Oleh: Brahmana Askandar
Ketua IDI Surabaya, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
SEJAK Maret 2020, anak sekolah belajar dari rumah dan menyelesaikan tugas dari rumah dalam rangka memotong rantai penularan Covid-19. Tahun ajaran baru segera tiba, sedangkan angka positif Covid-19 terus menanjak setiap hari. Berdasar hasil survei yang dilakukan, sebagian besar orang tua masih takut melepas putra-putrinya kembali ke sekolah saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa para orang tua masih khawatir sekolah mempunyai risiko penularan Covid-19.
Data nasional pada 30 Mei 2020 memperlihatkan, angka positif Covid-19 sebanyak 25.216 orang. Dari jumlah tersebut, 2,3 persen berusia 0-5 tahun dan 5,6 persen berusia 6-17 tahun atau terdapat 1.412 anak usia sekolah 6-17 tahun yang positif. Belum termasuk anak yang tergolong ODP atau PDP. Kalo cakupan tes lebih luas lagi, angka itu bisa jadi lebih tinggi. Anak sekolah merupakan generasi penerus, perlu kehati-hatian dalam memutuskan siswa kembali ke sekolah.
Dalam aktivitas sekolah, memang bisa terjadi banyak kontak. Kontak antara sesama murid, murid dengan guru, sesama guru, murid dengan pegawai sekolah, guru dengan pegawai sekolah, murid dengan penjual makanan di kantin sekolah. Belum lagi kontak murid dalam perjalanan ke sekolah. Bisa kontak dengan sesama penumpang di kendaraan umum, bisa kontak dengan pengemudi kendaraan umum, dan masih banyak lagi kemungkinan kontak. Tidak cukup hanya memikirkan jaga jarak di antara sesama teman saat berada di sekolah atau kelas.
Saat kembali ke sekolah di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, diperlukan protokol kesehatan khusus dan sering disebut dengan new normal, mulai menjaga jarak, memakai masker, cuci tangan, hingga menjaga kebersihan. Apakah siswa dapat menerapkan protokol kesehatan tersebut dengan baik? Semakin muda usia siswa, penerapan protokol tersebut akan semakin sulit, memerlukan supervisi ketat. Protokol kesehatan yang diterapkan pada sekolah tidak bisa hanya meliputi jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan, tapi memerlukan perubahan budaya menyeluruh di semua sektor yang berkaitan dengan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Beberapa upaya sekolah dalam menyambut new normal harus dilakukan dari sisi kesehatan. Tempat cuci tangan harus mencukupi untuk semua siswa, menjaga hygiene kamar mandi, disinfeksi rutin dengan frekuensi tertentu alat sekolah, meja belajar, bangku, dan alat-alat fasilitas umum. Menyiapkan kantin sekolah yang higienis, mulai cara memasak, cara menyajikan, hingga pengaturan antrean saat jam makan. Jaga jarak aman 1-2 meter juga harus diterapkan agar virus tidak menular melakui droplet. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi sekolah, mengingat kapasitas lahan yang terbatas dan jumlah murid yang ada. Bagaimana mengatur tempat duduk di kelas, bagaimana mengatur acara olahraga, bagaimana mengatur pelaksanaan upacara. Penerapan protokol kesehatan tidak mudah dilakukan di setiap sekolah. Tiap-tiap sekolah mempunyai kendala, mengingat tidak semua memiliki fasilitas yang memungkinkan untuk mengikuti protokol kesehatan secara penuh.
Dari sisi siswa, diperlukan perubahan budaya dalam menjaga kesehatan. Memakai masker bisa menjadi hal yang tidak nyaman bagi anak-anak usia sekolah. Ketidaknyamanan itu bisa menyebabkan pemakaian masker menjadi tidak benar secara kesehatan. Masker diturunkan sehingga tidak menutup hidung.
Selain itu, berkali-kali memegang masker, kemudian tanpa cuci tangan memegang makanan, hidung, dan mulut. Ketaatan memakai masker dengan benar merupakan tantangan bagi siswa usia sekolah, apalagi siswa sekolah dasar. Siapa yang akan mengawasi siswa telah memakai masker dengan benar di kelas, di halaman sekolah, atau di kantin sekolah. Cara bersin yang benar juga harus dikawal betul pelaksanaannya oleh semua siswa.
Sebab, cara bersin yang sembarangan juga risiko menularkan virus penyebab Covid-19. Lalu, siapa yang bertugas mengawal? Upaya mencegah penularan sangat penting karena data menunjukkan sebagian besar usia muda bila terkena Covid-19 tidak menunjukkan gejala. Dengan demikian, siswa yang tampak sehat pun bisa menularkan ke sekitarnya. Bila seorang siswa tertular di sekolah, siswa tersebut juga bisa membawa virus tersebut ke lingkungan rumah.
Terinfeksi virus SARS-CoV-2 mungkin tidak menimbulkan gejala pada usia muda, tapi menjadi masalah ketika siswa tersebut menularkan ke orang tuanya, kakek-neneknya, dan saudaranya di rumah. Persebaran Covid-19 akan makin luas bila protokol kesehatan di sekolah tidak dipatuhi secara baik.
Persiapan kembali ke sekolah harus dipersiapkan secara matang, bisa dilakukan ketika angka kejadian Covid-19 sudah terkendali atau paling tidak telah melewati puncak. Sampai saat ini, kurva Covid-19 belum menampakkan puncaknya, laporan harian masih naik turun.
Di sisi lain, memutuskan kembali ke sekolah tidak hanya melihat angka absolut orang yang positif di suatu daerah. Sebab, bisa saja di daerah tersebut kasusnya sedikit karena jumlah tes yang dilakukan sedikit. Diperlukan persiapan yang sangat matang dari sisi siswa, orang tua murid, guru, sarana dan prasarana, hingga yang terpenting persiapan budaya baru, budaya hidup sehat.
Pembuat keputusan di pusat dan di daerah perlu menggandeng para pakar kesehatan masyarakat, pakar dari Ikatan Dokter Indonesia, pakar pendidikan, dan tokoh masyarakat untuk duduk bersama, berdiskusi untuk memutuskan waktu ideal kembali ke sekolah di daerah masing-masing. Dengan demikian, pendidikan bisa berjalan baik dan tetap memperhatikan faktor kesehatan. Semoga pandemi Covid-19 membawa budaya baru di sekolah, budaya sehat.(*)
(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/15/06/2020/kembali-ke-sekolah-di-tengah-pandemi/)