Oleh: Maqdir Ismail
Advokat
DALAM dunia modern, hukum itu bukan hanya penting untuk mengatur kehidupan terutama berhubungan dengan hak dan kewajiban. Lebih penting lagi, hukum juga digunakan untuk menyelesaikan segala bentuk perselihan. Penyelesaian perselisihan, dalam praktik terjadi dan dilakukan dengan menggunakan proses hukum formal, melalui pengadilan atau melalui arbitrase. Acapkali juga dilakukan dengan melalui perundingan atau negosiasi.
Aspek penting yang sangat diperlukan dan diperhatikan ialah pembuktian. Gunanya agar secara objektif masalah yang dipersoalkan dapat diuji dengan norma hukum dalam bentuk UU atau dalam bentuk putusan pengadilan. Ada juga penyelesaian masalah hukum yang dilakukan dengan ‘instrumen penyelesaian berdasarkan iktikad baik’, dengan mengandalkan perundingan atau negosiasi.
Inilah ‘iman’ yang dianut penegak hukum dan para pengacara, bukan dengan cara mau menang-menangan atau untuk menunjukkan kuasa. Sehingga perselisihan tidak mengandalkan lembaga peradilan resmi dan dijauhkan dari penggunaan instrumen hukum pidana.
Salah satu pengejawantahan dari ‘instrumen penyelesaian berdasarkan iktikad baik’ adalah penyelesaian BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang terjadi akibat krisis ekonomi 1997/98. Penyelesaiannya dijauhkan dari proses litigasi, baik melalui pengadilan atau arbitrase. Proses peradilan dipilih sebagai last resort, kalau masih ada perselisihan, seperti kurang bayar.
Pemerintah menyediakan tiga instrumen untuk penyelesaian masalah BLBI berdasarkan iktikad baik ini. Pertama, master of settlement acquisition agreement (MSAA) bagi yang punya aset setara dengan kewajiban bank. Kedua, bagi yang asetnya tidak setara dengan kewajiban bank, intrumennya adalah master of refinancing and note issuance agreement (MRNIA). Ketiga, perjanjian pengakuan utang bagi pemegang saham bank yang tidak mampu menyerahkan aset.
Penyelesaian-penyelesaian ini diperlukan untuk mencari keseimbangan dalam menyelesaikan masalah hukum secara konstruktif, dengan menyampingkan hierarki sosial dan menjauhkan diri dari proses formal yang berbelit dan melelahkan. Penyelesaian perselisihan dengan cara ini, tidak hanya memperhitungkan untung rugi, tetapi juga mempertimbangkan kebangkitan ekonomi kemasalahatan orang banyak.
Tidak Boleh Menyimpang
Setelah era reformasi, pemerintah dan DPR bersepakat membentuk KPK dalam upaya meningkatkan penegakan hukum terkait dengan pemberantasan korupsi. KPK bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tetapi sebagai lembaga negara, KPK tidak diberi kewenangan oleh UU untuk menyimpang dan membatalkan satu perjanjian yang telah ditandatangani pemerintah.
Kegiatan KPK, menurut sifat dan wewenangnya, ialah melakukan kegiatan pemerintah dan merupakan bagian dari pemerintah. Tidak ada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat pemerintah dapat dikesampingkan KPK. Sifat independen sering dimaknai sebagai lex specialis. Namun UU mengakui hal-hal yang bersifat generalis dan tidak dikesampingkan, semisal KUHAP dan UU Kepegawaian. Oleh karena itu, KPK tetap merupakan satu kesatuan dengan penegak hukum yang lain dan merupakan bagian dari pemerintah atau lembaga eksekutif.
Anomali Kasus
Menjelang berakhirnya masa tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2004, terhadap pemegang saham yang dianggap telah melaksanakan kewajibannya diberikan kepastian hukum. Begitulah perintah Presiden sesuai dengan Inpres Nomor 8 Tahun 2002.
Khusus terhadap Sjamsul Nursalim yang dianggap telah menyelesaikan kewajibannya, Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, menerbitkan Surat BPPN No SKL-22/PKPS-BPPN/0404 tanggal 26 April 2004 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim (Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham). Akan tetapi, inilah yang menjadi awal masalah berat yang harus dihadapi Syafruddin dan Sjamsul.
Utang petambak yang selama ini dianggap melekat dan menjadi satu kesatuan penyelesaiannya dengan MSAA BDNI, ketika diberikan keterangan lunas oleh BPPN, pimpinan BPPN dianggap telah merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, yaitu Sjamsul Nursalim.
Syafruddin didakwa melakukan perbuatan pidana dan diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petambak yang dijamin PT DCD dan PT WM. Dalam melakukan perbuatan pidana tersebut, Syafruddin didakwa secara bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim.
Ada satu keadaan yang tidak lazim dari perkembangan perkara Syafruddin. Dalam Laporan BPK (2017) sesuai permintaan KPK, ada empat nama yang diduga terkait penyimpangan dalam pemberian keterangan lunas. Mereka itu, SAT, SN, DKJ, dan LS. Nama yang terakhir ialah Menteri Negara BUMN ketika itu, yang diduga menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian PS dan BPPN berdasarkan Surat Nomor S-150/MBU/2004 tanggal 24 Maret 2004. Namun dalam surat dakwaan SAT, nama LS tidak muncul sebagai kawan peserta.
Hilangnya nama LS dan masuknya nama ISN, orang yang diduga sebagai kawan peserta dalam perkara pidana terkait SKL, ialah bentuk anomali yang dilakukan KPK. Bisa jadi KPK beranggapan ISN ikut diuntungkan, karena suaminya diduga diuntungkan dalam proses penyelesaian administratif MSAA.
Ini sungguh satu tafsir yang keliru dan tidak masuk di akal. Inilah simplifikasi hukum acara pidana yang menyesatkan. Yang pasti pemeriksaan investigatif yang dilakukan BPK, hanya bersumber dari KPK, tidak ada konfirmasi kepada pihak terkait, termasuk SN.
Ditetapkannya putusan PN Jakarta Pusat yang menghukum Syafruddin-hukuman penjara 13 tahun dan denda Rp700 juta-menimbulkan pertanyaan mendasar. Mengapa KPK sebagai lembaga pemerintah melepaskan diri dari perjanjian yang sah dan mengikat? Mengapa pemerintah harus mengingkari janjinya sendiri, seperti halnya dituangkan dalam MSAA 1999?
Utang Petambak
Salah satu tagihan Bank BDNI yang diserahkan kepada BPPN adalah utang petambak. Ada satu Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor: KEP.20/M.Ekuin/04/2000, tanggal 27 April 2000, yang ditanda tangani Ketua KKSK Kwik Kian Gie, bahwa penyelesaian kredit petambak dilakukan dengan menentukan sustainable debt maksimal Rp135 juta/petambak plasma. Jumlahnya Rp1.340.514.245.164,00 dari total utang petambak sebesar Rp4.896.138.339.156,00. Sehingga, unsustainable debt sebesar Rp3.555.624.093.992,00 dialihkan dan ditagihkan kepada pemilik dan atau pemegang saham DCD dan MW.
Keputusan ini dibatalkan Keputusan KKSK Nomor: KEP.02/K.KKSK/03/2001, tanggal 29 Maret 2001, yang ditanda tangani Ketua KKSK Rizal Ramli. Dinyatakan antara lain:
- Pemberian penghapusan bunga plasma Rp1,1 triliun dan menetapkan jumlah porsi utang sustainable petambak plasma yang sebelumnya maksimal sebesar Rp135 juta per petambak, menjadi maksimal sebesar Rp100 juta dan memberikan izin kepada BPPN untuk melakukan penghapusan atas selisih jumlah utang; b. penyelesaian utang DCD pada level perusahaan inti sebasar Rp1,9 triliun dengan menggunakan nilai tukar US$1=Rp7.000 (tidak dialihkan ke pemegang saham sebagaimana yang telah diputuskan KKSK sebelumnya).
Berdasarkan keputusan KKSK, utang petambak bukan merupakan kewajiban Sjamsul Nursalim untuk membayarnya. Keliru kalau ada yang menyatakan masih ada kewajiban Sjamsul terkait utang petambak kepada negara sebesar Rp4,58 triliun. Sebab, berdasarkan keputusan KKSK bukan sebesar Rp4,8 triliun, tetapi sebesar Rp1,1 triliun. Hak tagihnya pun sudah dihapuskan.
Budaya Penegakan Hukum
Membudayakan dan menghormati penegakan hukum itu, bukan hanya menuntut orang yang dianggap melakukan kejahatan atau perbuatan wanprestasi. Tidak kalah penting ialah menghormati keputusan, perjanjian, dan kebijakan pemerintah sebelumnya. Apalagi, kalau peralihan kekuasaan pemerintah terjadi secara demokratis dan terjadi secara normal. Kalau pun terjadi peralihan pemerintah melalui kudeta, pemerintahan baru tetap harus menghormati keputusan, perjanjian dan kebijakan yang telah diambil pemerintah sebelumnya.
Sudah saatnya bangsa ini membangun peradaban dengan menghormati hukum dan menegakkan hukum secara berkeadilan. Hanya bangsa yang beradab yang akan menegakkan hukum secara adil. Ketika kita tidak ingin menegakkan hukum secara adil, pada hakikatnya kita sedang memproklamasikan bahwa kita bukan bangsa yang beradab.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/252084-bangun-peradaban-melalui-penegakan-hukum