Mengapa Tiongkok bisa begitu cepat menemukan vaksin anti-Covid-19?
Faktor utamanya adalah: virus itu sendiri ditemukan kali pertama di sana. Di kota Wuhan kan?
Itu membuat ilmuwan di sana bisa segera mendapatkan ‘contoh’ virusnya seperti apa. Virus itu lantas diteliti dari berbagai sudut. Jenisnya. Hidupnya. Cara berkembangnya dan seterusnya.
Jenisnya pun segera diketahui: jenis corona. Tapi ini bukan corona-corona yang sudah kita kenal. Ini corona baru. Karena itu disebut ‘novel corona’. Artinya: corona jenis baru. Lalu dinamakan Covid-19 karena munculnya di akhir tahun 2019.
Itulah sebabnya vaksinasi corona biasa – -yang disuntikkan ke jemaah haji itu– tidak bisa untuk corona jenis baru ini.
Masih ingatkah tulisan DI’s Way tentang lab di Shanghai yang ditutup pemerintah di awal munculnya Covid-19? Yang membuat Amerika marah itu? Yang Tiongkok dituduh menghancurkan bukti-bukti itu? (Baca juga: Tuduhan Konspirasi)
Penutupan itu semata-mata terkait dengan legalitas pembiakan virus. Jangan sampai virus ini diperdagangkan.
Akan banyak sekali yang tertarik membeli bibit virus itu. Baik untuk tujuan mulia, tujuan jahat maupun sekedar untuk mendapat uang receh.
Tentu bahaya sekali. Bibit virus itu bisa lepas. Lalu menyebar tak terkendali. Tiongkok menutup paksa lab di Shanghai itu.
Saya ingat pertemuan saya dengan beberapa peneliti di Indonesia. Mereka merasa sangat sulit mendapatkan ”virus Covid-19” untuk bisa segera ikut meneliti.
Bagaimana bisa melakukan penelitian kalau tidak punya bahan baku yang harus diteliti.
Tiongkok sudah punya bahan baku penelitian itu jauh-jauh hari. Nun sejak akhir Desember 2019. Setidaknya sejak awal Januari.
Bahkan ketika Covid-19 masuk Indonedia tiga bulan kemudian bukan berarti para peneliti bisa dengan mudah mendapatkan bahan baku itu. Tidak sembarang orang bisa mendapat izin untuk mengambil virus itu dari lab yang memeriksa pasien.
Saya pernah rapat-rapat dengan para peneliti independen dari IPB. Yang dipimpin Gus Hakiem, ahli genetika mulekuler.
Gus Hakiem mengusulkan proposal itu dengan cara menyuntik ayam yang berumur 24 minggu. Tiap minggu. Selama sebulan. Suntikan itu berisi antigen (suspensi Covid-19 yang sudah dinonaktifkan).
Rapat-rapat kami dilakukan jarak jauh. Yang kami bicarakan adalah: memproduksi makanan tertentu yang anti Covid-19. Didasarkan pada dampak penyuntikan antigen tadi pada kuning telur ayam tersebut. Mereka sangat ahli. Lalu memiliki teori ilmiah versi mereka itu. Tapi rapat-rapat itu terhenti ketika tidak mungkin bisa mendapat ”contoh” virus itu dari lab yang ada.
Tentu bisa saja dengan cara curi-curi. Tapi kami tidak akan melakukan itu. Begitu besar risikonya. Akhirnya saya minta maaf tidak bisa meneruskannya.
Sebenarnya saya ingin sekali ahli-ahli dari IPB itu bisa mewujudkan teori mereka: imunisasi pasif melalui antibodi nutraceutical oral. Lewat teknologi yang mereka sebut immunoglobulin yolk (IgY).
Itu, ujar Dr Gus Hakiem, punya prinsip yang sama dengan penggunaan plasma konvalesen dari darah orang yang sudah sembuh Covid-19.
Tiongkok punya keunggulan bisa lebih dulu mendapatkan bahan baku berupa virus itu.
Yang Donald Trump marah adalah mengapa Tiongkok tidak segera mengirimkan ”contoh” virus itu kepada mereka.
Tiongkok tentu membantahnya.
Dengan menyebarnya Covid-19 ke Eropa dan Amerika, peneliti Barat pun segera melakukan penelitian.
Dari segi waktu mereka juga berhasil dengan sangat cepat. Tidak kalah cepat dengan Tiongkok. Mungkin hanya berbeda tiga bulan.
Ahli dari Oxford University, Inggris, misalnya, minggu lalu juga sudah mengumumkan penemuan vaksin mereka. Hanya saja belum memasuki uji klinis tahap 3.
Faktor lain yang membuat Tiongkok begitu cepat adalah: persetujuan untuk melakukan uji coba tahap 1 yang sangat cepat. Rapatnya pun cukup secara online. Ahli seluruh negeri diikutkan dalam rapat itu. Lembaga-lembaga ilmiah dan yang terkait perizinan disertakan.
Bahasa mereka sama: bahasa ilmu pengetahuan. Rapat pun tidak harus melebar ke soal-soal, misalnya, apakah perlu minta petunjuk Karl Marx dulu.
Hanya dua jam rapat itu berlangsung. Persetujuan pun dikeluarkan. Secara online juga. Tepat pukul 2 siang, rapat ditutup. Uji coba klinis tahap 1 boleh dilakukan.
Ada dua lembaga penelitian yang diizinkan melakukan uji klinis tahap 1. Yang di Wuhan dan yang di Beijing. Masih ada empat lembaga lagi yang izinnya sedang diproses (saat itu).
Itulah uji coba klinis yang paling menakutkan. Mestinya. Tujuan uji coba tahap 1 adalah: untuk melihat apakah vaksin itu mengandung efek sampingan.
Karena itu di tahap ini relawannya harus tinggal di rumah sakit. Selama dua bulan. Agar setiap saat bisa dimonitor.
Kalau uji klinis tahap 1 itu, misalnya, dilaksanakan di Indonesia bisa jadi justru sudah gagal sebelum dilaksanakan. Efek samping itu akan dibahas sampai kiamat.
Uji coba obat yang mudah diterima segala aliran di Indonesia adalah yang punya efek depan bagi laki-laki.
Sedang efek samping begitu menakutkan. Padahal peneliti sudah menghitung lewat keahlian mereka. Dampak samping yang dimaksud sudah bisa diperkirakan: tidak ada. Seandainya ada pun antisipasinya sudah disiapkan. Itulah sebabnya relawan harus tinggal di rumah sakit.
Ini sangat ilmiah. Jangan dibayangkan seperti ujicoba bikin ketupat dengan beras merah yang airnya pakai kencur.
Benar saja.
Dua bulan kemudian muncullah pengumuman: tidak ditemukan afek samping apa pun.
Sebelum uji coba pun para ilmuwan penemunya sudah yakin itu. Secara konsep sudah terjamin. Sudah pula didiskusikan. Pun di tahap ini juga sudah harus mendapat persetujuan yang tidak mudah.
Termasuk sudah harus diujicobakan ke binatang. Pun sudah lolos.
Maka uji coba klinis tahap 1 itu pada dasarnya hanya untuk meyakinkan. Bukan sekadar coba-coba.
Setelah lolos uji coba tahap 1 itu, izin pun dikeluarkan: untuk ujic oba tahap 2. Relawannya harus lebih banyak: 60 – 120 orang. Mereka juga harus tinggal di rumah sakit selama dua bulan.
Tujuan utama uji klinis tahap 2 ini untuk melihat manjur tidaknya vaksin itu. Sekaligus tetap memonitor dampak samping yang mungkin muncul.
Ini juga bukan sekadar coba-coba. Penemunya sudah diuji di banyak tahap sebelumnya. Hasil uji coba tahap 2 pun diumumkan: vaksin ini manjur. Relawan yang divaksinasi bisa memiliki antibodi untuk melawan Covid-19. Pun tidak muncul efek samping.
Semua itu (tahap 1 dan 2) dilakukan di Wuhan dan Beijing.
Maka uji coba tahap 3 itu sebenarnya sudah sangat aman. Itu perlu dilakukan sebagai persyaratan kehati-hatian yang harus ekstra. Tanpa uji coba tahap 3 lembaga perizinan tidak akan mengeluarkan izin edar.
Tingkat kehati-hatian di bidang ini saya lihat setara dengan tingkat kehati-hatian di bidang nuklir.
Saya salut pada Biofarma yang mengurus hak uji coba ini di Indonesia. Agar kita bisa punya hak memproduksi vaksin itu untuk orang Indonesia.
Dengan demikian kita tidak perlu –seperti diucapkan seorang ahli ekonomi– menunggu tiga tahun untuk antre mengimpor vaksin itu.
Saya pun begitu ingin jadi relawan uji coba tahap 3 ini. Agar Indonesia lebih cepat punya vaksin. Bahwa itu vaksin bin huaren apa bedanya dengan vaksin binti Trump. Saya siap ikut jadi relawan. Misalnya untuk golongan umur 70 tahun. Siapa tahu ada gunanya.
Kalau dikhawatirkan biaya uji coba akan naik, saya sanggup menanggung biaya uji coba saya sendiri itu.
Tapi kalau harus pindah ke Bandung? Sayang, saya punya bayi baru yang masih harus dikeloni siang-malam: Harian DI’s Way. Tapi kalau memang diizinkan, saya siap saja pindah ke Bandung, dua bulan.
Biaya-biaya yang timbul, saya bayangkan, adalah biaya lab untuk periksa darah lengkap, foto paru-paru, jantung, ginjal, dan otak. Tidak akan terlalu mahal.
Katakanlah: Rp 5 juta.
Kalau Biofarma memerlukan pemeriksaan terhadap 2.000 relawan total ya memang besar: Rp 10 miliar. Dari 2000 relawan itu tentu bisa didapatkan 1600 yang layak diuji coba.
Kalau saya diikutkan Biofarma bisa lebih hemat. Biaya Rp 10 miliar tadi bisa tinggal Rp 9.995.000.000.
Tentu tidak mudah mengkoordinasilan 1.600 relawan. Yang harus diperiksa dengan teliti.
Mungkin itulah sebabnya hujan belum bisa turun di bulan November.(dis)