl 0,9 % bisa melepas ikatan virus-sel apakah mungkin bisa dilakukan sebagai aplikasi lapangan untuk membantu mencegah paparan virus di rongga hidung.
Kemudian, kami melakukan uji coba menggunakan cairan infus sodium chloride (NaCl 0,9 %) yang ada di pasaran. Itu saya cobakan mencuci hidung + kumur untuk kawan-kawan yang ter-swab PCR positif.
Hasilnya sangat menggembirakan: kawan-kawan bisa melepaskan virus setelah melakukan cuci hidung + kumur sehari 3x selama 3–4 hari. Saat diuji ulang swab PCR menjadi negatif. Itu berarti, ada harapan bisa mencegah paparan virus. Dengan demikian akan membantu mencegah infeksi virus ke dalam tubuh.
Masalah belum berhenti di situ. Beberapa kawan mengaku: hasil PCR tetap positif. Setelah kami cek, banyak yang memakai cairan infus NaCl 0,9 % palsu.
Akhirnya, pilihan kami jatuh pada garam krosok. Yang mengandung garam murni. Garam non-yodium.
Masalahnya, bagaimana rakyat bisa menakar NaCl 0,9 % dari garam krosok.
Kami pun berpikir. Merokok lagi enam bungkus. Muncullah ide ini: kita bisa membuat larutan garam 10 gram + 1 liter air = NaCl 1 % & 10 gram garam krosok = 1 sendok makan munjung.
Maka, kami segera membuat larutan garam 1 % menggunakan garam krosok yang murah, meriah, & mudah dibuat oleh seluruh rakyat di semua golongan pendidikan.
Hingga saat ini, rumus protokol rakyat itu sudah membantu jutaan orang terhindar dari stigma positif pembawa penyakit.
Kami tidak pernah menghitung berapa yang sudah terbantu. Kami juga tidak peduli dengan hak cipta. Atau apa pun. Yang kami pedulikan hanya dua hal: membuat temuan yang bermanfaat untuk rakyat dan membantu negara mengatasi wabah virus.
Kami tetap bekerja dan tetap melakukan penelitian. Kami juga tetap selalu membantu rakyat atas nama kemanusiaan dan persaudaraan.
Logika mengalahkan kepanikan.
Pengetahuan mengalahkan ketakutan.
***
Begitulah tulisan drh Indro. Ternyata ia juga bisa menulis bagus. Hanya, katanya, selama menulis itu harus menghabiskan dua pak rokok.
Sampai-sampai, sebagai orang yang antirokok, saya risi. Apalagi kalau melihat videonya yang secara tidak langsung seperti menganjurkan rokok itu.
Pengin sekali saya tidak mau memuat tulisan perokok ini. Tapi, selalu ada alasan bagi perokok untuk tetap merokok. (dis)