Opini

Ketika Kunjungan Menjadi Polemik: Soal Etika, Koordinasi, dan Kepemimpinan Daerah

×

Ketika Kunjungan Menjadi Polemik: Soal Etika, Koordinasi, dan Kepemimpinan Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh:Irawan Asek

(Mahasiswa Magister Teknik Sistem UGM)

Polemik antara Wali Kota Ternate dan Gubernur Maluku Utara terkait klaim kunjungan ke Kota Ternate menunjukkan bahwa persoalan pemerintahan tidak selalu berakar pada kebijakan besar, melainkan sering kali muncul dari hal yang tampak sederhana tetapi sarat makna simbolik. Perdebatan tentang “pernah atau tidak pernah berkunjung” sejatinya bukan persoalan administratif semata, melainkan mencerminkan problem komunikasi, etika koordinasi, dan kepemimpinan dalam sistem pemerintahan daerah.

Dalam praktik pemerintahan, kehadiran seorang pejabat tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sebagai tindakan simbolik. Ilmuwan politik Murray Edelman dalam bukunya The Symbolic Uses of Politics (1964) menjelaskan bahwa tindakan politik sering kali bekerja sebagai simbol yang membentuk persepsi publik, bukan semata hasil kebijakan yang kasat mata. Dalam konteks ini, kunjungan kepala daerah memiliki makna representatif: ia dibaca sebagai perhatian, pengakuan, dan komitmen.

Di sinilah polemik Ternate–Maluku Utara menemukan konteksnya. Kunjungan yang secara administratif tercatat bisa saja dipersepsikan “tidak hadir” secara institusional apabila tidak melibatkan kepala daerah setempat atau tidak dikomunikasikan dengan baik. Sebaliknya, ketiadaan pertemuan langsung dapat menimbulkan kesan pengabaian, meskipun secara faktual kunjungan pernah dilakukan. Dua klaim ini tidak harus saling meniadakan, tetapi menunjukkan perbedaan sudut pandang antara aspek formal dan aspek relasional pemerintahan.

Persoalan menjadi problematis ketika perbedaan ini tidak diselesaikan melalui mekanisme internal, melainkan dipertukarkan di ruang publik. Menurut Mark Bevir dalam Democratic Governance (2010), kualitas tata kelola pemerintahan sangat ditentukan oleh kemampuan aktor-aktornya mengelola perbedaan melalui dialog dan koordinasi, bukan melalui kompetisi narasi di hadapan publik. Ketika elite pemerintahan saling menyalahkan, yang muncul bukan klarifikasi, melainkan erosi kepercayaan.

Dari sudut pandang kepemimpinan publik, polemik ini juga memperlihatkan pentingnya sensitivitas simbolik. Paul ’t Hart dalam Understanding Public Leadership (2014) menegaskan bahwa pemimpin publik tidak hanya dituntut efektif secara manajerial, tetapi juga mampu membaca makna simbolik dari tindakan mereka. Kunjungan tanpa koordinasi yang memadai, atau pernyataan publik yang defensif, berpotensi memicu tafsir negatif yang sebetulnya bisa dihindari.

Dalam konteks Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan, relasi pemerintahan yang harmonis menjadi semakin penting. Tantangan pembangunan wilayah kepulauan—seperti konektivitas antarwilayah, pengelolaan kawasan pesisir, dan pelayanan publik lintas pulau—menuntut kerja bersama yang solid antarlevel pemerintahan. Elinor Ostrom dalam Governing the Commons (1990) menekankan bahwa keberhasilan pengelolaan persoalan bersama sangat bergantung pada kepercayaan, komunikasi, dan aturan informal yang disepakati, bukan hanya struktur formal.

Sayangnya, ketika polemik kunjungan justru menjadi konsumsi publik, fokus bergeser dari substansi persoalan ke persoalan ego dan legitimasi simbolik. Padahal, bagi masyarakat, yang paling penting bukan siapa yang paling benar dalam klaim, melainkan apa dampak konkret dari relasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa tata kelola pemerintahan yang baik tidak lahir dari pembelaan posisi masing-masing, melainkan dari kesediaan untuk membangun komunikasi yang dewasa dan saling menghormati. Seperti dikemukakan oleh Henry Mintzberg dalam Managing (2009), kepemimpinan publik yang efektif justru terlihat dari kemampuannya meredam konflik simbolik dan mengarahkan energi organisasi pada tujuan bersama.

Akhirnya, polemik Ternate–Maluku Utara mengajarkan bahwa kunjungan pejabat bukan sekadar agenda perjalanan, tetapi bagian dari komunikasi politik dan institusional yang sarat makna. Tanpa etika koordinasi dan kepemimpinan kolaboratif, kunjungan mudah berubah dari sarana penyelesaian masalah menjadi sumber persoalan baru. Dan ketika itu terjadi, yang paling dirugikan bukan pejabat yang berdebat, melainkan masyarakat yang menunggu hasil nyata dari pemerintahan.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *