Oleh: Charles Meikyansyah
Politisi, Anggota DPR RI
KETIKA Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, memimpin rombongan NasDem untuk bersilaturahim dengan segenap pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Kantor DPP PKS TB Simatupang, Rabu (30/10), saya mendapati banyak pertanyaan. Apakah NasDem keluar dari pemerintahan dan menjadi partai oposisi? Manuver politik apa yang dilakukan NasDem? Dan pertanyaan serupa lainya.
Menjawab serangkaian pertanyaan pascapertemuan antara NasDem dan PKS, saya memulainya dengan mengisahkan sejarah dan temuan-temuan perkembangan politik mutakhir.
Di awal abad ke-20, Lord Acton, bangsawan Inggris, melancarkan protes atas kepemimpinan absolut Paus dalam katolik. Bagi Lord Acton, kekuasaan yang mutlak memiliki kecenderungan yang korup. Lord Acton berujar, “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” Oleh karena itu, kekuasaan harus dibatasi dan diawasi.
Dalil Lord Acton masih sangat relevan sampai hari ini. Itu mengapa demokrasi masih merupakan sistem yang dapat bertahan sejauh ini karena memiliki perangkat pembatasan dan pengawasan dalam kekuasaan. Francis Fukuyama menegaskan, evolusi sistem politik paling mutakhir bahwa demokrasi sebagai the end of history.
Eksperimen sistem politik tanpa pembatasan kekuasaan dan check and balances sejauh ini selalu menyisakan tragedi kemanusiaan. Fasisme era Hitler sampai totalitarianisme era Lenin. Demokrasi juga demikian akan menghasilakan tragedi kemanusiaan ketika demokrasi menghilangkan satu prinsip dasar, yaitu check and balances.
Begitu juga dengan temuan mutakhir demokrasi tanpa kesimbangan dijalankan dan berakibat pada kemunduran. Sankara Kamara (2013) menuliskan bagaiaman Sierra Leone mengalami pembusukan politik (political decay) dalam Sierra Leone: Democracy without Opposition dengan cukup baik, yakni ketika demokrasi berjalan tanpa check and balances telah membawa Sierra Leone dalam kemunduran.
Secara faktual memang demikian, Vicky Randall dan Lars Svasand dalam tulisannya yang berjudul The Contribution of Parties to Democracy and Democratic Consolidation (2002) menunjukkan bahwa kemunduran negara-negara Afrika, seperti Sierra Leone, Zimbabwe, dan Namibia karena menyelenggarakan politik tanpa check and balances (democracy without opposition). Padahal, oposisi tidak hanya dibutuhkan sebagai penyeimbang, tetapi juga berguna untuk memberikan opsi kebijakan alternatif.
Jalan NasDem
Itu mengapa ketika pendulum politik kita bergerak menuju apa yang disebut sebagai democracy without opposition, NasDem memilih untuk menyelamatkan agar demokrasi kita terus memiliki perangkat utama, yaitu check and balances.
Itulah yang melatarbelakangi pertemuan TB Simatupang (Kantor DPP PKS) antara Ketua Umum NasDem Surya Paloh dengan Ketua Umum PKS pada Rabu (30/10).
Absennya check and balances akan menyuburkan kekuasaan yang absolut. Demi kepentingan bangsa, demokrasi tidak boleh berjalan tanpa keseimbangan. NasDem memilih untuk menyelenggarakan politik yang kritis dan konstruktif demi demokrasi yang bermutu.
Lalu, apakah NasDem lantas keluar dari pemerintahan? Oposisi seharusnya tidak bisa lagi dimaknai secara biner. Hadirnya perwakilan NasDem dalam pemerintahan merupakan ikhtiar NasDem untuk menegaskan politik yang kritis dan konstruktif.
Selain itu, NasDem juga mengajak serta partai di luar pemerintahan untuk terus memainkan politik penyeimbang agar prinsip check and balances sebagai prinsip utama demokrasi terus bekerja serta memberikan alternatif kebijakan.
Keluar dari Ancaman Otoriter
Pekerjaan rumah (PR) kita ke depan sungguh sangat besar. Terus menyelenggarakan demokrasi yang bermutu dengan menguatkan sistem check and balances akan menyelesaikan masalah utama, yaitu kembalinya politik otoriter yang menghambat negara untuk maju.
Vicky Randall dan Lars Svasand dalam tulisannya yang berjudul The Contribution of Parties to Democracy and Democratic Consolidation (2002) menunjukkan bahwa matinya mekanisme check and balances karena ketiadaan partai oposisi membuat negara-negara di Afrika berada dalam otoritarianisme. Kita memiliki sejarah kelam bahaya kembalinya politik otoriter.
Kita memiliki sejarah panjang bagiamana demokrasi bekerja tanpa oposisi pada rezim Orde Baru. Kooptasi oposisi dalam cengkeraman rezim membuat pembangunan politik mengalami pembusukan (political decay) dan berakhir dalam kejatuhan melalui reformasi.
Jalan kritis dan konstruktif akan menghidupkan oposisi dan membuat relasi yang seimbang (balance of power). NasDem memilih untuk menghidupkan relasi yang seimbang antara pemerintah dan oposisi. Karena kalau tidak dan NasDem memilih untuk merayakan obesitas kekuasaan, kita akan jatuh pada sejarah kembalinya otoriter. Harga yang mahal bagi bangsa.
NasDem memilih untuk melampaui kalkulasi politik demi kepentingan partai sesaat. Jauh dari itu, pertemuan di TB Simatupang ialah jalan untuk terus menghidupi demokrasi agar lebih bermutu.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/269832-melampaui-kalkulasi-politik