Dr. Mukhtar Adam
(Akademisi)
Hilirisasi kelapa di Halmahera Utara, lahir dari kilektif keresahaan saat harga kepala anjlok, dan kunjungan Presiden Jokowi di Halmahera Barat, menegaskan tak mampu menjamin harga Kopra (2023), sebuah kenyataan pahir yang diderita petani, terdengar diruang public, gagasan membangun Hilirisasi Kelapa pun menjadi Solusi, minimal bagian dari upaya membangun Kawasan Industri Rempah (Kieraha) yang menjadi mempi ditengah kepungan Kawasan Industri Tambang di Tanah Kie Raha.
Kegelisahan kolektif rakyat dan wakil rakyatnya, terdengar di ruang rapat DPRD Halmahera Utara, sebuah jalan komitmen menata ulang pola tani yang berbasis komoditi ke jalan industry, mulai mengisi kursinya DPRD oleh pikiran-pikiran petani kelapa, yang melahirkan perdebatan panjang tentang nasib komoditas yang menjadi urat nadi ekonomi daerah.
Dari sinilah gagasan hilirisasi kelapa menemukan bentuk awalnya. Bukan dari pidato seremonial, melainkan dari suara rakyat di ruang sidang DPRD, yang dipimpin oleh figur-figur seperti Ais Kitong, Fahmi Musa, dan kawan-kawan, yang bersikeras bahwa petani tidak boleh lagi menjadi penonton dalam ekonomi daerahnya sendiri.
Dari Rapat ke Regulasi. Rapat-rapat DPRD waktu itu penuh ketegangan. Ada yang menolak karena dianggap tidak realistis, ada pula yang khawatir hilirisasi akan mematikan pedagang kopra kecil. Namun, mayoritas anggota DPRD memahami satu hal sederhana, harga kopra yang murah tidak akan berubah tanpa perubahan sistem.
Dari perdebatan itulah lahir keberanian untuk menyusun Peraturan Daerah Hilirisasi Kelapa Halmahera Utara, sebuah regulasi yang bahkan belum dimiliki oleh pemerintah pusat. DPRD bersama Bupati Piet Hein Babua mendorong agar industri kelapa lokal berdiri di tanah Halmahera sendiri.
Langkah kebijakan ini tidak hanya melindungi petani dari fluktuasi pasar, tetapi juga menjadi dasar bagi hadirnya pabrik pengolahan kelapa dan VCO di Tobelo. Gagasannya sederhana namun strategis, membangun industri dari kebun rakyat, bukan dari kantong investor besar.
Politik dari Para-Para Kopra. D tengah kerja kolektif rakyat dan DPRD, panggung kehormatan justru diambil oleh mereka yang tidak menanam, tidak pernah merasakan kebun kelapa dan fufu (pemanasan) kopra, tidak hadir dalam rapat-rapat yang melelahkan.
Saat Menteri Pertanian dan Gubernur datang ke Halmahera Utara untuk meresmikan ekspor produk olahan kelapa ke Tiongkok, yang seharusnya menjadi momen simbolik bagi petani dan DPRD, justru berubah menjadi panggung politik pencitraan. Bupati Piet Babua, yang menandatangani Perda dan membuka jalan industry, tidak diberi kesempatan berbicara (Pidato). Sementara pemberitaan media menyorot Gubernur Maluku Utara sebagai “figur kunci hilirisasi kelapa.”
Padahal, semua yang terbangun saat ini seperti, pabrik, regulasi, hingga sistem pembatasan penjualan keluar daerah, lahir dari keringat DPRD dan pemerintah kabupaten. Bukan dari kebijakan provinsi, apalagi pusat.
Belajar dari Tambang. Halmahera Utara sudah punya pengalaman pahit dengan industri besar. Ketika Nusa Halmahera Mineral (NHM) beroperasi, ekonomi memang tumbuh cepat. Tapi saat tambang tutup, pertumbuhan ekonomi Halut jatuh hingga minus, bahkan memengaruhi pendapatan daerah. Itulah yang disebut para ekonom sebagai ilusi pertumbuhan berbasis ekstraksi, ketika kesejahteraan rakyat bergantung pada tambang, bukan pada daya hidup mereka sendiri.
Hilirisasi kelapa lahir sebagai bentuk koreksi atas model ekonomi semu itu, ekonomi yang berputar di atas truk tambang, bukan di atas tanah rakyat. Maka, ketika Menteri Pertanian datang dengan janji bibit kelapa 5 ribu hektare, rakyat menunggu hal yang lebih penting, kawasan industri rakyat. Bukan sekadar bantuan bibit, tetapi kebijakan yang memastikan hasil panen mereka punya nilai tambah di tempat sendiri.
Kritik untuk Menteri dan Gubernur. Kunjungan pejabat seharusnya membawa harapan, bukan sekadar foto untuk unggahan media sosial. Sayangnya, kebiasaan itu belum hilang. Menteri datang, memberi pujian, membagikan bibit, lalu pulang. Sementara petani tetap bergulat dengan biaya pembukaan lahan yang tinggi, jarak kebun yang makin jauh dari pemukiman, dan akses modal yang tertutup.
Gubernur datang dengan sambutan besar, namun tidak membawa satu pun kebijakan konkret tentang Kawasan Industri Kelapa. Padahal, tanpa kawasan industri, hilirisasi hanyalah slogan. Ekonomi rakyat tidak butuh tepuk tangan; ia butuh keberpihakan.
Pujian publik kepada pejabat boleh saja, tetapi keadilan pengakuan juga penting. Sejarah pembangunan daerah harus ditulis dengan jujur. Hilirisasi kelapa di Maluku Utara bukan karya individu yang berdiri di panggung, melainkan hasil perjuangan kolektif petani, DPRD, dan bupati yang memilih bekerja di balik layar. Mereka layak disebut pionir kebangkitan industri rakyat, bukan karena popularitas, tapi karena keberanian. Mereka membangun sistem dari bawah ketika negara sibuk melayani industri besar di atas.
Halmahera Utara yang menunjukkan arah baru pembangunan berbasis rakyat. Dari para-para kelapa, rakyat membangun gagasan hilirisasi yang menyatukan ekonomi, budaya, dan kemandirian. Karena itu, kepada para pejabat pusat dan provinsi: jika datang ke Halmahera Utara, datanglah dengan hati, bukan dengan kamera.
Jangan lagi menjadikan kerja rakyat sebagai panggung. Datanglah membawa solusi, bukan sambutan.
Sebab, rakyat sudah terlalu sering ditonton ketika mereka bekerja, dan terlalu jarang didengar ketika mereka berbicara. Hilirisasi kelapa bukan tentang ekspor. Ia tentang keadilan, agar nilai tambah rakyat tidak diambil oleh mereka yang hanya datang saat lampu kamera menyala.(**)













