BEGITU banyak pertanyaan tentang Vaksin Gotong Royong. Yang sebelumnya disebut Vaksin Mandiri itu. Untung ada Rosan Roeslani. Maka Ketua Umum Kadin Indonesia itu yang menjawabnya.
Rosan memang dihadirkan sebagai narasumber terpenting di forum Zoom Diaspora Indonesia, Senin malam WIB lalu. Yang moderatornya berdomisili di empat negara.
“Sudah 11.000 perusahaan yang mendaftar. Itu pun masih tambah terus,” ujar Rosan dari Jakarta.
Minat orang untuk segera mendapat vaksin memang tinggi. Terbukti harus membayar pun antre. Banyak pula perusahaan yang tidak hanya ingin memvaksin karyawan dan keluarga. Pun juga ingin membantu memberikan vaksin untuk masyarakat sekitar perusahaan.
Apakah masyarakat sekitar boleh diikutkan vaksinasi Gotong Royong?
“Boleh. Sudah ada peraturannya sudah diterbitkan Menteri Kesehatan,” jawab Rosan –yang sebentar lagi menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
Ide melibatkan masyarakat sekitar itu muncul dari perusahaan perkebunan kelapa sawit. Juga dari perusahaan tambang. Agar masyarakat sekitarnya bisa ikut menikmati Vaksin Gotong Royong.
VGR memang inisiatif swasta. Yang ingin bisnis impor vaksin pun banyak. Mereka ingin manajemen dan karyawan perusahaan cepat dapat vaksin. Atas biaya perusahaan. Tanpa harus menunggu yang gratis dari pemerintah.
Tapi, kata Rosan, perusahaan-perusahaan itu harus membeli vaksin dari Biofarma (BUMN), Bandung. Agar satu pintu. Juga agar harga vaksin bisa dikendalikan.
Syarat lain: VGR itu harus menggunakan vaksin yang bukan Sinovac dan bukan Pfizer. Yang dua merek itu sudah dibeli oleh pemerintah –untuk diberikan secara gratis ke masyarakat. Sekalian untuk memudahkan kontrol mana yang gratis dan mana yang berbayar.
Maka, menurut Rosan, vaksin untuk VGR nanti adalah Sinopharm, Sputnik V, Johnson & Johnson, dan Moderna. “Perusahaan juga dilarang memungut biaya dari karyawan. Harus benar-benar gratis. Tidak boleh ada pemotongan gaji dan sebangsanya,” ujar Rosan.
Ada juga yang bertanya: sudah berapa banyak rakyat Indonesia yang divaksin? “Sampai hari ini sudah 4 juta orang. Kita bisa vaksinasi sebanyak 390.000 orang/hari,” ujar Rosan. “Mulai Juni-Juli nanti bisa 500.000 orang/hari,” tambahnya.
Lalu ada yang bertanya soal paspor vaksin. Maklumlah peserta Zoom ini adalah orang yang sering bepergian antar-negara. “Apakah Indonesia sudah membicarakan dengan negara lain, khususnya antar negara ASEAN?”.
“Kalau dengan Singapura sudah sangat intens,” jawab Rosan. Artinya masih belum ada keputusan. Sedang yang dipersiapkan sekarang ini adalah paspor vaksin untuk perjalanan di dalam negeri.
Lalu ada yang bertanya: bagaimana perkembangan vaksin dalam negeri?
“Kalau vaksin dalam negeri tinggal Vaksin Merah Putih. Yang Vaksin Nusantara izinnya sudah ditolak oleh BPOM,” jawab Rosan.
Vaksin Merah Putih, kata Rosan, adalah vaksin yang dikembangkan oleh Kemenristek bersama Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga Surabaya. “Tapi baru pertengahan tahun depan dimulai uji cobanya,” katanya.
Di antara banyak acara Zoom saya, Zoom dengan Diaspora ini paling efektif. Saya sangat suka –meski harus sampai jam 12.00 malam.
Itulah acara seminggu sekali. Kami bisa reuni sedunia. Adi Harsono –suami Marie Pangestu– jadi penasihatnya dari Washington DC.
Di forum ini pembicara dibatasi maksimum hanya 2 menit. Yang bertanya pun bicaranya langsung pada pokok pertanyaan. Bicaranya hanya satu atau dua kalimat. Tidak ada yang muter-muter.
Malam itu, Butet Kartaredjasa diminta bicara soal vaksinasi. Yang khusus untuk seniman di Jogja. Yang dilaksanakan di padepokan Bagong Kussudiardja, ayah Butet. “Setelah Bung Karno baru kali ini ada presiden yang memperhatikan seniman dengan perhatian lebih,” ujar Butet. Presiden Jokowi memang menyaksikan acara vaksinasi seniman itu.
Pencipta lagu, James F. Sundah, salah satu moderator yang tinggal di New York, sempat bertanya soal sejarah nama Butet. Ternyata nama itu terkait dengan kisah kunjungan seniman Indonesia ke Vietnam –di zaman Bung Karno. Dalam rombongan itu termasuk Bagong, ayah Butet.
Di Vietnam itu, setiap kali penyanyi Indonesia dapat sambutan meriah. Terutama setelah lagu Batak berjudul Butet dinyanyikan. Hadirin selalu berdiri –standing ovation. Termasuk pemimpin besar Vietnam Ho Chi Minh. “Maka ayah saya bilang anaknya nanti akan diberi nama depan Butet. Tidak peduli laki atau perempuan,” katanya.
James, pencipta lagu Lilin-lilin Kecil, lantas menceritakan riwayat lahirnya lagu Tanah Airku, ciptaan Ibu Sud. Waktu itu Ibu Sud masuk dalam rombongan kesenian Indonesia di World Fair New York. Ada juga Bagong di rombongan itu.
Mereka disiapkan hanya untuk tiga bulan di New York. Sebelum musim dingin, mereka direncanakan sudah kembali ke tanah air.
Ternyata World Fair New York diperpanjang tiga bulan. Mereka pun sangat rindu tanah air. Lalu Ibu Sud menciptakan lagu Tanah Airku itu.
Bagong sendiri mengabadikan kata Fair ke dalam nama anaknya: Djaduk Fairianto –kemudian berubah menjadi Djaduk Ferianto. Ia adalah pemusik yang belum lama meninggal dunia. Istri Djaduk ikut tampil di Zoom kemarin.
Lia Sundah, istri James, minta saya bicara. Lia adalah pengacara di New York. Dia salah satu moderator Zoom. Saya diminta bicara sebelum Duta Besar Indonesia di Kuba. Saya pun pilih tidak usah bicara. Info-info dari Kuba akan lebih menarik.
“Kuba sudah melahirkan 4 vaksin nasional,” ujar Bu Nana Yuliana, Duta Besar Indonesia di Kuba. Bu Nana pun menyebutkan nama 4 vaksin itu. “Keempatnya segera memasuki uji coba fase 3,” ujar Bu Nana.
Ternyata bukan lagi segera. Fase 3 itu dilakukan tanggal 15 Maret 2021 –berarti dilakukan saat Zoom kami itu berlangsung.
Menurut Bu Nana, untuk menemukan vaksin itu Kuba bekerja sama dengan Rusia, Iran, dan Tiongkok.
Saya tidak menyesal menempatkan Bu Nana lebih penting. Ternyata sangat menarik. Bagaimana negara kecil Kuba yang miskin bisa melahirkan vaksin.
“Padahal untuk mendapat bahan makanan saja sekarang ini rakyat harus antre,” ujar Bu Nana –yang wilayah kedutaannya meliputi beberapa negara di kepulauan Karibia.
Moderator yang tinggal di Belanda, Sisca Holtrop, punya info baru pula: penyintas Covid-19 di Belanda boleh langsung ikut vaksinasi. Tidak harus menunggu tiga bulan.
Dari Belanda Holtrop mewawancarai Timbul Thomas Lubis yang tinggal di Jakarta. Timbul, awalnya gagal vaksinasi. Itu karena tekanan darahnya 190 –luar biasa tinggi.
Sambil menunggu tekanan darah turun, Timbul tertawa ngakak melihat ada orang yang baru saja selesai vaksinasi. Orang itu heboh mencari kaca matanya yang hilang. Padahal kaca mata itu ada di kepalanya.
“Gara-gara tertawa ngakak tekanan darah saya turun jadi 157. Maka saya pun divaksinasi,” ujarnya.
Lia Sundah, istri James, mewawancarai warga kita yang tinggal di Minnesota. Menarik sekali. Dia hari itu baru mendapatkan giliran vaksinasi. Baru kali itu kami punya teman yang berpengalaman vaksinasi Johnson & Johnson.
“Di Minnesota kami disuruh memilih pakai vaksin yang mana,” ujarnyi. “Saya pilih Johnson & Johnson. Setelah vaksinasi saya tidak mengalami efek samping apa-apa,” katanyi.
Berarti dia hanya perlu suntik sekali itu saja. J&J adalah satu-satunya vaksin yang tidak perlu ada suntikan kedua. Tapi dia masih gundah. Di sertifikat vaksinasinyi hanya tertulis nama pertamanyi. Padahal dia ingin nama di sertifikat itu bisa sama dengan nama di paspor. Siapa tahu akan memudahkan perjalanan antar negara.
Maka petugas di sana menambahkan namanyi dengan pulpen. Itulah yang membuatnyi gundah. Apakah tulisan tangan tambahan itu nanti tidak menimbulkan persoalan.
Begitu banyak yang di dapat dari forum 1,5 jam itu. Berbeda sekali dengan Zoom saya siang sebelumnya. Soal budaya Tionghoa. Yang sampai tiga jam. Ada satu pembicara yang sampai makan waktu 40 menit.
Bahkan Zoom sehari sebelumnya, tentang hari Ginjal Internasional, penuh dengan kata sambutan –sampai tujuh orang. Itu baru sambutannya.
Zoom adalah pertemuan digital. Tapi masih banyak perilaku era nondigital terbawa…
Itulah yang disebut carry over problem. Yang terjadi di banyak persoalan.(dis)