Opini

“Masyarakat Miskin di Negeri Tambang”

×

“Masyarakat Miskin di Negeri Tambang”

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI kawasan pertambangan di Maluku Utara

Oleh: Fikram Guraci

(Anggota SMI Cabang Ternate dan Study Clup Jejak Langkah)

Maluku Utara menjadi salah satu propinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Dalam agenda Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022, Rabu (30/11/2022), presiden Joko Widodo menyampaikan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 27 persen, bahkan menjadi tertinggi di dunia. Hal ini menurut dia, karena didorong dengan sokongan perindustrian Smelter dan pertambangan yang ada di Maluku Utara sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi setinggi itu. Maka sumber daya alam dan eksploitasi menjadi hal utama untuk di kelolah oleh perusahan dan pertambangan yang ada.

Sementara dengan tingginya perekonomian itu tidak menjadi salah satu faktor determinan membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi yang ada. Malahan sampai saat ini masalah yang dihadapi masi saja dalam seputaran ekonomi dan kemiskinan di Maluku Utara yang makin hari makin melambung tinggi. Padahal Maluku Utara memiliki banyak perusaan yang bergerak dengan komoditas yang berbeda-beda mulai dari Nikel, Emas, Mangan, hingga Pasir Besi.

Untuk itu, penghasilan perusahaan ini sangat lah besar. Berdasarkan data Bea dan Cukai Ternate menyebutkan, ekspor bahan tambang fornikel oleh PT IWIP di Halmaherah Tengah pada triwulan pertama 2022, mencapai Rp31,1 triliun dengan tonase nikel mencapai 781.274,075 ton. Sedangkan yang menempatkan posisi kedua adalah PT Harita Group di Pulau Obi dengan nilai ekspor triwulan pertama 2022 senilai Rp7,296 triliun atau tonase 134.627,836,00 ton. Tahun sebelumnya, nilai ekspor nikel Rp2,228 triliun dengan volume 85.765.469,00 ton. Dan masi ada perusahaan-perusaan lain yang kemudian mengekspor nikel dengan jumlah yang tidak kecil. Akan tetapi masyarakat yang brkedudukan diseputaran pertambangan belum lagi merasakan kesejahteraan yang efektif, atau masih jauh dari yang diharapkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara menunjukan di dua Kabupaten yang memiliki dua perusahaan besar beroperasi yakin PT IWIP (Halmahera Tengah) dan PT Aneka Tambang (Halmahera Timur), justru mengoleksi jumlah penduduk miskin terbanyank diantara Kabupaten-kabupaten yang ada di Maluku Utara. Pahal di dua Kabupaten ini memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP) terbanyak dibandingkan Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula dan Taliabu. Kemiskinan yang inheren pada masyarakat seputaran perusahaan ini dipicu oleh turunya harga komoditas yang ada dan naiknya harga barang.

Maka dengan tingginya pertumbuhan ekonomi sampai 27 persen, hanya dapat dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena yang naik bukanlah perekonomian masyarakat tapi perekonomian propinsi yang itu ditunjang oleh perusahaan-perusahaan dan perindustrian yang ada. Sehingga angka kemiskinan Maluku Utara tidak dapat dibendung oleh pemerintah itu sendiri, sebab sampai hari ini angka kemiskinan makin naik dari bula September 2022, lalu.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Malut, mencatat penduduk miskin September 2022 mencapai 82,13 ribu orang dibandingkan pada bulan Maret 2022 yaitu 2,26 ribu orang, atau persentase penduduk miskin Maluku Utara sebesar 6,37 persen, naik 0,14 persen dan turun hanya pada Maret 2022 sebesar 0,1 persen. Sehingga faktor pemicu meningkatnya kemiskinan seperti yang suda disampaikan diatas, yaitu turunya harga komoditas salah satunya harga kopra saat ini.

Hal ini justru menjadi masalah besar bagi petani kopra yang ada, karena latar belakang pekerjaan masyarakat Maluku Utara lebih didominasinya oleh petani kopra. Oleh karena itu trunya harga kopra pada periode Maret 2022, dari Rp12.500 sampai Rp13.500 perkilogram turun menjadi Rp7.000 sampai Rp7.500 perkilogram. Tentunya turunya harga kopra merupakan masalah serius bagi masyarakat dan menjadi indikator dari penyebab kemiskinan yang ada di Maluku Utara.

Selain dari harga anjloknya harga kopra, naiknya harga BBM juga merupakan masalah yang krusial dan fundamental. Kenaikan BBM diantaranya Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, Pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter dan Solar dari Rp5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Kenaikan BBM ini dapat mempengaruhi perputaran ekonomi dan pendapatan masyarakat, sebab akan menciptakan inflasi dengan naiknya harga BBM yang memicu berbarengan naiknya harga barang-barang dan sembako serta harga transportasi. Sehingga pendapatan dan pengeluaran tidak mengalami keseimbangan, karena turunya harga komoditas dan  naiknya harga BBM memunculkan krisis ekonomi bagi masyarakat Maluku utara itu sendiri. Sehingga kesejahteraan belum lagi diraskan masyarakat akar rumput, bahkan tercekik dengan kemiskinan yang mengikat.

Oleh karena itu, dengan hadirnya banyak perusahaan yang beroperasi, serta meningkatnya pertumbuhan ekonomi Maluku Utara, hal ini justru tidak berdampak apa-apa bagi pendapatan masyarakat. Karena semuanya dibawah kendali Negara Asing, sehingga keuntunganya hanya masuk pada kantong-kantong perusahaan. Dan memiliki angka kemiskinan yang begitu tinggi bagi propinsi dengan jumlah perusahaan terbanyak. Bahkan Maluku Utara sendiri tidak memiliki perindustrian Lokal untuk mengelola hasil pertanian yang ada, untuk menciptakan ekonomi mandiri. Akan tetapi semuanya haru mengantungkan pada perusahaan, yang orientasinya selalu mengeksploitasi sumberdaya alam serta menghancurkan ekologi.

Selain itu, dengan melihat inflasi dan degradasi yang melekat dalam kehidupan sosial, dan itu juga dipicu oleh kenaikan harga BBM, maka pemerintah harusnya mencari jalan keluar yang efektif misalnya turunkan harga BBM dan membangun Industri Lokal untuk mengelola hasil pertaninan yang ada. Jangan hanya di momen-momen politik seperti sekarang ini, pemerintah hanya terfokus pada hal-hal praktis dan mengabaikan suara-suara masyarakat yang ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *