HARIANHALMAHERA.COM–Upaya sekelompok orang yang menolak 6 gerai Alfamidi masuk di Kabupaten Halmahera Utara (Halut), tidak membuat pemerintah daerah setempat terguncang.
Pemda pun memastikan, bahwa perusahan retail tersebut akan beroperasi dalam waktu dekat, menyusul izin bangunan, usaha, maupun dokumen lain sudah diterbitkan.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemkab Halut, Yesaya Tidore, menegaskan, sangat mustahil pemda melarang suatu usaha yang memajukan daerah dan masyarakat.
Apalagi, kata dia, usaha tersebut sudah mengikuti mekanisme resmi, seperti izin dan memiliki kajian.”Pemda membuka ruang bagi siapa pun yang buka usaha. Apalagi usaha yang mensejahterakan seperti Alfamidi ini,” katanya, Senin (20/7).
Masuknya tokoh modern berupa Alfamidi ini, kata Yesaya, ada dua manfaat mendasar, yaitu mengurangi tingkat pengangguran di Halut dan potensi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
“Nanti orang Halut yang bekerja akan disarankan untuk masuk di situ. Kemudian kehadiran Alfamidi ini, selain peningkatan PAD, tentu daerah terus berkembang,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut dia, lahan 6 gerai Alfamidi hanya dikontrak selama 10 tahun dan sesuai informasi yang diterima dari manajemen Alfamidi, bahwa setelah masa kontrak selesai, maka kemungkinan bangunannya diserahkan pada pemilik lahan.
“Untungnya satu lagi itu, kalau Alfamidi tidak lanjut kontrak maka asetnya menjadi milik orang yang punya lahan, jadi apapun yang terjadi Alfamidi tetap masuk beroperasi,” tegasnya.
Sebelumnya, mantan Wakil Ketua Ombudsman Yogyakarta, Saleh Tjan, menilai, kebijakan Pemkab Halut yang membuka ruang bagi toko modern berjenjang (TBM) berupa Alfamidi itu, dipastikan berdampak buruk terhadap pelaku usaha kecil, seperti kios dan warung kelontong di daerah.
Menurut Saleh, pemerintah daerah seharusnya memberikan perlindungan usaha warganya, terutama pelaku usaha kecil. Bukan memberikan perlindungan pada konglomerasi yang bukan warganya.
“Berkaca dari hasil penelitian di beberapa daerah seperti Pontianak, Jambi, Malang, Semarang dan Yogyakarta, ternyata kehadiran TMB telah berdampak besar pada usaha kecil dan tentu akan terjadi di Halut seperti itu,” kata Saleh, Rabu pekan kemarin.
Kehadiran Alfamidi nanti, dinilai Saleh, banyak dampak buruk yang akan terjadi. Seperti berkurangnya konsumen yang berbelanja di kios, warung atau toko kelontong.
“Pendapatan mereka juga berkurang dan pasti sulit berkembang, karena konsumen memandang TMB sebagai tempat yang menarik untuk berbelanja,” katanya.
Dia mengakui bahwa kehadiran TMB berupa Alfamidi ini menguntungkan bagi konsumen, tetapi tidak bagi pedagang kelontong. “Dan keramaian di sekitar TMB berpotensi meningkatnya angka kecelakaan,” tuturnya.
Selain itu, menurut dia, hal penting yang perlu publik Halut ketahui adalah uang belanja di TMB tidak beredar di daerah, melainkan tersedot ke owner atau perusahaan yang berpusat di Jakarta. “Siapa bilang kehadiran TMB menguntungkan daerah, justru mengancam pedagang kecil,” terangnya.
Keberadaan TMB seperti Alfamidi maupun AlfamarT, lanjut dia, tidak memberikan pemasukan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi hanya pemasukan sebatas perizinan semata.
“Begitu pula pajak yang katanya akan masuk ke daerah, itu keliru. Justru pajak yang dikenakan kepada konsumen adalah PPn, dan itu tidak masuk ke daerah melainkan ke pemerintah pusat,” jelasnya.
Saleh menambahkan, kehadiran Alfamidi di Halut harus diperjëlas, karena syarat dan ketentuannya sangat banyak. Bukan hanya sebatas izin.
“Pemberian izin pendirian TMB lokasinya harus sesuai dengan RTRW/RDTRW Kabupaten. Pertanyaa, apakah Halut sudah punya RTRW/RDTRW ?” tuturnya.
Menurut dia, regulasi Pepres Nomor 112 tahun 2007 Permendag 53/M-DAG/12/2008 harus ada turunannya berupa Peraturan Daerah terkait TMB.
“Ini belum lagi terkait Undang-undang (UU) Nomor 23/1997, Undang-undang Nomor 5/1999, Undang – undang Nomor 25/2007, Undang – Undang Nomor 44/1997, dan masih ada peraturan lain yang terkait dengan TMB,” ujarnya. (dit/Kho)