Oleh : Salim Taib, S.Ag, M.Si
Wakil Ketua Bid. Idiologi dan Kaderisasi DPD PDIP Maluku Utara
TIDAK salah jika penulis meredaksionalisasi ulang teks para Ulama Tasauf, seperti tercantum dalam kitab: Sirrul Asrar Wa Mazhharul Anwar fima Yahtaju Ilaihi al-Abrar karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang telah diterjemahkan dengan judul “The secret Of The Secret Menemukan Hakekat Allah”, perkataan atau syair yang sering diucapkan itu adalah “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, man arafah rabbahu fa qad arafah nafsahu” (barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhan-nya, dan barang siapa mengenal Tuhan-nya akan mengenal dirinya)” (2015: 22).
Penulis mencoba menyusun kembali redaksi atas ungkapan para ulama tasauf tersebut untuk mempersepsikan Indonesia yang kita huni sebagai warga bangsa. “Man arafa pancasila faqad arafah Indonesia, waman arafa Indonesia faqad arafa Pancasila” (barang siapa mengenal Pancasila akan mengenal Indonesia, dan barang siapa mengenal Indonesia maka dia mengenal Pancasila).
Memandang Indonesia secarah utuh memang tidak harus memakai satu kaca mata penglihatan. Indonesia sebegitu luasnya, sebegitu banyaknya entitas, baik etnis, agama, golongan, budaya, apalagi teritorialnya, ada tuju belas ribu lima ratus empat pulau, tentunya beragam pula penghuni yang mendiami belasan ribu pulau tersebut, belum lagi dalam setiap pulau yang berpenghuni memiliki karakter yang berbeda-beda, pokoknya Indonesia dalam perspektif sosiologis dengan banyaknya entitas anak bangsa tidak menutup kemungkinan disintegrasi bangsa menjadi kenyataan sosiologis.
Kesadaran bahwa kita sedang menempati rumah besar Indonesia sebagai Bangsa, yang terdiri dari beragam warna kulit, dan rumah besar Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Alam yang berlimpah ruah, cukup untuk menghidupi rakyat Indonesia, bahkan kecukupannya itu melebihi kehidupan berjangka panjang, hal ini digambarkan dalam syair “bukan lautan tapi kolam susu, tongkat dan kayu jadi tanaman.”
Muhammad Saltut sang rektor Universitas Al-Azhar ketika datang dan memandang dari jendela rumah Indonesia berucap “sungguh Indonesia adalah sepenggal syurga yang dihamparkan Tuhan ke bumi” setelah menyadari Indonesia yang kaya raya ini, kitapun harus mema’rifati titik-titik kesamaan Idiologi, sehingga beragam entitas yang mendiami didalamnya, harus rukun, damai dalam kemakmuran, dan titik persamaan idiologis itu dijumpai dalam Pancasila. Menutip twit Presiden @jokowi pada 23 Juli 2017 bahwa “masyarakat kita yang beragam, terdiri dari 714 suku, bisa hidup rukun dan damai karena kita punya Pancasila”
Belum lagi dari perspektif teritorial Indonesia berada diantara dua benua, asia dan benuah Australia, yang dikelilingi oleh samudra pasifik dan samudra hindia, yang menjadi lintasan bangsa-bangsa di dunia, dengan membawa karakter serta budayanya masing-masing, pastinya ada akulturasi dari perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan antar bangsa, semakin menamba bentuk keragaman baru, hal inilah yang menimbulkan anomali jika melihat kenyataan sosiologis.
Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dari Sabang sampai Marauke, anomali yang memunculkan kekhawatiran ketidak bersatuan anak bangsa, karena begitu banyak kemajemukan suku bangsa, namun hingga kini kekhawatiran para sosiolog tidak menjadi kenyataan, karena memang kita dibersatukan dengan kekuatan Idiologi Bangsa yakni Pancasila, terbukti kekuatan idiologi Pancasila adalah jalan satu-satunya yang mampu merekatkan ke-Indonesiaan kita, bersatu diatas keberbedaan, berbeda tetap satu (bhineka Tunggal Ika).
Yang membahagiakan sebagai anak bangsa adalah dikala adanya Pengakuan ilmuan dari berbagai negara diantaranya; Ilmuan asal eropa Tomas Mayer mengakui bahwa “Pancasila merupakan sebuah Idiologi yang terbaik di abad 21 ini atau paling cocok di abad ini, karena itu menurut Tomas Mayer dasar Negara Indonesia Pancasila layak dipertahankan.
Kini Pancasila menjadi anti tesa terhadap Idiologi dunia lainnya, ada komunisme, ada kapitalisme ada khilafah Islamiyah di pihak lain, pancasila dimasa mendatang akan menjadi idiologi alternatif dan dipakai oleh negara bangsa lainnya, gejala itu telah terlihat beberapa tahun lalu delegasi Budha dunia berasal dari Amerika dan Jepang berkunjung ke Indonesia dengan tujuan utamanya adalah mereka mempelajari bagaimana penerapan Idiologi Pancasila, dan mereka terkagum-kagum cara Pancasila membangun kerukunan agama, ketakjuban yang sama juga datang dari seorang konselor Kanada Helena Viu bahwa sila-sila atau prinsip-prinsip Pancasila telah menegaskan betapa pentingnya persatuan dan kemanusiaan, Raja Salman terkejut dan berucap “hanya lewat Pancasila perbedaan yang ada di Indonesia dapat untuk disatukan.”
Memang pengakuan Bangsa lain seperti tersebut di atas terkadang tidak berjalan simetris dengan kenyataan pandangan sebagian putra-putri Bangsa Indonesia, yang sering kali mencoba mencari pembenaran antara relasi agama dan negara, menempatkan posisioning agama yang belum selesai hingga kini dengan idiologi negara, hal inilah terkadang menjadi letupan melahirkan perkelahian komunal.
Selaras apa yang diikhtiarkan Gus Dur dalam buku “Dialog Indonesia Kini Dan Esok ”bahwa menetapkan pangkalan-pangkalan pendaratan menuju Indonesia yang di cita-citakan akan sulit tercapai, jika soal idiologi Bangsa Indonesia belum clear” (1982:103), menjadi keprihatinan bersama dengan belum clear-nya idiologi, problem relasi agama dan negara yang belum terselesaikan, memang telah menjadi persoalan klasik letupan idiologi terkadang naik kepermukaan, perbenturannya tak pernah padam, walau Pancasila telah final sebagai dasar Negara.
Syaiful Arif mencatat dalam karyanya “Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi Meneguhkan Nilai KeIndonesiaan” bahwa letupan pandangan dan gerakan keagamaan ini sering mengambil bentuk yang ekstrim yang disebabkan oleh radikalisme agama. Sejatinya kalangan ini tidak mampu melihat Pancasila sebagai dasar dan idiologi Negara, bukan pancasila dasar agama” (2018:10).
Apalagi pandangan yang oleh Candra Malik dalam “Mengislamkan Islam” bahwa mereka sering kali dan bahkan seseringnya mendalilkan dengan dalih dan dalil yang dibungkus pesan-pesan langit, khilafah Islamiyah dibenturkan dengan Pancasila karena di anggap sebagai rekayasa bumi bikinan manusia yang dituduh tidak ada rujukannya dalam kitab suci” (2018: 4).
Padahal jika membalikkan paradigma dengan memiliki sudut pandang menempatkan Islam (Subtantif bukan simbolis) sebagai Agama tidak mengalami perbenturan apapun dengan negara, bahkan selaras dengan sudut pandang Pancasila, kerana menurut Muhammad AS Hikam “dalam sila-sila Pancasila, sila ke-Tuhanan sebagai sila pertama, Pancasila menganut Tauhid, sedangkan keempat sila dibawahnya mencerminkan nilai-nilai keIslaman yang bersesuaian dengan maqashid al-syar’i (tujuan utama syariat).
Antara pengakuan ilmuan eropa dan para delegasi Budha dunia serta raja Salman, seperti dijelaskan di atas, dan mengetahui ketidak sadaran sebagian putra putri Indonesia kini, dalam menempatkan posisi agama terutama (Islam) dengan dalil-dalilnya, bahkan tidak segan berkata Pancasila adalah produk “thogut” padahal para Ulama dahulu menyetujui Pancasila karena prinsipnya tidak bertentangan dengan “maqashid al-syar’i (tujuan utama syariat). Hal ini adalah bentuk lain dari peristihan penulis sebagai bagian dari “mema’rifati Pancasila”.
Jika Pancasila telah di-ma’rifati, runutannya Indonesia akan difahami secara kaffah, setelah mengetahui Indonesia dan Pancasila secarah utuh akan menimbulkan kecintaan menjaga Indonesia dari proses pembenturan dengan idiologi lainnya, (Khilafah, Komunisme, kapitalisme dll), mencintai tanah air adalah buah dari ke-Imanan hubbul wathan minal iman (cinta tana air sebagian dari iman), tidak salah jika, dzikir ke-Bangsaan berupa “NKRI harga mati, Pancasila Jaya” akan terus dilafadzkan diminta atau tidak diminta, menguntungkan atau tidak menguntungkan, dengan penuh ketulusan akan di nilai sebagai satu kebajikan oleh Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.(*)