Halut

Kisah Marwiyah, Perempuan Tangguh dari Mamuya

×

Kisah Marwiyah, Perempuan Tangguh dari Mamuya

Sebarkan artikel ini
Marwiyah melepaskan lelah di tempat istirahatnya, usai memecahkan sejumlah bongkahan batu. Foto: Muhrid Kanopa

HARIANHALMAHERA.COM–Keringat berkucuran deras dari wajah Marwiyah, perempuan asal Desa Mamuya, Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara (Malut).

Marwiyah adalah ibu rumah tangga. Kesehariannya dia habiskan untuk memecahkan bebatuan. Pekerjaan yang lebih identik dengan laki-laki itu telah dia lakoni selama 20 tahun.“Ini sudah jadi rutinitas saya,” ucap Marwiyah kepada Harian Halmahera, Senin (5/10).

Tapi siapa sangka jika jerih payahnya itu mampu menyekolahkan empat orang anaknya. Kendati materil padat yang kerap dijadikan sebagai bahan dasar bangunan itu, hanya dihargai tak seberapa.

“Apa boleh buat, mau tidak mau harus kita lakukan. Ini demi masa depan pendidikan anak-anak saya,” ucap perempuan berusia 60 tahun itu.

Marwiyah seakan tahu benar, bahwa nasib dan takdir sejatinya sudah ditetapkan oleh Tuhan. Selebihnya, bagaimana cara manusia merespon kodrat itu. “Jadi saya syukuri saja,” tandasnya.

Bagi dia, takdir yang telah ditetapkan atasnya ini belum seberapa dibandingan yang dialami orang lain. “Seperti di tv itu kan, banyak kita lihat orang di Jakarta sana hidup serba terbatas, di bawa kolong jembatan, minta-minta. Tentu ini menjadi pelajaran berharga buat saya, dan saya bersyukur dari apa yang saya dapatkan,” bebernya.

Bekerja sebagai pemecah batu dibutuhkan kesabaran ekstra. Selain tenaga yang memadai, hasil keuntungan yang diperoleh tak sebanding. “Di sini persak semen (sekarung semen) itu hanya Rp5.000,” ungkapnya.

Dia memaparkan, batu yang dijual terdiri dari dua jenis. Ada yang teksturnya sedikit kasar dan halus. Pada umumnya harganya sama. Namun jika dihitung per-dum truck, untuk yang kasar harganya Rp800 ribu. Sedangkan halus dijual Rp900 ribu.

“Tentu (pekerjaan) ini sangat berat. Tapi kita harus sabar kalau mengininkan anak-anak kita bisa sukses di dunia pendidikan,” tukasnya.

Dari usahanya itu, Marwiah berhasil mengantarkan anak sulungnya menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di salah satu perguruan tinggi. Anak kedua sudah tamat SMU. Sedangkan satunya lagi masih duduk di bangku SMP.

“Jadi Alhamdulillah, dorang (mereka) semua saya kasi sekolah. Walaupun dorang pe mama hanya sebagai pemecah batu, tapi dorang bisa sekolah semua,” tuturnya.

Marwiyah berujar, ketika waktu malam tiba, dirinya selalu merenung tentang nasib anak-anaknya kelak. Dalam waktu-waktu tertentu, dia kerap menasehati keempat anaknya itu.

“Karena saya tidak mau anak saya jadi seperti saya. Dorang harus sekolah. Menempuh pendidikan yang layak. Harapan saya, dorang bisa jadi orang yang berguna,” tutur Marwiyah dengan mata berkaca-kaca.

Marwiah mengaku pekerjaan yang dia lakoni ini, selain untuk kebutuhan pendidikan anaknya, juga menopang suaminya yang bekerja di perbengkelan. “Jadi saya kerja begini supaya suami saya tidak terlalu terbebani juga,” ucapnya.

Lantas apakah ada keinginan berhenti dari pekerjaan berat ini, lantaran dari segi usia pun sudah tak dapat ditolelir. Marwiyah bilang, “saat ini saya pe anak satu masih sekolah. Dia masih SMP. Jadi nantilah. Kalau dia sudah selesai baru saya istrahat.” (tr-5/kho)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *