HARIANHALMAHERA.COM– Masa jabatan gubernur Maluku Utara KH. Abdul Gani Kasuba dan wakil gubernur M. Al Yasin Ali akan berakhir pada Desember 2024 mendatang. Namun, menjelang akhir pemerintahan AGK-Ya, BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) Perwakilan Malut justeru memberi ‘rapot’ kurang bagus berupa Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap pengelolaan keuangan tahuan anggaran 2022 oleh pemerintah provinsi Malut.
Predikat tersebut diberikan BPK ke Pemprov Malut menyusul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPD) 2022 telah ditemukan sejumlah masalah penggunaan anggaran, terutama belanja barang yang tidak dapat dibuktikan secara fisik.
Auditor Utama BPK RI wilayah VI, Laode Nursiadi, dalam sambutan penyerahan LHP LKPD tahun 2022 ke Pemprov Malutm jumat (9/6) kemarin telah beberakan sejumlah temuan-temuan yang tidak dapat ditelisuri dan dijelaskan sumbernya.
“Sesuai LHP pada pemeriksaan LKPD 2022, terdapat sejumlah masalah yang belum dapat diselesaikan, sehingga BPK memberikan penilaian opini wajar dengan pengecualian (WDP),”katanya.
Beberapa temuan BPK lanjutnya, yang tidak dapat dibuktikan adalah anggaran belanja barang sebesar Rp17 miliar lebih (17.253.622.287) yang tidak didukung dengan bukti pelaksanaan kegiatan dan pertanggujawaban keuangan yang lengkap dan sah, terutama belanja aset tetap sebesar Rp 224 miliar berupa tanah, bangunan, mesin dan irigasi yanga mana tidak dapat ditelusuri dan dijelaskan dokumen sumbernya.
“Ada juga temuan belanja barang sebesar 186 miliar yang belum dapat dipertanggujawabkan, kemudian kewajiban jangka pendek sebesar Rp131 miliar (131.548.009.790) tidak didukung dengan sumber pengakuan utang dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD),”ujarnya.
“Begitupula belaja perjalaninan dinas, belanja honorarium dan belanjang bantuan langsung pada masyarakat sebesar Rp11,3 miliar yang belum didukung dengan alat bukti yang sah,”sambungnya.
Laode menambahkan bahwa selain temuan belanja barang juga ada utang daerah yang tidak didukung dengan pengakuan utang dari OPD dengan nilai sebesar Rp59 miliar terdiri dari bantuan langsung dan belanja percepatan penanganan covid 19 yang tidak didukung dengan bukti pelaksana kegiatan.
“Atas permasalahan yang ditemukan, BPK merekomendasikan kepada gubernur agar memerintahkan kepada pimpinan OPD dan bendahara untuk melakukan pengembalian temuan, melakukan penelusuran aset tanah dan bangunan serta meminta OPD segera membuat pengakuan utang yang saat ini belum dibayar,”tandasnya.(Ifa)