Ardi M. Tomagola
Sebelum melangkah ke substansi kinerja Polri, saya mengajak kita semua untuk merenungi sebuah cerita insirasi yang mengisahkan soal kehidupan yang sulit dijalani ‘Sepangan Keluarga Suami Istri dan Seekor Unta Kurus’. Kisah ini sedianya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk dapat berbenah diri agar lebih bermanfaat atau tidak menyusahkan orang lain, setidaknya tak mudah menghakimi orang lain sebelum mengetahui proses dibalik perjalanan hidup.
“Di Timur Tengah, ada sepangan suami istri yang hidupnya begitu susah. Tak ada harga benda lain selain tinggal digubuk dan memiliki seekor ternak unta yang kurus. Makan minum mereka sehari-hari tak cukup, terkadang mereka harus menahan lapar sehari-semalam. Susahnya kehidupan mereka, hewan peliharaan pun kekurangan gizi. Namun, kehadiran hewan unta sangat membantu aktivitas mereka untuk pertahankan hidup.
Suatu hari, mereka hendak ke pasar untuk berniat menjual unta lantaran desakan kebutuhan ekonomi. Dalam perjalanan memegang tali unta, ada sekolompok orang melihat, bukannya menanyakan untuk apa unta itu melainkan menyidir bahwa ‘Punya Unta Tapi Tidak Tumpangi, Aneh’. Sang suami pun akhir meminta istrinya untuk naik unta tersebut, namun dalam perjalan terdengar suara dari sekumpulan pemuda “Lihatlah Sosok Suami yang Takut Istri” sembari tertawa. Mendengar hal itu, sang istri pun turun lalu meminta suaminya naik dengan maksud bergantian, karena istri merasa sudah cukup diatas unta. Sang suami pun tak menolak permintaan istri sehingga naik ke atas punggung unta.
Mereka pun melanjutkan perjalan, namun lag-lagi kawanan perempuan yang tengah duduk di depan rumah melihat kejadian itu lalu mengutarakan bahwa “Suami Macam Apa, Masa Istri Dibiarkan Berjalan Kaki, Sementara Suami Asik Diatas Punggung Unta Seolah Raja dan Pelayan”. Suara kaum perempuan tersebut membuat sang suami pun tertunduk sedih hingg akhirnya turun dari untah. Suami pun berkata pada istrinya bahwa sebaiknya mereka jalan kaki saja sampai ke pasar. Keduanya pun menikmati perjalanan hingga mendekat pasar, namun tak menyangka masih terdengar dari kerumunan bahwa “Punya Unta Tapi Tidak Naik”.
Makna dan kesimpulan singkat dari kisah tersebut adalah kehidupan ini tidak terlepas dari masalah dan dipermasahkan. Artinya sesuatu yang kita lakukan sekalipun baik tetap saja ada ruang-ruang yang dapat dicelahkan orang lain. Sehingga untuk menjadi orang yang baik tentu tak sekedar berbuat kebaikan tetapi dibutuhkan kekuatan kesabaran yang tinggi agar mampu menahan diri dari serangan kritikan, sindiran dan kebencian orang lain.
Mengait kisah tersebut dengan kondisi Polri saat ini, tentu hampir seperjuangan yang mana serangan kritikan dan hujatan dengan berbagai slogan pun silih berganti. Namun, semua tantangan tersebut secara perlahan mulai diatasi dengan reformasi kinera mulai dari berbenah sumber daya manusia (SDM) di tubuh Polri hingga transparansi pelayanan terhadap masyarakat.
Selama ini institusi Polri masih dianggap musuh oleh kelompok tertentu. Itu terjadi, hanya karena klise yang dibangun kelompok ataupun personal yang merasa disakiti oleh oknum anggota. Kita tahu bahwa tugas polisi adalah melindungi, mengayomi dan melayani, akan tetapi amanah tersebut terkadang hilaf diterapkan anggota saat bertugas. Maka dari itu tantangan hidup dalam bekerja ini tak sekedar di balut dengan kualitas diri dan berbuat kebajikan tetapi dibentengi sifat kesabaran dan ketenangan.
Polri sejuah ini terus berusaha mendekati masyarakat dengan sajian program-program, dimana sebelumnya masih terkesan terfokus pada penerapan aturan-aturan terhadap masyarakat kini seolah menjadi polisi yang inspiratif, karena anggotanya diturunkan ditengah-tengah masyarakat membantu menyelesaikan setiap masalah. Bahkan menyajikan program-program bertujuan meringankan beban hidup masyarakat, seperti program sembako dan bakti social lainnya.
Tak sampai disitu, Polri di era ini sudah mulai menyisuri ke sejumlah ivent social dan aktif berpartisipasi dalam momentum tersebut, seperti mengikuti kegiatan-kegiatan edukasi, hiburan, social dan keagamaan. Contohnya pada invent stand up komedi di tv nasional, dimana anggota polisi pun ikut menunjukan bakat melucu hingga membuat orang senang hingga tertawa, tentunya hal itu sebagai bentuk menjawab penilaian public bahwa anggota polisi meski tampak bersikap tegas dan raut wajah yang penuh serius ternyata masih bisa membuat orang terhibur.
Bahkan kegiatan keagamaan pun mereka ikut terlibat, tak heran jika saat ini ada istilah polisi agamais. Sebab, ikut partisipasi dalam kegiatan keagamaan termasuk mengundang para ulama-ulama untuk berceramah di dalam institusi Polsi. Bahkan ada anggota terlibat dalam suatu kelompok bernama jamaah tablig, dimana jamaah ini secara sepintas memiliki terobosan yang cukup luar biasa, karena mengajak masyarakat khususnya umat muslim untuk menghidupkan sunah-sunah atau keseharian hidup nabi Muhammad SAW, terutama terus mengingat warga untuk tidak tinggal ibadah terutam sholat 5 waktu dengan cara mendatangi warga baik di rumah maupun sedang duduk diemperan jalan.
Sama hal anggota Polri yang beragama Kristen dan kepercayaan lainnya. Tampak mulai hadir ditengah-tengah masyarakt untuk menyampaikan pesan-pesan kerohanian sekaligus ingatkan soal kamtibmas. Hal ini tentu menunjukan bahwa kehadiran polisi dengan tugas rutinnya melindungi, mengayomi dan melayani telah dikolaborasi sedemikan rupa yang sebelumnya terlihat kaku menjadi humanis.
Hematnya, semua terobosan yang dilakukan Polri dan jajaranya itu suatu wujud reformasi kinerja untuk meningkatkan slogan Polisi. Disisi lain upaya itu merupakan usaha Polri dalam mencapai nilai integritas yang lebih tinggi, tentunya dalam proses menggapai kinerja tersebut tak semudah membalik telapak tangan, karena setiap langkah ada tantangan berat maupun ringan seperti kisah “Sepasang Keluar Suami Istri dan Seekor Unta Kurus”.
Prinsipnya Polri dalam menjalankan tugas sudah cukup maksimal, meski ada tersilap kesalahan, namun hal itu bukan suatu bentuk kebencian melainkan kehilafan sebagai sifat manusiawi. Kinerja Polri perlu diberi support dan masukan agar terus berusaha meningkatkan kinerja. Kalaupun serangan kritikan dari public tentu hal itu merupakan bagian dari control social terhadap kinerja Polri. Tentu Polri harus menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan yang bersifat untuk membangun sekaligus benahi system pelayanan kedepan yang lebih maksimal.
Kesimpulannya Polri harus kembali ke filosofi yang sudah dibentuk, yaitu TRIBRATA dan CATUR PRASETYA. Sebab, kedua motto tersebut merupakan pedoman hidup Polri, namun saat ini seolah terkikis oleh ego dan merasa bahwa institusnya lebih dibutuhkan public untuk membuat pengaduan. Padahal, jika regulasi soal pelayanan dan pengaduan masyarakat soal permasalahan bisa ke instansi lain tentu public akan mengadu dan memita suaka ke institusi lain selain Polri.
Motto Tribrata dan Catur Prasetya adalah prinsip hidup Polri sehingga siapapun yang berseragam Polisi perlu tanamkan prilaku yang diajakan dalam motto tersebut. selain itu, slogan Polri yang diusung Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo, adalah PRESISI yang merupakan penjabaran dari prediktif, responsibilitas dan transpransi berkeadilan.
Terlepas dari motto Polri yang sebenarnya, ternyata ada makna tersirat lain soal tugas Polisi, dimana Polri ibarat rumahnya bangsa, sementara TNI adalah benteng atau pagarnya dari rumah. Artinya Polisi berusaha melayani, melindungi dan mengayom masyarakat di dalam rumah atau bangsa. Sedangkan TNI berusaha melindungi bangsa dan negara dari musuh. Intinya jadikan public sebagai agen control kinerja sekaligus sahabat dan tindaklanjuti kritikan sebagai ajang pembenahan sebagaimana diajakan dalam TRIBRATA dan CATUR PRASETYA.