Oleh: Defrit Luma
Pada pagi yang cerah di pengujung Oktober, ketika embun masih setia menyelimuti dedaunan di hutan Halmahera, suara gergaji mesin seolah menjadi lonceng kematian bagi hutan purba yang telah menjadi saksi bisu ratusan tahun sejarah Maluku Utara. Ibarat serigala yang mengintai di balik semak, ancaman deforestasi di provinsi kaya ini terus merayap, mendesak alam untuk berlutut di bawah kekuasaan modal dan ambisi manusia. Namun, apakah itu sekadar retorika, atau justru awal dari pertempuran besar demi masa depan Maluku Utara?
Di tengah riuh rendah hiruk-pikuk pemilihan kepala daerah Maluku Utara, ada suara yang tak terabaikan, namun terus diabaikan. Itu bukan suara para kandidat, bukan pula riuh rendah kampanye dengan janji-janji manis yang selalu diperdengarkan menjelang pemilihan. Suara itu datang dari hutan yang terluka, dari pohon-pohon yang ditebang secara brutal, dari sungai yang tercemar, dan dari tanah yang direnggut paksa oleh kekuasaan dan uang. Seperti rintihan lemah di tengah gemuruh ambisi manusia, alam Maluku Utara menangis, tapi siapa yang mendengar?
Politik sering kali digambarkan sebagai arena perdebatan gagasan, tetapi mari kita jujur di provinsi ini, politik telah berubah menjadi pertempuran keji, di mana para kandidat dengan mulut manis menyembunyikan tangan yang kotor. Mereka, yang berjanji melindungi hutan, tampaknya lupa bahwa di balik janji-janji mereka terdapat darah hijau yang terus mengalir dari hutan Halmahera. Jika pohon-pohon bisa berbicara, mungkin mereka akan berteriak, “Kami mati untuk kepentingan siapa?”
Dalam dunia politik, sering kali janji-janji yang disampaikan tidak lebih dari setetes hujan di musim kemarau singkat, menyegarkan, tetapi segera menguap tanpa jejak. Namun di Maluku Utara, janji untuk menjaga lingkungan hidup kini memiliki bobot yang jauh lebih besar. Dengan luas hutan yang semakin menyusut dan habitat yang kian terancam, isu lingkungan tidak lagi menjadi sekadar ‘tema tambahan’ dalam kampanye politik. Ini adalah jantung dari perdebatan, medan perang bagi masa depan yang lebih hijau, atau sebaliknya, lebih kelam.
Menyusuri kampanye politik yang sedang berlangsung di provinsi ini, janji keberlanjutan sering kali diungkapkan seperti daun-daun yang terjatuh di sungai, hanyut dan lenyap seiring waktu. Namun, seperti pohon sagu yang kokoh berakar dalam tanah, beberapa calon pemimpin tampak lebih berani mengakar pada visi keberlanjutan jangka panjang. Pertanyaan penting yang harus kita tanyakan adalah: Siapa yang benar-benar memiliki niat tulus untuk menghentikan rantai deforestasi, dan siapa yang hanya berbicara dengan lidah bercabang?
Politik lokal di Maluku Utara sering kali dianalogikan seperti pertarungan gajah di tengah hutan belantara. Di satu sisi, kita memiliki kepentingan-kepentingan besar perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit yang merambah hutan seperti api yang menyambar rumput kering. Di sisi lain, ada masyarakat adat, bak semut kecil yang gigih mempertahankan hutan leluhur mereka. Sayangnya, semut-semut ini sering kali kalah dalam pertarungan. Hak mereka, tanah mereka, dan suara mereka kerap kali tertutupi oleh gemuruh mesin-mesin berat dan gemerincing uang.
Namun, apa yang sering dilupakan dalam gemuruh politik dan ekonomi ini adalah bahwa hutan Maluku Utara bukan sekadar tumpukan kayu atau lahan potensial bagi investasi. Hutan ini adalah napas bagi ribuan spesies endemik, sumber kehidupan bagi masyarakat adat, dan penyimpan karbon yang vital dalam melawan perubahan iklim. Hutan adalah jantung yang berdetak bagi ekosistem yang lebih luas, dan ketika satu bagian hutan lenyap, dampaknya terasa jauh melampaui batas-batas provinsi ini. Ketika ruang sidang menjadi arena utama pertarungan ide dan gagasan, mari kita tanyakan: Apakah kita bersedia menukar paru-paru dunia ini dengan keuntungan sesaat? Apakah janji keberlanjutan yang disuarakan para kandidat hanya sekadar topeng yang dikenakan untuk memikat hati para pemilih yang peduli lingkungan?
Pemilihan kepala daerah yang sedang berlangsung di Maluku Utara adalah momen penting. Ibarat pohon yang tumbuh di persimpangan jalan, provinsi ini berada di persimpangan antara masa depan yang berkelanjutan atau kehancuran lingkungan yang tak terelakkan. Keputusan yang diambil dalam bilik suara hari ini akan menentukan apakah anak cucu kita masih dapat berjalan di bawah rindangnya pohon Halmahera, atau hanya melihatnya sebagai cerita nostalgia dalam buku-buku sejarah. Banyak pihak yang berharap agar calon pemimpin kali ini tidak hanya memberikan janji kosong, tetapi benar-benar bertindak sebagai pelindung alam. Mereka harus mampu menghadapi tekanan dari para pemain besar, menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pemimpin yang terpilih harus menjadi penjaga hutan, bukan hanya sekadar penguasa tanah.
Saat ini, masyarakat Maluku Utara dihadapkan pada pilihan yang lebih besar daripada sekadar memilih siapa yang akan memimpin. Mereka memilih apakah mereka ingin mempertahankan tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, atau membiarkan tanah itu dijual kepada investor asing yang hanya peduli pada angka di neraca keuangan. Seperti kata pepatah lokal, “tanah adalah ibu, hutan adalah napas.” Kehilangan hutan berarti kehilangan identitas, dan pada akhirnya, kehilangan masa depan. Pentingnya menjaga hutan Maluku Utara bukan hanya untuk lingkungan setempat, tapi juga untuk masa depan global. Hutan-hutan ini berperan dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan iklim dunia. Setiap hektar yang hilang, berarti langkah mundur dalam upaya global melawan perubahan iklim.
Kita tidak bisa hanya duduk diam dan berharap semuanya akan berubah dengan sendirinya. Kita perlu menjadi bagian dari solusi. Masyarakat harus lebih vokal, lebih kritis terhadap janji-janji politik, dan lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Kandidat yang benar-benar peduli pada keberlanjutan harus didukung, dan mereka yang hanya menabur janji kosong harus ditolak.
Pada akhirnya, solusi dari masalah ini tidak hanya terletak pada satu pihak saja. Ini adalah tanggung jawab bersama: pemerintah, masyarakat, dan perusahaan. Jika semua pihak bisa bekerja sama, hutan-hutan di Maluku Utara bisa diselamatkan.Apakah kita akan melangkah menuju hutan yang gundul, atau kita akan berlari menuju hutan yang lestari? Maluku Utara, tanah yang kaya akan warisan alam, kini berada di ujung tanduk. Dan saat ini, lebih dari sebelumnya, kita harus memilih dengan bijak.(**)