Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
NEGERI ini tengah meratapi maraknya pemberian diskon hukuman bagi para koruptor oleh lembaga yang menjadi benteng hukum. Editorial Media Indonesia pada Kamis (05/12), terang mendaraskan bahwa lembaga yang dikenal kejam memberikan hukuman malah menjadi aktor pemberi diskon hukuman.
Untuk menyebut beberapa, Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman Idrus Marham dari 6 tahun menjadi 2 tahun, Syarifudin Arsyad Tumenggung (mantan Kepala BPPN) dihukum 15 tahun, tetapi divonis bebas. Irman Gusman (mantan Ketua DPD) dihukum 4,5 tahun dan dipotong menjadi 3 tahun, M. Sanusi (mantan anggota DPRD DKI Jakarta) dari 10 tahun menjadi 7 tahun, serta Patrialis Akbar (mantan hakim MK) dihukum 8 tahun, tetapi dikurangi 1 tahun menjadi 7 tahun.
Fenomena diskon hukuman terjadi di tengah meningkatnya kasus korupsi dan besarnya harapan masyarakat akan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena ini?
Hemat saya, realitas diskon hukuman para narapidana korupsi hanya dapat dijelaskan sejauh memahami hukum diskon. Disebutkan, keberadaan hukum diskon tentu disebabkan karena pertimbangan tertentu. Di sana, kalkulasi keuntungan ekonomi kuat dipakai. Jika hukum seperti itu terjadi di dunia hukum formal, penjelasannya dapat dilihat dari perspektif konspirasi.
Konspirasi
Dalam Conspiracy Theory in Film, Television, and Politics (2008), Arnold terang membedakan konspirasi dengan teori konspirasi. Menurut Arnold, konspirasi (conspiracies) merujuk pada perilaku buruk manusia di dunia sosial, ekonomi, dan politik yang sangat biasa dan dapat dilihat dengan mata telanjang.
Korupsi, pencurian, perampokan, miras, human tafficking dan berbagai macam fenomena sosial yang nyata dan sungguh-sungguh terjadi merupakan konspirasi.
Berbeda dengan konspirasi, teori konspirasi menjelaskan fenomena yang memiliki implikasi yang lebih luas. Sebuah fenomena yang sulit dijelaskan dengan rasionalitas sosial dan masuk ke ruang gelap banyak aspek.
Di dunia modern, teori konspirasi dapat menjelaskan fenomena hukum, politik, dan budaya modern yang tidak kelihatan dan tidak dapat disentuh. Sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi dampaknya bisa dilihat dengan mata telanjang.
Di aspek hukum, konspirasi berkaitan dengan fenomena ‘dagang kasus’. Dalam langgam politik, konspirasi berhubungan dengan perilaku elite politik yang keluar dari bingkai budaya politik kebanyakan. Tujuan akhirnya ialah membunuh lawan politik dengan tangan tak kelihatan.
Dengan nada ekstrem, Fenster, dalam Conspiracy Theories: Secrecy And Power In American Culture (2008), konspirasi merupakan racun dalam sistem, budaya dan ruang publik modernitas. Disebut racun karena dalam dirinya, aktor-aktor konspirasi berada dan bermain di ruang maya, tetapi berimplikasi secara nyata di dunia sosial. Seperti fiksi, tetapi sebetulnya nonfiksi.
Merujuk pada pandangan dua ahli di atas, kita bisa menjelaskan realitas hukum dan fenomena politik Indonesia kontemporer saat ini. Fenomena diskon hukuman yang marak terjadi akhir-akhir ini menggambarkan adanya kekuatan lain di dalam maupun di luar sistem tersebut.
Sulit menentukan jenis dan model kekuatan. Yang pasti bahwa kekuatan itu tengah menghancurkan bukan hanya hukum, melainkan bangsa ini secara keseluruhan. Sebagaimana disebutkan Arnold dan Fenster, aktor konspirasi memang tidak kelihatan, tetapi dampaknya bisa dilihat dan mudah dikenali.
Keputusan MA yang memberi diskon hukuman laik digugat. Gugatan terutama dilakukan karena yang mendapatkan rezeki diskon ialah para koruptor. Mereka yang telah mencuri uang rakyat secara nyata. Hukuman untuk koruptor mestinya ditambah, bukannya dikurangi.
Fenomena pemberian diskon hukuman kepada koruptor oleh lembaga yang memiliki otoritas hukum sungguh menyesakkan dada.
Aktor dan Motif
Secara kasatmata, pemberian diskon hukuman seperti ini sah. Itu karena diskon dilakukan lembaga hukum yang memang berperan untuk itu. Yang mesti diperiksa ialah aktor dan motif di balik pemberian diskon hukuman. Menurut perpektif teori konspirasi, sulit rasanya menduga dan menebak aktor pemberi diskon sebab mereka akan mengatakan bahwa pemberian diskon hukuman sudah sesuai dengan aturan dan fakta-fakta hukum.
Yang perlu diperiksa ialah motif di balik pemberian diskon. Pemeriksaan motif berdasarkan pada fakta bahwa pada pengadilan sebelumnya, narapidana korupsi telah dinyatakan bersalah. Seorang terdakwa yang telah mencuri uang rakyat dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan ialah koruptor.
Karena itu, apa pun alasannya, pengajuan kasasi dan mekanisme hukum lain tentu tidak bisa menafikan fakta hukum sebelumnya. Benar bahwa sebagai terdakwa, seseorang boleh mengajukan upaya hukum (melakukan banding, misalnya). Hanya, sehebat apa pun bukti baru terdakwa, perilaku koruptifnya sulit diampuni dan haram dimaafkan. Oleh karena itu, pemberian hukuman yang lebih berat menjadi pilihan terakhir.
Jika ada realitas lain yang keluar dari fenomena hukum seperti itu, konspirasi merupakan jawaban implementatifnya. Konspirasi tentu bisa berbasis aktor dan dapat pula berbasis motif.
Berdasarkan kategori aktor, mereka yang terjerat kasus korupsi ialah elite yang pernah berkuasa di berbagai bidang, seperti hukum, ekonomi, dan politik. Para narapidana koruptor tersebut pernah berhubungan dengan para penegak hukum, baik secara formal maupun nonformal. Menurut teori konspirasi, pembelokan fakta bisa saja terjadi di sini dengan segala komplikasinya.
Selanjutnya, dalam perspektif motif, pemeriksaannya berkaitan dengan dorongan dilakukannya pemberian diskon. Yang pasti, ada akar utama di dasar pemberian tersebut. Dasar itu jelas tidak mungkin muncul dan tampak ke permukaan. Pilihan kita sekarang ialah mengamini fenomena ini dengan diam atau berteriak sambil menggugat terus-menerus secara konsisten kebobrokan sistem hukum kita.
Diam berarti mengukuhkan sistem yang busuk. Berteriak berarti menggugat terus-menerus sistem hukum yang busuk itu agar air mata rakyat dapat sedikit terhapus. Itulah makna hukum diskon dan diskon hukuman.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/276186-hukum-diskon-dan-diskon-hukuman