SAYA ikut naik bus ke Jakarta. Kemarin. Bersama rombongan relawan Vaksin Nusantara. Dari Surabaya.
Itulah terakhir kali mereka harus ke Jakarta. Berarti itulah pula pemeriksaan terakhir terhadap relawan uji coba fase 2 Vaksin Nusantara.
Namanya saja rombongan. Bus harus beberapa kali berhenti di rest area: toilet. Ada juga yang harus berhenti karena saya ingin tahu rest area satu ini: Brebes. Itulah rest area terbesar sepanjang jalur jalan tol di Indonesia. Juga paling bersejarah: bekas bangunan pabrik gula peninggalan zaman Belanda.
Ternyata jalan tol Surabaya-Jakarta itu harus memotong halaman pabrik gula tersebut. Kebetulan. Pabriknya juga lagi dalam kesulitan. Sekalian saja dijadikan rest area. Unik. Gedung pabriknya utuh. Mesin giling tebunya yang dibongkar. Tidak ada lagi mesin-mesin tua di situ. Sayang.
Banyak produk lokal Brebes dijajakan di situ: aneka ria telur asin. Sate kambingnya saja tiga warung.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.15 ketika tiba di situ. Pas waktu sahur: mereka harus puasa setidaknya delapan jam setelah itu. Untuk diambil darah mereka di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Tepat jam 5 pagi kami tiba di sebuah hotel di Cawang, Jakarta Timur. Milik salah satu relawan VakNus dari grup kami, Pak Suntoso.
Kami istirahat sebentar di hotel itu. Lalu senam dansa satu jam. Di halaman belakangnya yang luas. Mandi. Berangkat ke RSPAD.
Usai pemeriksaan darah kami langsung berangkat pulang ke Surabaya. Pukul 00.15 tiba kembali di rumah. Untuk paginya senam lagi, satu jam, di halaman Rumah Gadang Surabaya.
Berarti lima kali para relawan itu ke Jakarta.
Pertama, untuk diambil darah. Berdasar pemeriksaan awal itulah ditentukan: siapa yang boleh jadi relawan dan siapa yang tidak. Bagi yang lolos diambil lagi darah mereka. Untuk diproses sebagai objek penelitian fase 2. Dari darah itu diambil sel dendritiknya. Lalu diberi antigen Covid-19. Di observasi selama satu minggu.
Kedua, seminggu kemudian. Saat itulah sel dendritik yang sudah ”jadi” disuntikkan kembali ke tubuh mereka.
Ketiga, keempat, dan kelima adalah untuk pemeriksaan. Di setiap kunjungan darah mereka diambil. Untuk dilihat: apakah VakNus tersebut berbahaya bagi mereka.
Sejauh ini tidak ada gejala klinis apa pun. Tidak satu pun dari mereka.
Padahal kami sudah siap menderita –sesuai dengan keterangan BPOM bahwa 70 persen relawan uji coba fase 1 mengalami masalah. Berarti setidaknya 10 dari 15 relawan kami akan mengalami masalah itu.
Ternyata tidak. AMITOHU!
Tiga kali pemeriksaan itu juga untuk melihat apakah tubuh mereka sudah memiliki kemampuan untuk melawan paparan Covid-19.
Kami belum tahu hasil penelitian itu. Kami sadar hasilnya kemungkinan bukan untuk kami. Tapi untuk kepentingan umum. Akan dipublikasikan di jurnal internasional.
Tentu hasil itu juga bukan untuk BPOM –badan yang mengeluarkan izin untuk obat dan makanan. Itu karena uji coba VakNus ini memang tidak diakui oleh BPOM. Bahkan tidak diizinkan untuk dilaksanakan.
Awalnya saya mengira hasil uji coba fase 1 dan 2 di Indonesia ini akan menjadi jurnal kedokteran pertama di tingkat internasional. Di bidang terapi vaksin sel dendritik.
Itu lantaran para penentang VakNus sering menjadikannya alasan: belum ada satu pun jurnal internasional yang membahas terapi dendritik.
Ternyata sudah ada. Belakangan ini. Dari Italia. Kita kecolongan satu langkah. Akibat terlalu lama usreg.
Nama jurnalnya: PubMed.gov. Nama penulisnya: Mona Kamal Saadeldin. Bersama dua dokter lagi dari Amal Kamal Abdel-Aziz (Milan, Italia) dan Ahmed Abdellatif (Kairo, Mesir).
Dari nama mereka kelihatannya itu peneliti keturunan Arab.
Baca jurnalnya di sini: Dendritic cell vaccine immunotherapy; the beginning of the end of cancer and COVID-19. A hypothesis.
“Jadi, sekarang sudah ada di jurnal. Dunia lagi ramai membahasnya,” ujar Letjen TNI dokter Terawan Agus Putranto kemarin.
Dalam jurnal itu disebutkan, kata Terawan, bahwa penggunaan terapi vaksin sel dendritik adalah “awal dari berakhirnya pandemi Covid-19”.
Terawan memang menjadi salah satu panelis di seminar mempercepat penanganan Covid dan keamanan kesehatan nasional. Yang penyelenggaranya RSPAD Gatot Subroto sendiri. Selasa pagi. Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa menjadi pembicara utama. Salah satu topik yang dibahas adalah Terapi Vaksin Sel Dendritik.
Di situ, Terawan tetap menunjukkan semangatnya dalam mengembangkan VakNus. Besarnya hambatan seperti tidak menggoyahkannya. Sama sekali. “Kami segera memublikasikan hasil uji coba fase 1 dan 2 di jurnal internasional,” kata Terawan, yang berbicara setelah Kolonel dr Jonny.
Terawan juga membanggakan RSPAD yang telah ambil inisiatif di berbagai penelitian kesehatan. Ia juga membanggakan tim di situ yang telah mulai mendalami sel dendritik sejak 2015.
Saya sendiri harus memberikan penjelasan tambahan pada relawan dari Surabaya. Yang semula cara berpikir mereka masih terpola oleh vaksin yang sudah ada. Termasuk: mereka ingin tahu berapa tingkat antibodi mereka setelah diVakNus.
Padahal untuk VakNus ini tidak ada istilah ”sudah punya antibodi berapa banyak”. Yang jumlahnya bisa diketahui melalui test elisa di laboratorium.
“Kalau Anda ke lab dan minta dicek kadar antibodi, hasilnya akan nol,” kata saya pada mereka. “Kemampuan menangkal Covid lewat VakNus akan diketahui dari test Elisspot. Bukan dari test elisa seperti biasa,” ujar Dokter Jonny, yang kemudian saya teruskan ke relawan.
Setiba di Surabaya saya semakin menyadari: tidak mungkin dua aliran ini bertemu. Masing-masing punya definisinya sendiri. Caranya sendiri. Kemampuannya sendiri. Bedanya: yang satu mengekor. Yang satunya mencoba jadi induk. (DIS)