OpiniZona Kampus

Laki-Laki juga Menangis

×

Laki-Laki juga Menangis

Sebarkan artikel ini

Oleh: Fikri Irwan

(Mahasiswa)

Manusia dibekali akal dengan pikiran yang begitu besar manfaatnya, sehingga dapat menciptakan maha karya karna diberikan nikmat oleh Allah SWT. Dengan ilmunya, kita mampu melakukan sesuatu batasan kemampuan dalam memberlakukan sesama manusia, sesuai kodratnya. selaku manusia untuk menyambung perasaan pada kehidupan kita, Terutama pikiran dan perasaan kita pada kehidupan laki-laki.

Suatu hukum dan ketetapan yang Rasulullah pernah sabdakan untuk kita, yang baik bunyi dan luar biasa manfaatnya. “Menangislah kalian semua, dan apabila kamu tidak dapat menangis maka pura-pura menangislah kamu”.

Manusia selalu diperhadapkan dengan beragam masalah. Kadang-kadang kebijaksanaan tiap manusia berbeda, sebagaian besar orang membijaki masalah dengan menangis, sebagai cerminan kekuatatan yang amat besar. Namun, publik memaknai dengan metodologis yang berlainan dan kian kuat mempengaruhi pikiranya. Dengan begitu, “stigma” terhadap kehidupan laki-laki meluap dan memarit dalam kehidupan Masyarakat, memaknai itu dengan keterbatasan konsep kesetaraan. Saya menerka pemahaman orang-orang sudah bergandeng kuat dengan zaman. Olehnya, harapan mengganggu pikiran yang bersebrangan untuk mengembalikan wajah kebenaran yang sesungguhnya, “kesantunan kebahasaan”. Artinya, konglusi tidak mesti melampaui analisis (kebenaraan).

“Perempuan dikemas dengan psike yang lemah lembut, dan tuhan menciptakan tangisan Perempuan agar laki-laki melupakan tangisannya sendiri”.

Diatas adalah kalimat yang sifatnya dogmatis yang sengaja dibuat-buat, seakan laki-laki harus tetap tegar dan enggan untuk menangis tiap-tiap problem yang alaminya. Hal itu, dapat diteropong dengan media apa saja. dilingkungan Masyarakat telah saksama mempengaruhi segenap jiwa dan pikiran bahwa “laki-laki tak pantas untuk menangis”, atau laki-laki dilahirkan kebumi tidak untuk menangis. Sebut saja pikiran ini sudah membesar jika ada temuaan demikian dalam lingkungan kita, bentuk itu hanya cemoohan dengan metafora yang agak berlainan, Bahasa sarkasme, “jadi Perempuan sudah”, dan masih banyak lagi bentuknya.

Seperti itu cara manusia memunafikan kemuliaan akal (ilmunya). Kemungkinan besar tiap-tiap induvidu harus mengoreksi pemikiranya, karna ada yang keliru dalam penerapan nilai pada lingkungan sosial.

Verbatim dari kalimat “laki-laki juga menangis” secara hermeneutika mangandung makna perombakan secara besar-besaran terhadap dogma yang amat kuat mempengaruhi logika publik. Bahwa menangis adalah emosi batin yang mewujud bila bersentuhan langsung dengan realitas. Tentunya, tulisan ini agak lain dengan apa yang telah berkembang, karna meneropong dengan perspektif yang berbeda. Tujuannya untuk menguji apa yang diyakini sebagai kebenaran, sejauh apa kebenaran itu mampu mempertahankan eksistensinya.

Hidup dilihat dengan makna pembebasan. Pembaca yang Budiman, misalnya kita perna mendengar lagu bahkan perna menonton videonya, setuju atau tidak sepenggal lagu “laki-laki tidak boleh nangis” pada masanya perna menuai kepopuleran. Olehnya, demikian itu amat kuat mempengaruhi pemikiran manusia dengan lingkungan Masyarakat. Misalnya, yang dimaksud demikan adalah laki-laki menuai stigma dalam kehidupannya. Anehnya stigma itu bisa hadir dalam pikiran siapa saja, dan dapat keluar dari lisan orang-orang sekitar. Adapun, juga kuat keikutsertaan mengembangkan stigma itu adalah dari jenis yang serupa (laki-laki). Perempuan juga punya hubungan penguatan stigma itu. Artinya Masyarakat melakukan penanaman dan penguataan stigma terhadap kaum adam.

Saya menilai penyakit sosial telah lama membudaya. “Stigma” amat kuat itu tidak melemah, melainkan berpeluk kuat dengan pikiran orang-orang. dari sisi dasar rasionalitas, menangis merupakan sifat manusiawi (emosi batin manusia) bila dihadapi dengan masalah-masalah yang kompleks. Kekuataan bikinan itu hanya bayang-bayang sufisme. Untuk tidak melebar kemana-mana kita fokus pada pemberlakuan ilmu pengetahuan dalam induvidu dan sosial. Oleh sebab itu, kita kembalikan nilai-nilai “kritisisme” yang tertinggal jauh oleh zaman. Seyoginya, ada satu kebenaran yang lebih objektif dan sensitif terhadap Pembangunan “pemikiran intuitif” masyarakat, memiliki kualitas untuk meredup stigma yang berkembang. Sebagai perubahan, Kita butuh memenangkan pemahaman orang-orang agar kaum adam hidup lebih sedikit membaik, khususnya pemikiran sosial terhadapnya.

Peran sekaligus fungsi menjadi ajaran pedagogis.  kaum adam selalu bersama dengan stigma yang amat kuat dari lingkungan sekitarnya, merombak sifat aslinya “laki-laki juga menangis” dan menjustifikasi keadaan yang sesuai dengan pikiran “stigma” yang amat kuat itu. Misalnya, metafora “jadi Perempuan sudah” selalu menjadi beban raganya kaum adam, stigma itu kuat mempengaruhi psikologi, cemoohan sosial melahirkan apa yang penulis kira sebagai  istilah “phopia kaum adam”; ketakutan atau kecemasan diberlakukan terhadap pantangan yang semakin terpuruk dan membelenggu nilai kehidupan oleh keadaban Masyarakat. Ketakutan untuk menampilkan kegelisahannya. Misalnya, perumpamaan lingkungan sosial, memberlakukan ruang transparansi manusia (kaum adam) kedalam ruang privatisasi, ujung-ujungnya laki-laki engan untuk menangis, karna dinilai tak wajar.  Hal ini, bermula dari pikiran yang amat kolot dari lingkungannya.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *