BARU kemarin saya bisa melihat orang donor konvalesen. Padahal saya adalah orang yang sembuh dari Covid-19 berkat transfusi plasma konvalesen. Akhir Januari lalu.
Saya lihat begitu banyak yang antre donor konvalesen kemarin. Bahkan banyak yang bukan baru kali pertama. “Kalau hasil cek darah ok, ini akan menjadi yang ke-10 kalinya saya donor konvalesen,” ujar Satyagraha.
Satyagraha terlihat lagi antre untuk cek darah di kantor tabloid wanita Nyata Surabaya. Nyata memang mengadakan acara donor darah plus konvalesen. Ramai sekali. Kantornya yang di Jalan Raya Darmo –seberang Kebun Binatang Surabaya, ramai sepanjang hari.
“Sehari kemarin bisa mendapat 250 kantong,” ujar Eddy Sukotjo, panitia di situ.
Berita baik lainnya: semakin banyak penyintas Covid-19 yang memenuhi syarat menjadi pendonor konvalesen. “Dulu, dari 100 orang pendonor paling hanya 10 orang yang memenuhi syarat,” ujar Eddy. Sekarang, katanya, dari 100 orang bisa didapat 60-70 orang.
Yang dimaksud dengan “dulu” adalah di awal Covid –sekitar bulan Mei 2020. Dan yang dimaksud “sekarang” adalah sejak bulan November sampai Februari 2021.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah: penyintas Covid tersebut harus sudah memiliki antibodi melebihi untuk kebutuhan dirinya sendiri. “Dulu banyak penyintas Covid yang memiliki antibodi kurang dari itu,” ujar Eddy.
Sebenarnya saya memiliki antibodi jauh melebihi kebutuhan saya sendiri. Karena itu saya merasa bersalah: disembuhkan lewat konvalesen tapi tidak bisa menjadi donor konvalesen. Saya tidak memenuhi syarat – -pernah punya hepatitis B. Juga karena umur saya sudah melebihi 60 tahun.
Mereka yang datang antre di Nyata kemarin adalah untuk pengambilan darah. Dari situ akan diketahui memenuhi syarat jadi pendonor atau tidak. Hasil itu akan diberitahukan lewat HP. Bagi yang memenuhi syarat diminta datang ke Palang Merah Indonesia (PMI) Surabaya –pada tanggal dan jam yang ditentukan.
Di PMI-lah plasma Konvalesen itu diambil. PMI Surabaya memiliki 5 mesin pemroses darah. Sebelum ada Covid mesin itu banyak menganggur. Transfusi plasma sangat jarang dilakukan.
Dulu, mesin itu baru bermanfaat kalau ada yang perlu transfusi plasma penyakit tertentu. Misalnya HIV. Bahkan saat ada wabah Ebola tidak sampai ada yang harus transfusi plasma Ebola.
Barulah ketika ada Covid mesin pemroses darah itu kerja keras. Terutama setelah RSPAD Gatot Subroto berhasil menjadi perintis dimulainya pengobatan konvalesen pertama di Indonesia.
Beda dengan donor darah, donor konvalesen itu perlu waktu hampir satu jam. “Caranya seperti cuci darah,” ujar Eddy. Pendonor duduk di sebelah mesin. Darah pendonor dialirkan ke mesin itu. Hanya untuk diambil plasma konvaselennya. Unsur darah lainnya kembali masuk tubuh.
Semua itu memakan waktu 45 menit. Lalu tunggu 30 menit lagi sebelum pergi –untuk kehati-hatian.
“Setelah yang pertama itu hampir tiap dua minggu sekali saya donor konvalesen,” ujar Satya.
Sebentar lagi Satya pindah kembali ke Jakarta. Ia bekerja di perusahaan distributor bumbu masak Sasa. Umurnya 50 tahun. Anaknya tiga orang.
Sudah tiga tahun Satya bertugas di Surabaya. Ia lahir dan dibesarkan di Jakarta. Setamat SMAN 7 Gambir Satya meneruskan kuliah di sekolah tinggi ilmu ekonomi swasta. Ayahnya Sunda, ibunya Palembang. Istrinya dari Bandung, kerja sebagai tenaga medis di Tangerang.
Satya senang ditarik lagi ke Jakarta. Bisa dekat dengan keluarga. Tapi ia menjadi belum tahu apakah akan bisa donor plasma untuk yang ke 11 kali dan seterusnya.
Awalnya Satya hanya sakit biasa. Masuk rumah sakit. Dinyatakan sembuh. Lalu bekerja lagi. Tapi ia harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol. Termasuk harus antre pemeriksaan paru-paru. Ia curiga saat kontrol itulah tertular Covid.
Itu bulan Mei 2020.
Ia dirawat di RS khusus Covid –saat itu disebut RS Lapangan di Jalan Indrapura Surabaya.
Ia termasuk pasien angkatan pertama yang masuk RS yang baru saja dibuka itu.
Setelah sembuh ia tergabung dalam grup alumni RS Lapangan Indrapura. Ia masuk grup 1 –karena tergolong pasien awal. “Sekarang sudah ada grup 14,” ujar Satya. Satu grup berisi sekitar 100 orang –sesuai kapasitas WA.
Di grup WA itulah ia kali pertama tahu konvalesen. Di bulan Juli ia tergugah untuk menjadi pendonor. Setelah diperiksa ternyata memenuhi syarat. Sejak itu Satya terus menjadi pendonor konvalesen. Sampai yang kali ke-10 kemarin.
Tidak semua penyintas Covid bisa jadi pendonor. Seorang ibu yang pernah hamil termasuk yang tidak boleh. Yang umurnya di atas 60 tahun juga tidak diterima. Demikian juga yang di bawah 17 tahun.
Berbahagialah yang terkena Covid belakangan. Para dokter sudah begitu pintar. Mereka banyak belajar selama satu tahun Covid – -di samping banyak yang sampai menjadi korban. Pilihan jalan penyembuhan pun kian banyak –termasuk transfusi plasma konvalesen. (Dahlan Iskan)