Maluku Utara

Mencuat Dugaan Bisnis Tambang Gubernur Malut Dibalik Proyek Jalan Trans Halmahera

×

Mencuat Dugaan Bisnis Tambang Gubernur Malut Dibalik Proyek Jalan Trans Halmahera

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi tambang rakyat

HARIANHALMAHERA.COM– Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) dikabarkan tengah merancang pembangunan jalan Trans Halmahera atau Trans Kie Raha sebagai upaya mempercepat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, langkah ambisius pemprov Malut terindikasi sarat kepentingan politik dan industri tambang.

Parahnya, pembangunan ruas jalan Trans Halmahera yang menghubungkan Sofifi, Tidore Kepulauan (Tikep), Ekor–Subaim, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) dan Kobe, Kabupaten Halmahera Tengan (Halteng) itu digadang-gadang sebagai upaya untuk memperkuat konektivitas antar wilayah itu diduga hanya kepentingan kelancaran akess bisnis tambang Gubernur Malut.

Sebab, jika dilihat lebih dekat, sebagian besar trase jalan Trans Halmahera tersebut justru melintasi kawasan industri dan konsesi tambang nikel berskala besar, terutama di Halteng dan Haltim, yakni jalur Ekor–Kobe–Buli misalnya, yang mana berada sangat dekat dengan lokasi-lokasi tambang dan smelter milik perusahaan nasional dan asing serta juga perushaan milik Gubernur Malut, yaitu PT. Karya Wijaya.

Dugaan bisnis tambang Gubernur Malut di proyek jalan Trans Halmahera itu terungkap sebagaimana berdasarkan data terbaru di MODI (Minerba One Data Indonesia) milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dimana, proyek jalan yang digadang-gadang sebagai simbol konektivitas Malut diduga telah melintasi kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Gubernur Malut sendiri.

Data di laman resmi MODI ESDM sendiri telah menunjukkan bahwa perusahaan yang berafiliasi dengan Gubernur Malut tidak hanya beroperasi di Pulau Gebe, tetapi juga memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah lain Halteng. Hal itu diperkuat dengan terbitnya izin operasi pertambangan baru yang tercantum di situs resmi ESDM.

Dalam dokumen tersebut, tercantum jelas nama Komisaris Gregory Dhana N, Komisaris Utama Fina Rusiyanti dan Direktur Bharat Kumar Jain dan Direktur Utama Josef Humato dengan keterangan bahwa mereka resmi menjabat mulai 19 Juli 2025. Kemudian dokumen tersebut tertera pemegang saham mayoritas atas perusahan itu adalah Gubernur Malut.

Upaya Pemprov Malut untuk kelabui adanya binis tambang di proyek jalan Trans Halmahera itu, telah menciptakan narasi bahwa jalan tersebut adalah pemerataan pembangunan, namun kenyataan manfaat ekonomi terbesar justru mengalir ke sektor tambang.

Sebelumnya, Gubernur Malut, Sherly Tjoanda, mengatakan bahwa pengerjaan jalan akan dimulai dari dua arah, yaitu Pemprov malut akan mulai dari kilometer 9 hingga 15, sementara Kabupaten Halteng akan membangun dari Kobe ke arah Ekor. “Jadi kita akan bertemu di tengah. Selain membuka akses transportasi, proyek ini juga akan menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di sepanjang jalur Trans Halmahera,”katanya.

Meski begitu, Gubernur Sherly menegaskan bahwa pelaksanaan proyek baru akan dimulai setelah persoalan lahan rampung dan diselesaikan dan direncakanakan dialokasikan nggaran antara Rp20 miliar hingga Rp40 miliar melalui APBD Perubahan 2025, yang akan dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Malut.

Menangapi rencana Gubernur Sherly Tjoanda itu, Manager dari advokasi tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Malut, Mubalik Tomagola, mengatakan bahwa Proyek Jalan Trans Halmahera sarat dengan kepentingan politik.

“Bagi kami tak lain dari Sherly sebetulnya telah memperlihatkan watak pembangunan yang eksploitatif dan sarat dengan kepentingan politik, tidak adil, dan cenderung diskriminatif,” ujarnya berdasarkan rilis yang diterima pada Selasa (28/10).

Ambisi politik Gubernur Sherly ini lanjutnya, tentu mengorbankan kepentingan warga. Sebab, pemerintah daerah menjadikan Trans Halmahera sebagai solusi tempatan untuk mempermudah akses sumber-sumber kehidupan mereka. “Bagi kami, proyek seperti ini tidak berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi warga. Karna yang terlihat ini semacam pesanan oligarki tambang, tuturnya.

Alih-alih pembangunan sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat menurutnya, Gubernur Malut diduga hanya menjadikan proyek Trans Halmahera sebagai konten politik dan gimmck belakang, Lebih-lebihnya memperlancar investasinya.

“Mungkin dengan sederhana agar ibu gub paham bahwa pembangunan sejati bukan tentang seberapa panjangnya jalan, tetapi tentang seberapa banyak warga yang sehat, seberapa banyak anak2 yang bisa merasakan sekolah,”tandasnya.

Senada, Astuti Kilwow, akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, bahwa proyek tersebut kerap dipromosikan sebagai langkah strategis untuk memperkuat konektivitas antar wilayah dan menjawab kebutuhan masyarakat, namun pada kenyataannya masih jauh dari cita-cita tersebut.

Ia pun mencontohkan, pada era 1990-an ketika pembangunan jalan lintas pertama di Halmahera dimulai dari wilayah Halbar menuju Halut, namun jalur yang dibuka justru lebih banyak melewati kawasan investasi besar. “Jalan yang dibangun waktu itu hanya melewati jalur-jalur yang ada investasi, seperti perusahaan kayu Barito dan perusahaan tambang emas NHM,”ungkapnya.

Pola seperti ini lanjutnya, tentu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Halmahera sejak dulu lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang masyarakat. Padahal, sambungnya, seharusnya jalan-jalan strategis dibangun untuk menghubungkan kawasan pemukiman dan sentra produksi rakyat, bukan sekadar menunjang aktivitas industri besar.

“Bahkan tahun 2000, sampai sekarang jalan lintas yang bagus ada di Halmahera Utara, dan kita tahu bersama di Halut ada gold mining atau tambang emas yang beroperasi,” ungkapnya.

Astuty Kilwow juga menilai, arah pembangunan infrastruktur di Malut belum beranjak dari pola lama yang berpihak pada kepentingan modal besar.“Dari dulu saya sudah sampaikan bahwa proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, baik darat maupun laut, banyak diproyeksikan untuk kepentingan investasi padat modal,”ujarnya.

Menurutnya, Pemprov Malut saat ini tampak melanjutkan tradisi lama yang diwariskan pemerintah sebelumnya dalam hal membangun infrastruktur dengan orientasi utama pada kepentingan industri, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

“Pproyek Jalan Trans Halmahera sejatinya bukan semata-mata proyek pembangunan untuk rakyat, melainkan bagian dari strategi besar memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera,”pungkasnya.

Astuty menambahkan bahwa pembangunan jalan tersebut menjadi cerminan bagaimana oligarki nikel mulai masuk ke ranah politik demi memastikan kelancaran distribusi dan produksi industri tambang mereka.

“Proyek Jalan Trans Halmahera adalah rencana untuk memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera. Inilah cerminan bagaimana oligarki nikel masuk ke ranah politik untuk memuluskan jalur distribusi dan produksi mereka,”tegas.

Jika pemerintah lebih lanjut dikatakan Astuty, klaim kebijakan mereka benar-benar untuk kepentingan masyarakat, seharusnya bukan hanya membangun jalan, tetapi juga menutup tambang-tambang yang bermasalah dan beroperasi di sekitar lokasi pertanian serta perkebunan masyarakat.

“Tambang itu tidak hanya merusak ekosistem di daratan, tapi laut juga ikut tercemar. Dampaknya sudah dirasakan, seperti di Wasile, dimana lahan sawah warga kini tidak lagi subur untuk ditanami karena area disekitar sawah sudah diberikan izin pertambangan nikel,”tukasnya.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *