HARIANHALMAHERA.COM–Rencana PT IWIP untuk mengembangkan kawasan Industri di Desa Waleh, Kecamatan Weda Utara, menuai sorotan dari Komisi III DPRD Halteng.
Dewan mengingatkan Pemkab agar tidak terburu-buru memberikan persetujuan atas rencana tersebut sebelum mengetahui lebih jelas master plan dari pengembangan kawasan tersebut.
Anggota Komisi III Nuryadin Ahmad mengatakan, pengembangan kawasan harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sehingga peruntukan ruang maupun kawasan sejalan dengan pengembangan wilayah.
“Sebab, Weda Utara dalam perencanaan wilayah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian. Di sana ada kawasan transmigrasi SP1 dan SP2 Wale yang mengembangkan diri,” katanya.
Olehnya itu, dia mendesak pemda segera meminta penjelasan kepada PT. IWIP terkait tujuan dari rencana pembebasan lahan untuk kepentingan industri di Desa Waleh itu.
Jika tidak disikapi, dia memastikan pengembangan transmigrasi yang diharapkan memproduksi hasil pertanian bisa gagal, dan tidak berkembang. Sebab, Industri Nikel dan Pertanian dua hal yang sangat riskan untuk berkembang bersama dalam satu kawasan.
“Kita sudah punya pengalaman kawasan transmigrasi Kobe yang sudah mati suri karena berdekatan dengan kawasan industri PT. IWIP, dan itu terjadi di depan mata kita semua,” papar Nuryadin.
Nuryadin mempertegas kepada Pemda untuk mengambil sikap tegas. Jangan karena atas nama industri nikel semua kawasan bebas di kapling oleh koporasi. PT. IWIP juga diminta tidak membabi buta melakukan pembebasan lahan, terutama kawasan yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL)
“Kita semua mendukung Investasi tumbuh di daerah. Tapi kita juga tidak bisa melihat investasi dengan kacamata kuda, karena Pulau Gebe menjadi pengalaman empirik bagi masyarakat Halteng,” ujaranya.
Artinya menurut fia, Industri Nikel yang saat ini menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), satu saat bisa habis seiring dengan menipisnya nikel. Namun, kehidupan anak cucu akan tetap berlanjut.
“Saya juga mendesak pemda menghentikan dulu proses pembebasan lahan sebelum pengesahan perda RTRW dan sebelum ada pemaparan master plan dari pihak perusahaan,”kata Nuryadin.
Berkaitan dengan perda RTRW, Nuryadin mengaku ini menjadi tantangan tersendiri di akhir pemerintahan Elang-Rahim. Ia berharap ada sikap tegas dan terbuka terkait status RTRW yang sampai saat ini masih menggantung di Kementrian ATR, sehingga ada keberlanjutan untuk urusan RTRW Halteng.
“Nagi saya RTRW ini adalah satu dokumen yang menjadi dasar perencanaan, dalam pengembangan wilayah. Sehingga, harus ada keseriusan dan kepastian untuk diselesaikan,” jelasnya. (tr1/pur)