ISMIT ALKATIRI, Ternate
KONDISI yang selalu dikhawatirkan orang medis pada setiap momen Ramadan adalah keterbatasan stok darah di rumah sakit. Hal itu dikarenakan rendahnya minat relawan pendonor karena alasan klasik. Berpuasa membutuhkan kesiapan fisik yang prima. Jangankan donor darah, aktifitas yang berat pun dikurangi agar lebih savety menjalani ibadah puasa.
Kenyataannya, rata-rata kebutuhan darah di Kota Ternate mencapai sekitar 500 kantong per bulan. Pada saat Ramadan justru naik jadi 600 kantong. Di sisi lain, relawan yang melakukan donor darah turun sangat drastis.
Pada kondisi ini, DR. (HC) Abuya Al Habib Abubakar bin Hasan Al Attas Az Zabidi menggerakkan Majelis Ta’lim-nya melaksanakan donor darah secara regular setiap malam selama Ramadan 1444 H. Aksi donor darah itu difasilitasi Majelis Ta’lim Al Habib Abubakar bin Hasan Al Attas Az Zabidi yang terletak di Kampung Tenga, Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah. Tim dokter dan tenaga medis pun dibentuk untuk menangani gerakan kemanusiaan ini.
Sungguh menakjubkan. Penanggung Jawab Kegiatan, dr. Mohammad Al Habsy, M.Kes mengakui, dalam waktu 20 malam saja, terkumpul kurang lebih 400 kantong darah. “Dalam sisa waktu ke depan, kami target bisa sampai 500 kantong,” tutur dr. Mohammad Al Habsy, M.Kes didampingi dua tim medis, yakni dr. Rosita Alkatiri dan dr.M Taha Albaar, SpPD K-GH.
Jika target itu tercapai, aksi ini setidaknya telah memenuhi sekitar 83 persen kebutuhan darah selama sebulan. Fakta ini sekaligus membalikkan asumsi kelangkaan darah di setiap Ramadan karena alasan klasik tersebut.
Bagaimana cerita awal Abuya menjawab persoalan kesehatan yang nyaris tak terjawab selama ini? Dalam perbincangan dengan penulis di akhir Ramadan kemarin, Abuya—sapaan Al Habib Abubakar bin Hasan Al Attas Az Zabidi menyebut gerakan ini diawali oleh keluhan PMI (Palang Merah Indonesia) Maluku Utara tentang emergensi darah di setiap Ramadan. ”Saya menyambut kekhawatiran itu dengan kesiapan melakukan gerakan ini. Kita siapkan semua fasilitas, semua tenaga dan kebutuhan lain yang diperlukan,” tandas Abuya.
Alhamdulillah, gaung bersambut. Di hari pertama, jamaah yang usai shalat tarwih langsung “menyerbu” lokasi donor darah, dari dalam rumah Abuya hingga di area majelis. Malam pertama, 72 kantong darah terkumpul.
Inspirasi gerakan kemanusiaan dari Ternate itu kemudian juga dilaksanakan di Majelis Ta’lim Al Habib Abubakar di lebih dari 10 kota di Indonesia yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Bali. “Dalam dua malam pertama, saya mendapat laporan dari tim pelaksana kegiatan, rata-rata terkumpul di atas 100 kantong darah,” tutur Mufti Besar 4 Kesultanan Jazirah Al Mulk ini.
Ada sejumlah motivasi yang melatari aksi ini. Pertama, dalam konteks spiritual. Tindakan kemanusiaan merupakan kesadaran menjalankan perintah agama. Menurut Abuya, Goerge Jordac, seorang penulis beragama Katolik dalam bukunya tentang kemanusiaan dalam perspektif Islam, mengutip pernyataan Sayidina Ali bin Abi Thalib. “Qal Al Imam Ali: Alnaas sinfani iimma akh lak fi aldiyn, ‘aw nazir lak fi alkhulqi.”
Apa yang dimaksud kalimat yang dikutip Goerge Jordac tersebut? Menurut Abuaya, konsep kemanusiaan yang diajarkan Imam Ali bahwa: ”Sesungguhnya manusia itu ada dua kategori saudaramu dalam seagama atau saudaramu sebagai sesama makhluk”. Karena itu, semua makhluk yang berada dalam kekusahan harus ditolong tanpa memandang latar belakangnya.
Pada konteks intelektual, aksi kemanusiaan melalui donor darah ini didasari pada pertimbangkan medis terhadap orang yang siang berpuasa dan malamnya donor darah. ”Dan, Alhamdulillah bisa dibuktikan. Selain tentunya, dibutuhkan pengaturan manajemen kegiatan yang terukur. Karena itu, dari hasil pelaksanaan kegiatan donor darah yang dicapai di berbagai daerah tersebut, maka kami menyiapkan konsep untuk menjadikan aksi kemanusiaan ini secara reguler sepanjang waktu, sebagai salah satu kegiatan inti oleh majelis. Ini tentu untuk penguatan misi Manajemen Dakwah Islamiah berbasis Kemanusiaan dan Keberagaman,” jelas Abuya.
Sementara dari sisi sosial, gerakan donor darah ini tak lepas dari fakta empiris Sang Abuya ketika kuliah di Mesir. “Pada tahun 1972 Mesir menghadapi krisis darah akibat perang.
”Saya melihat begitu banyak korban yang kehabisan darah. Saat itu muncul inisiatif untuk menggalang anak-anak Indonesia, Malaysia, dan Thailand melakukan donor darah. Saat itu kita sumbang sekitar 1.500 kantong darah,” tandasnya.
Gerakan itu mendapat sambutan pemerintah Mesir setelah diberikan koran setempat. “Rupanya saat itu, Rektor Universitas Al Azhar Mesir, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud membaca berita itu. Saya dipanggil dan diberikan beasiswa hingga selesai studi,” jelas sosok kharismatik dan bersahaja ini.
Dari tiga latar motivasi itu mendorong Abuya menjalankan dakwah berbasis kemanusiaan dan keberagaman. Roll model dakwah yang mengantarkan dirinya memperoleh anugerah sebagai Doktor Honoris Causa dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar jelang Ramadan kemarin. “Tetapi sesungguhnya bukan itu tujuan pribadi saya atau majelis. Tujuan utama kami adalah untuk kemanusiaan,” jelas Habib.
Sejumlah kalangan yang hadir dalam beberapa momen diskusi, antara lain Dr. H. Said Assagaf, SH, MM, Habib Muhammad Albaar, Jogugu Kesultanan Ternate H. Mahmud Zulkiram, S.Ag, M.Si, Kapita Cina H. Abdusalam Tamaela atau Haji Semi, dan beberapa tim medis, mengaminkan bahwa langkah kemanusiaan yang dilakoni itu sebagai titik simpul 3 dimensi kecerdasan Sang Abuya Al Habib Abubakar bin Hasan Al Attas Az Zabidi; yakni Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Sosial.(*)
Tulisan ini telah terbit di Harian Malut Post, Rabu (19/4).