Oleh: Wahyu Ms Baba
(Law Fighters Community)
Pemilihan gubernur merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak demokrasi bagi masyarakat di daerah. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), termasuk di Provinsi Maluku Utara, netralitas penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi aspek yang sangat krusial. KPU berperan sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu secara jujur, adil, transparan, dan tanpa keberpihakan. Dalam konteks hukum, ada berbagai regulasi yang mengatur netralitas KPU, sehingga penyelenggara dapat menjalankan tugasnya secara objektif demi terciptanya hasil pemilu yang legitimate dan diterima oleh masyarakat.
Terkait netralitas KPU diatur dalam sejumlah regulasi, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi landasan utama yang mengatur penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalamnya aspek netralitas penyelenggara. Dalam Pasal 10 UU Pemilu, disebutkan bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu harus bersikap independen dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, tapi beberapa hari kemarin KPU telah menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu Paslon cagub Maluku Utara. Oleh karena itu, pemerintah daerah provinsi Maluku Utara harus tegas terhadap tindakan KPU kota Ternate yang telah keluar dari koridor-koridor hukum maupun kode etik.
karena dalam Kode Etik itu sendiri, Penyelenggara Pemilu menekankan pentingnya penyelenggara pemilu, termasuk KPU, untuk tidak terlibat dalam konflik kepentingan serta menjunjung tinggi integritas dan keadilan. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini dapat berakibat pada sanksi administratif maupun pidana, termasuk pemberhentian anggota KPU yang terbukti melanggar.
Apalagi Provinsi Maluku Utara, dengan karakteristik geografis dan demografisnya yang unik, menghadapi sejumlah tantangan dalam menjaga netralitas penyelenggara pemilu. Salah satu tantangan utama adalah potensi intervensi dari elite politik lokal yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Pengaruh ini bisa berbentuk tekanan politik, janji-janji keuntungan pribadi bagi penyelenggara, atau bahkan ancaman terhadap keselamatan.
Oleh karena itu, penegakan hukum untuk menjaga netralitas, terdapat berbagai mekanisme pengawasan yang telah dibentuk. Salah satunya adalah peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja KPU dalam menjalankan proses pemilu. Bawaslu dapat memberikan rekomendasi atau melaporkan jika terdapat indikasi pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh anggota KPU.
Disamping itu, masyarakat juga memiliki hak untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran netralitas KPU ke DKPP. DKPP memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada penyelenggara yang terbukti melanggar kode etik. Mekanisme hukum ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemilu.
Keberpihakan KPU di salah satu Paslon cagub Maluku Utara, menimbulkan dampak serius, baik secara hukum maupun politis. Dari segi hukum, anggota KPU yang terbukti berpihak pada salah satu calon dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana. Pelanggaran ini juga berpotensi membatalkan hasil pemilu jika ditemukan bukti bahwa penyelenggara secara aktif berkontribusi dalam kecurangan pemilu. Hal ini dapat memperpanjang proses pemilu dan menimbulkan instabilitas politik di daerah.
Netralitas KPU dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara merupakan aspek hukum yang sangat penting untuk menjaga keabsahan dan kredibilitas proses demokrasi. Melalui regulasi yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat, diharapkan KPU dapat menjalankan fungsinya secara independen tanpa pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan. Meskipun terdapat tantangan, dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan, pemilu yang adil dan jujur di Maluku Utara dapat terwujud, mencerminkan aspirasi masyarakat dan menjaga stabilitas politik di daerah.(**)