HARIANHALMAHERA.COM–Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menegaskan, pengusutan laporan dugaan tindak pidana korupsi kepala daerah dan calon kepala daerah tetap berlangsung, meski sejumlah daerah tahapan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sedang berlangsung.
“Hukum dan politik adalah dua rel yang berbeda. Politik Pilkada sedang berlangsung, tapi bukan berarti proses penegakan hukum tak berjalan. Jangan anggap hukum berhenti di saat pilkada. Penegakan hukum tidak akan terganggu oleh pelaksanaan pilkada,” tegas Firli, saat memberikan Pembekalan Calon Kepala Daerah (Cakada) Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Timur (Kaltim), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di Hotel Radisson, Batam, Selasa, (10/11).
Ia hanya menyebutkan, data KPK per Oktober 2020 tidak kurang dari 143 kepala daerah, terdiri atas 21 gubernur dan 122 bupati/walikota yang telah didakwa oleh KPK.
Firli juga memastikan, tidak akan mandek melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi kepala daerah, walaupun pilkada tengah berproses. Apalagi pelaksanaan pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah.
Firli berharap jangan sampai ketika cakada sudah terpilih sebagai pemimpin daerah, beberapa waktu kemudian menjadi tersangka kasus korupsi. Karena itu, lanjutnya, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan. Salah satunya, sebut Firli, benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada.
“Survei KPK di tahun 2018 memperlihatkan adanya 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada,” ungkapnya.
Hadirnya donatur disebabkan kebutuhan biaya pilkada lebih besar. Sementara kemampuan harta cakada untuk mencukupi pembiayaan pilkada terbatas. Sehingga muncullah donatur-donatur membantu.
Sumbangan donatur, lanjut Firli, berkonsekuensi kepada pretensi para sponsor tersebut untuk mendapatkan kemudahan perizinan menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
“Hasil telaah KPK di 2018 itu juga menemukan bahwa sebagian besar cakada, atau 83,80 persen dari 198 responden, mengutarakan mereka akan memenuhi ambisi para donatur tersebut ketika dia menjabat,” ujar Firli.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 Miliar. Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK itu, disebutkan bahwa untuk bisa mengikuti tahapan pilkada, pasangan calon di tingkat kabupaten/kota harus memegang uang antara Rp 5-10 miliar. Bila ingin menang, idealnya musti menggenggam dana sekitar Rp 65 miliar.
Responden, dari survei KPK itu, mengatakan dana terbesar yang dikeluarkan adalah biaya untuk sosialisasi atau pertemuan (60,1%), biaya operasional meliputi logistik, transportasi, konsumsi, atribut, baliho, dan lain-lain (42,4%), biaya saksi (28,3%), dan dana kampanye (24,2%). (jpc/pur)