HARIANHALMAHERA.COM–Janji penyelesaian tapal batas enam desa oleh Pemkab Halut yang terletak di wilayah Kecamatan Kao Teluk, mulai ditagih. Seperti terpantau pada Senin (9/8), perwakilan enam desa menyambangi kantor Bupati Halut. Mereka ingin perhatian serius pemerintah.
Kehadiran perwakilan enam desa yang didampingi aparat desa dan kecamatan, diterima langsung Sekda EJ Papilaya yang didampingi Kepala Badan Kesbangpol FN Sahetapy, Kepala DPMD Wenas Rompis, Kasatpol PP Halut Mohammad Kecoa, Kabag Hukum Hairudin Dodo, dan staf ahli bupati bidang Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Eli Lenongkene.
Sementara masyarakat perwakilan enam desa didampingi Camat Kao Teluk Yamin Hasan dan Kades Akelamo Cibo Talabudin M. Djai.
Dalam pertemuan, Aswan Musa selaku salah satu masyarakat perwakilan dari Desa Bobaneigo, mengaku pertemuan seharusnya di hadiri pimpinan daerah sehingga mereka dapat menyampaikan keluhan. Karena masyarakat butuh sikap terkait persoalan tapal batas berdasarkan Permendagri nomor 60 tahun 2019.
“Harusnya pertemuan ini dihadiri langsung bupati. Karena persoalan ini sudah terjadi sejak 17 tahun dan tidak kunjung selesai. Pasca gugatan sengketa bupati dan wabup Halut oleh MK, Pemkab Halbar memperlebar ekspansi patok dan membuat keresahan. Kami hanya minta Pemkab Halut memperjelas sikap konkrit dalam pengambilan keputusan, sehingga masyarakat di enam desa merasa puas terkait tapal batas,” tegasnya.
Sekretaris Forum Enam Desa, Muammar Ternate, meminta Pemkab Halut segera turun langsung ke lapangan dan mengambil keputusan dengan baik dan bijak. “Kami harapkan kepada pemerintah daerah agar turun langsung ke wilayah enam desa, agar dapat menentukan koordinat yang konkrit. Karena sekarang ini Pemkab Halbar sudah memasang titik koordinat mereka dan Pemkab Halut hanya diam,” harapnya.
“Kami hanya memberikan waktu sampai Desember. Jika Pemkab Halut tidak menanggapi persoalan tapal batas, maka kami tidak segan-segan akan memboikot jalan trans Halmahera,” tegasnya.
Sementara, Kepala Desa Akelamo Cibo, Talabudin M Djai,menilai PP Nomor 60 belum ada penjelasan, yang mana Desa Bobaneigo dan Akelamo berada pada perbatasan sudah perlu adanya tidakan pemerintah memutuskan, agar masalah ini cepat selesai. “Menyangkut desa persiapan, yang mana Desa Akelamo Cibo berada pada Desa Akelamo induk. Kalau boleh nomenklatur Desa Akelamo Cibo dikembalikan ke Desa Akelamo induk saja,” ungkapnya.
“Kami selaku pemerintah kecamatan mengharapkan pemkab turun dalam menunjukkan titik koordinat batas wilayah kepada masyarakat setempat, sehingga tidak ada kerikil-kerikil kecil sebagai penghalang, dan pertemuan ini ada kesepakatan terhadap kehidupan masyarakat enam desa,” harap Camat Kao Teluk, Yamin Hasan.
Menanggapi itu, Sekda EJ Palilaya mengatakan, Pemkab Halut mempunyai tujuan yang sama, tetapi pada dasarnya semua ada aturan. Seperti yang terjadi di masyarakat enam desa, bahwa aturan mengatakan hal demikian tetapi dilapangan tidak sesuai, sehingga perlu pertimbangan yang matang dalam bertindak demi kesejahteraan masyarakat.
“Desa Akelamo Kao dan Desa Akelamo Cibo belum dapat diselesaikan, sehingga kejelasan nama harus ditentukan kembali sehingga tidaklah menimbulkan multitafsir. Diharapkan kepada camat bersama kades untuk segera konkritkan untuk kembali kepada yang aslinya,” ucapnya.
Papilaya menyebut, dalam waktu dekat Bupati Halut dapat hadir dan menemui masyarakat enam desa dan membicarakan masalah tersebut dalam tahapan penyelesaian ke depan, sehingga masalah ini cepat selesai dan tidak terjadi konflik.
Kadis PMD Wenas Rompis, menambahkan, tiga bulan lalu pihaknya diundang biro pemerintahan Provinsi Malut terkait tapal batas yang sesuai Permendagri Nomor 60 antara kabupaten Halut dan kabupaten Halbar. “Saat itu kami tidak menandatangi surat keputusan tersebut karena ada kepentingan pihak Pemkab Halbar dalam pembebasan desa dan itu kami tolak,” jelasnya.
Sementara, anggota DPRD Yusril Bailusi, menyebut solusi jangka pendek harus menempuh jalur hukum untuk mereview Permendagri. Persoalan enam desa merupakan persoalan klasik tidak bisa diselesaikan sampai sekarang ini.
“Secara umum saya kira banyak hal, baik aspek sosiologis, aspek hukum, dan aspek kewilayaan. Ketika muncul Permendagri Nomor 60 bukan menjadi solusi, justru memunculkan masalah yang baru, terkait titik koordinat yakni satu rumah dibagi dua dalam dua wilayah ini yang jadi permasalahan. Saya sebagai perwakilan masyarakat Kao Teluk meminta kepada Pemkab lebih serius. Lihat saja pelayanan pemerintah Halut masih kurang dibandingkan dengan Pemkab Halbar,” ucapnya.(cw/fir)