Oleh: Renals Y. Talaba, S.IP.,M.IP
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Halmahera
FENOMENA menyongsong piala dunia, yang dijadwalkan dibuka pada tangal 20 November 2022 dan dijadwalkan akan segera berakhir pada tanggal 18 Desember. Euforia menyambut piala dunia bisa dikatakan sepertinya akan mengalahkan momentum pemilu serentak 2024 atau setidaknya memiliki keseruan yang mungkin serupa, pada hal secara ekonomi dan politik, dianggap tidak menguntungkan secara pribadi maupun kelompok.
Itu artinya, bahwa harapan rakyat tidak selamanya menuntut sumber-sumber yang bersifat material-jasmaniah dari singgasana kekuasaan, melainkan sebuah kepuasan, sebuah kebahagiaan yang umumnya dikejar oleh manusia, dimana kebutuhan hidup masyarakat dan keluarga dianggap merupakan tanggung jawab pribadi, asalkan negara dapat memfasilitasi. Dengan kata lain, setiap menghadapi kontestasi politik dan sesudahnya, secara pribadi dan kelompok, kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tidak mengalami perubahan berarti, selalu sama.
Secara empiris, bisa dikatakan bahwa kehadiran negara dan pemerintah diperlukan hanya pada saat kondisi ekonomi masyarakat mengalami ketidak stabilan, lebih dari itu rakyat dapat mengurus sendiri kebutuhan ekonomi keluarganya secara mandiri dan fungsi negara dalam hal ini diperlukan hanya sebatas sebagai penjaga malam. Hal ini bertolak belakang dengan gagasan negara modern yang mencita-citakan kesejahteraan, keadilan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengupayakan kemakmuran.
Dapat digambarkan bahwa ajang piala dunia dianalogikan dengan ajang kontestasi pemilu/pilkada. Timnas peserta piala dunia dianalogikan dengan partai politik peserta pemilu/pilkada. Personil timnas dianalogikan dengan jumlah kandidat legislatif (orang) pada daerah pemilihan berwakil banyak dan kontestan pilkada. Kandidat pemenang piala dunia dianalogikan dengan pemenang pemilu legislatif dan pemenang pilkada. Kemenangan calon anggota legislatif dan pemenang pilkada, dapat digambarkan sama seperti langkah penentuan secara kategoris pemenang dalam dunia sepak bola; yakni kategori pemenang pemain terbaik, pencetak gol terbanyak, asis terbanyak, gelandang terbaik, back terbaik, pemain muda terbaik dan lainnya. Konsepsi calon pemenang pemilu/pilkada mengacu pada penggunaan variabel formula pemilihan elemen sistem pemilu. Formula pemilihan artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Sedangkan massa pendukung timnas piala dunia adalah konstituen maupun masyarakat pada umumnya.
Melihat fakta objektif antusias masyarakat yang sedemikian ramai menyambut ajang piala dunia, ada beberapa pengandaian saling silang antara variabel-variabel perilaku pendukung timnas peserta piala dunia yang dapat diamati, kemudian dicangkokan terhadap perilaku politik pemilih. Selanjutnya dari hasil pengamatan perilaku pendukung piala dunia, diadakan penaksiran (assesment) untuk memahami perilaku politik pemilih. Penggunaan model pengamatan ini mengikuti logika pengamatan Seymour Martin Lipset dan Stein Rokkan, yang didasarkan atas pengamatan perilaku pemilih menggunakan model penjelasan makrososiologi mengikuti konsepsi sosiolog Paul L. Lazarafeld dan rekan sekerjanya.
Dengan menggunakan penjelasan mikrososiologi yang berasal dari teori lingkaran sosial yang diformulasikan oleh George Simmel, bahwa setiap manusia terikat di dalam beberapa lingkaran sosial, seperti keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja, lingkaran tempat tinggal, dsb. Cara pikir ini kemudian diterapkan memahami perilaku pendukung pada ajang piala dunia tahun 2022. Dapat kemukakan, pendukung Timnas peserta piala dunia di kabupaten Halmahera Utara hidup dalam konteks tertentu; status ekonominya, suku, daerah, agama, pekerjaan dan usia.
Mengacu pada hasil pengamatan, beberapa ciri perilaku pendukung yang bisa diamati, pertama melalui atribut timnas (realitas simbolik), seperti pengibaran bendera di setiap kampung/desa. Umumnya, bendera-bendera yang terlihat adalah bendera timnas yang diketahui memiliki prestasi yang dihuni oleh pemain bintang, perna menjuarai ajang piala dunia, capaiannya dalam mengikuti babak kualifikasi, bermain di liga top Eropa dengan performa yang sedang gacor dan secara individu ada pemain yang perna meraih penghargaan kategori “pemain terbaik”. Berdasarkan realitas simbolik tersebut (pengamatan atribut bendera), dapat dikemukakan bahwa perilaku memilih pendukung timnas calon pemenang piala dunia tahun 2022 di Kabupaten Halmahera Utara adalah perilaku memilih rasional yakni kelompok pendukung yang memfokuskan perhatian pada isu dan prestasi timnas. Selain itu, skema pembagian grup juga dijadikan rujukan oleh massa pendukung secara rasional memprediksi kemenangan timnas yang didukungnya.
Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hal menentukan pilihan, kognisi individu tidak benar-benar rasional, seperti yang diasumsikan pendekatan ekonomi, melainkan mengikuti pendekatan perilaku teori pengambilan keputusan, dengan asumsi individu sebagai limited information processor, sangat terbatas menerima jumlah informasi. Hal ini senada dengan pendekatan bounded rationaliti, bahwa sebagai mahluk rasional namun kognisi individu masih memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut diantaranya adalah keterbatasan dalam menyimpan jumlah informasi, keterbatasan dalam mengolah informasi dan keterbatasan dalam meneliti kembali informasi yang telah diolah perihal timnas yang dijagokan memenangkan piala dunia.
Namun bukan berarti perilaku individu pendukung timnas dipengaruhi tekanan secara sosial struktural yang bersifat manipulatif dan memaksa seperti paksaan majikan kepada anak buahnya, melainkan adanya cerita sebenarnya yang didapat individu baik dari rekan-rekan, keluarga, orang tua, dsb. Artinya cerita yang didapatkan yang menentukan pilihan keputusan individu tidak dipengaruhi muatan ideologi doktriner.
Berdasarkan percakapan langsung maupun melalui dunia maya (media sosial) dapat diamati pula, bahwa selain rasional, pilihan dukungan masyarakat juga dipengaruhi secara emosional yakni individu/kelompok pendukung yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu seperti rasa iba, kesedihan, kekhawatiran dan kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan dukungannya. Faktor emosional ini biasanya ditentukan oleh faktor personalitas pemain. Misalnya ketampanan, pemain yang menjadi sentral permainan timnas, sepeti Lionel Andre Messi, Ronaldo, Neymar, Mbape, Lewandoski, dsb. Namun, pendukung emosional di sini memiliki argumen kuat atas pilihannya, yakni melihat prestasi individu dalam sebuah timnas maupun di klub.
Satu hal yang menarik dalam gelaran piala dunia tahun 2022, pilihan dukungan individu/kelompok adalah menghindari perilaku pendukung sosial yakni kelompok yang mengasosiasikan kontestan piala dunia dengan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam menentukan pilihan dukungannya. Artinya fanatisme kelompok secara primordial yang menyertakan nilai agama tidak tampak dalam perilaku menentukan pilihan keputusan dukungannnya kepada timnas calon pemenang.
Hal ini bisa disaksikan dari atribut bendera yang terlihat, yang umumnya menggambarkan perilaku pilihannya yakni pada negara-negara yang memiliki prestasi mentereng, seperti Brasil, Argentina, Perancis, Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol, Polandia, dsb. Dan yang terakhir adalah pendukung situasional, yakni kelompok pendukung yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dalam menentukan pilihannya.
Pilihan ini digerakan oleh perubahan dan akan menggeser pilihan dukungannya jika terjadi kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor cedera pemain, kompetisi memasuki fase 16 besar, 8 besar, dan seterusnya. Pada tahap ini, pendukung yang netral, menahan dukungannya dan akan menjatuhkan pilihannya pada timnas tertentu, dengan mengikuti tahapan hasil perkembangan dari proses kontestasi yang dicapai sebuah timnas hingga memasuki fase 16 besar, 8 besar dan semi final.
Melalui gambaran sederhana perilaku pengambilan keputusan memilih dari pendukung timnas pada gelaran piala dunia tahun 2022, dapat dicangkokan ke dalam kehidupan politik dengan membuat penaksiran perilaku memilih pada kontestasi pemilu maupun pilkada.
Dalam menjelaskan fenomena kehidupan politik lokal, penulis meminjam beberapa pendekatan perilaku pemilih. Ada beberapa macam pendekatan yang menjelaskan perilaku pemilih, yakni: pendektan struktural, pendekatan sosiologis atau sosial struktural, pendekatan ekonomi politik tradisional, pendekatan psikologis, pendekatan geografis, pendekatan rasional-choice, pendekatan perilaku teori pengambilan keputusan, the dominant-ideology model, perilaku memilih karena pengaruh kepemimpinan, pendekatan marketing serta swing voters. Namun secara garis besar, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perilaku teori pengambilan keputusan.
Menurut Ramlan Surbakti, perilaku pemilih adalah aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.
Tak bisa dipungkiri, iklim persaingan politik dan orientasi jangka pendek aktor politik di negara berkembang dapat dikatakan mudah sekali terjebak dalam pragmatisme politik. Seringkali orientasi jangka pendek ini membawa para aktor politik ke arah tujuan yang mementingkan untuk berkuasa ketimbang apa saja yang akan dilakukan setelah berkuasa. Hal ini kontradiktif dengan etika politik, moralitas, aturan main, janji politik dan ideologi partai yang senyatanya hanya mengamankan posisi politik mereka.
Tanpa disadari, dengan belajar dari ajang piala dunia, bahwa publik dan masyarakat adalah individu/kelompok rasional dalam menentukan keputusan terhadap pilihan dukungannya kepada timnas calon pemenang. Itu berarti dengan mencangkokan perilaku pendukung timnas ke dalam kehidupan politik bahwa politik yang sesungguhnya adalah keputusan, yakni keputusan yang mendahulukan kepentingan umum. Namun, pada setiap keputusan pasti ada pihak-pihak yang akan dirugikan. Kecenderungan partai politik dan aktor individu selama ini, berjalan dengan ketakutan yang berlebihan mengambil resiko, partai dan aktor individu cenderung menghindari solusi yang dianggap membahayakan posisi dan kekuasaan mereka.
Melalui ajang piala dunia, perlu adanya pembelajaran politik yakni dimunculkannya tuntutan untuk mengubah paradigma, dalam memandang dan memposisikan rakyat sebagai subjek politik, yang menempatkan rakyat sebagai titik tolak bagi pengembangan isu politik dan program kerja partai untuk menciptakan prestasi. Partai politik perlu memiliki ideologi yang jelas, bukan melihat dari sudut pandang yang bersifat subjektif dalam penjabaran program kerja, tanpa memperhitungkan aspirasi masyarakat. Karena itu, memahami kondisi masyarakat merupakan sesuatu yang amat diperlukan.
Orientasi ini menimbulkan konsekwensi, yakni politikus secara terus-menerus perlu melihat dan menganalisa setiap kejadian dan perubahan yang terdapat dalam masyarakat. Setiap aktivitas politik harus melihat pula tanggapan masyarakat terhadap aktivitas tersebut. Dengan cara inilah diyakini akan terjadi perubahan sikap dari party centric menjadi public centric. Artinya, masyarakat selalu berubah, baik itu gaya hidupnya, permasalahan, kesulitan hidup dan sebagainya. Menjadi tugas partai untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Imbalan dari langkah ini sudah pasti rakyat akan memberikan kedewasaan politik, karena belajar dari fenomena piala dunia, rakyat suka dengan kualitas, rakyat suka dengan prestasi individu, yang dengan sendirinya mengahancurkan unsur primordialisme politik dan pragmatisme yang pada akhirnya rakyat memberikan simpati dan dukungan politik secara sukarela.
Melihat relaitas kehidupan politik yang senyatanya, mungkin sedikit agak diragukan, merubah perilaku aktor politik sentral, karena terbiasa dengan kehidupan politik yang selama ini dipraktekannya. Namun belajar dari perilaku pendukung timnas pada piala dunia, kita dapat mengambil beberapa contoh, simpati dan dukungan sukarela; pertama pembelian atribut bendera dan jersi timnas merupakan alternatif individu masyarakat itu sendiri; kedua, pemasangan atribut bendera juga oleh masyarakat sendiri; ketiga, proses penanaman nilai-nilai ideologi kepada orang lain (pengenalan timnas), merupakan penanaman nilai ideologi sebagai pendangan hidup yang membuka wawasan terhadap cita hidup yang mengedepankan prestasi timnas, bukan penanaman ideologi yang bersifat indoktriner dan memaksa. Ini merupakan sinyal baik bagi kehidupan politik, bahwa politik uang sebenarnya bukan cerminan perilaku pemilih.
Adanya perubahan perilaku pemilih disebabkan karena perilaku aktor politik sentral yang tidak konsisten terhadap komitmennya yakni berani membuat janji politik dan realisasi program setelah terpilih, tidak merepresentasikan kebijakan sesuai harapan publik. Dengan begitu, maka setiap kegiatan politik selalu melahirkan sinisme politik dari warga, dengan anggapan politik itu kotor, bengis dan kejam. Itu artinya, politik yang diyakini masyarakat selama ini hanya dilihat dari aspek kepentingan, sementara defenisi politik sangat beragam menurut konsepsinya.
Hal ini kemudian diinternalisasikan menjadi cara pandang dan bagian dari kebiasaan hidup masyarakat yang selalu menganggap politik, yang memposisikan rakyat sebagai entitas sosial dan politik yang sering mengalami korban, namun dengan pembenaran politik yang diciptakan penguasa, seolah-olah penguasa yang menjadi korban politik. Kondisi ini tentu dapat dirubah hanya dengan menampilkan prestasi untuk kepentingan umum, menampilkan hasil kerja melayani untuk rakyat dan memberi kepuasan.
Dengan begitu, diyakini akan mempengaruhi kesadaran politik pemilih; yakni mau merubah pola perilaku pemilih, dari perilaku emosional, perilaku pendukung sosial terentu, perilaku pemilih pragmatis dan situasional menjadi perilaku pemilih rasional.(*)