Oleh: Defrit Luma
Dalam suasana menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara, pertanyaan tentang hubungan antara dogma pemulihan dan reformasi sosial menjadi relevan untuk dibahas. Maluku Utara, sebuah provinsi yang kaya akan keragaman etnis, budaya, dan agama, menghadapi tantangan politik yang tidak hanya menyangkut isu kesejahteraan dan pembangunan ekonomi, tetapi juga masalah keadilan sosial, integritas, dan moralitas kepemimpinan. Di sinilah doktrin, khususnya konsep pemulihan, dapat menawarkan wawasan penting mengenai bagaimana politik bisa menjadi alat untuk membawa perubahan positif, sejalan dengan nilai-nilai ilahi.
Konsep yang menggambarkan bagaimana Tuhan, melalui Sang Ilahi, membebaskan manusia dari dosa dan memulihkan hubungan mereka dengan Allah adalah konsep dari dogma pemulihan. Pemulihan bukan hanya bersifat spiritual, tetapi juga berdimensi sosial dan politis. Doktrin Pemulihan menekankan bahwa manusia dipanggil untuk bekerja sama dengan Allah dalam membawa keadilan, damai, dan pemulihan di bumi ini. Pemahaman ini memberikan dasar bagi keterlibatan orang-orang yang mangatakan beriman terlibat dalam proses politik, termasuk dalam konteks pemilihan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara.
Politik, dalam pengertian ini, dapat dilihat sebagai salah satu sarana untuk membawa “Pemulihan” dalam bentuk reformasi sosial. Ini berarti bahwa pemimpin yang dipilih tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi administratif atau politik, tetapi juga untuk menunjukkan karakter moral yang mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan, cinta kasih, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam konteks Maluku Utara, di mana perbedaan etnis dan agama sering kali menjadi tantangan tersendiri, dogma pemulihan dapat menjadi pemandu bagi para calon pemimpin untuk membangun masyarakat yang inklusif dan adil bagi semua lapisan masyarakat.
Menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, masyarakat Maluku Utara menghadapi berbagai tantangan politik. Isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, akses yang tidak merata terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta korupsi di tingkat pemerintahan menjadi masalah yang menuntut perhatian serius. Dalam suasana seperti ini, pertanyaan yang harus diajukan adalah: dapatkah politik benar-benar menjadi alat ilahi untuk membawa pembaruan sosial?
Dogma pemulihan memberi harapan bahwa perubahan politik bukan sekadar soal mengganti pemimpin atau partai politik, tetapi tentang bagaimana kebijakan publik dan pemerintahan dapat membawa dampak positif bagi masyarakat luas, terutama mereka yang tertindas atau termarjinalkan. Namun, realitas politik sering kali menghadirkan tantangan tersendiri. Di satu sisi, politik bisa menjadi alat yang dipenuhi oleh ambisi kekuasaan dan kepentingan pribadi. Di sisi lain, politik juga memiliki potensi untuk menjadi wahana bagi pemimpin yang memiliki visi moral dan keberanian untuk melakukan reformasi sosial.
Di Maluku Utara, proses pemilihan sering kali diwarnai oleh politik identitas, di mana agama dan etnisitas digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan. Doktrin pemulihan, dengan fokusnya pada pembebasan dan renovasi, menawarkan pandangan yang lebih komprehensif tentang politik. Politik yang berlandaskan dogma pemulihan akan menolak politik identitas yang memecah-belah, dan sebaliknya, mempromosikan politik inklusif yang memprioritaskan kesejahteraan bersama. Calon gubernur dan wakil gubernur yang memahami doktrin ini akan berusaha untuk menyatukan, bukan memisahkan, masyarakat Malut yang beragam.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan ini adalah profil calon pemimpin. Dogma pemulihan menuntut adanya pemimpin yang memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat dan komitmen untuk membangun tatanan sosial yang lebih adil. Pemimpin seperti ini harus memiliki visi reformasi sosial yang tidak hanya bersifat ekonomi atau material, tetapi juga menyentuh aspek-aspek moral dan spiritual masyarakat juga tentang kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam konteks Maluku Utara, reformasi sosial bisa berarti penguatan akses pendidikan di daerah-daerah terpencil, peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, serta perbaikan infrastruktur yang mendukung kesejahteraan ekonomi. Namun, lebih dari itu, reformasi sosial juga mencakup upaya untuk membangun integritas moral dalam pemerintahan, memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme serta memastikan bahwa semua warga Maluku Utara, terlepas dari latar belakang agama atau etnis mereka, diperlakukan secara adil.
Politik sebagai alat Ilahi berarti bahwa para pemimpin tidak hanya menjalankan kebijakan publik yang bersifat teknis, tetapi juga terlibat dalam proses pemulihan sosial. Ini berarti mereka harus mampu mengangkat martabat manusia, melindungi hak-hak asasi, dan mempromosikan keadilan sosial. Pemimpin yang berjiwa ilahi adalah mereka yang mampu melihat melampaui kepentingan jangka pendek dan populisme, dan sebaliknya, berkomitmen pada visi jangka panjang yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan perdamaian.
Integrasi dogma pemulihan ke dalam politik bukanlah hal yang mudah, terutama dalam konteks yang dipenuhi oleh pragmatisme dan permainan kekuasaan. Namun, itu bukan berarti tidak mungkin. Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara, ada peluang untuk mendorong wacana politik yang lebih mendalam, di mana nilai-nilai iman dan dogma tidak hanya menjadi hiasan, tetapi benar-benar menjadi pemandu dalam proses pembuatan kebijakan.
Untuk itu, pemilih harus lebih kritis dalam mengevaluasi calon pemimpin, bukan hanya berdasarkan janji kampanye atau popularitas, tetapi juga berdasarkan karakter moral dan visi mereka tentang keadilan sosial. Pemimpin yang mampu mengartikulasikan dan mewujudkan visi pemulihan dalam konteks politik akan menjadi agen perubahan yang sejati, membawa Maluku Utara menuju masa depan emas yang lebih cerah dan adil. Dengan demikian, dogma pemulihan dan reformasi sosial dapat berjalan seiring dalam dunia politik. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara dapat menjadi momentum untuk menghasilkan kantong pemimpin yang berkualitas dan berjiwa pemerataan sosial secara keseluruhan. (***)